Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Bank Indonesia menilai revisi pertumbuhan ekonomi global versi Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi 3,7 persen dari 3,9 persen pada 2018, akibat salah satunya perang dagang AS-China yang berkepanjangan, sebagai sesuatu yang sudah terprediksi.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Nusa Dua, Bali, Selasa, mengatakan IMF juga melihat bahwa dampak dinamika perekonomian global telah turut melanda negara-negara maju di Eropa dan Asia, bukan hanya negara-negara berkembang.

"Pertumbuhan global ada tekanan ke bawah, jadi ada kecenderungan bisa mempengaruhi perdagangan dunia, bisa mempengaruhi harga komoditi, demand side (sisi permintaan) akan turun," ujar Dody.

Ia juga sependapat bahwa penurunan proyeksi pertumbuhan global ini sulit terelakkan.

Untuk Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, Dody melihat penurunan proyeksi pertumbuhan oleh IMF menjadi 5,1 persen, bukanlah hal yang buruk. Menurut Dody, pertumbuhan ekonomi 5,1 persen bagi Indonesia adalah hal yang masih relatif baik karena berada di atas level 5,0 persen.

"Kami juga sudah menghitungnya, jadi ketika BI mengeluarkan satu angka, kami sudah melihat ke depan," ujar Dody.

Dody mengatakan Indonesia masih akan mengandalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial dan fiskal utuk mengatasi dampak dari ketidakpastian perekonomian global termasuk tenis tinggi perang dagang. Bauran kebijakan itu diusung untuk menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar, namun di satu sisi dapat mendorong potensi pertumbuhan ekonomi.

"Sama yang penting 'policy mix' dari BI itu menstabilkan sesuai mandat kita, menstabilkan rupiah dan inflasi. Tentunya kita tdk melepas momentum pertumbuhan yang terjadi," ujarnya.

IMF dalam proyeksi ekonomi terbarunya Selasa, menyebutkan pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan sebesar 3,7 persen untuk 2018 dan 2019. Angka itu lebih rendah dibanding proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang dikeluarkan April 2018 sebesar 3,9 persen.

IMF menyebut bahwa laju stabil yang dinikmati oleh ekonomi global sejak pertengahan 2016 memang masih berlanjut, tapi kini ekspansinya telah menjadi kurang seimbang dan bahkan telah mencapai puncaknya di beberapa ekonomi utama dunia.

Menurut IMF, risiko yang mungkin muncul di antaranya dari peningkatan hambatan dagang serta arus modal keluar dari negara berkembang (emerging market) yang memiliki fundamental lemah.

Secara sektoral, tantangan yang dihadapi negara ekonomi maju berpusat pada pendapatan tenaga kerja yang menurun, persepsi mobilitas sosial yang rendah, dan respons kebijakan yang tidak memadai untuk perubahan struktutal ekonomi di beberapa negara.

Sementara itu, tantangan ekonomi yang sedang tumbuh dan berkembang lebih bervariasi dan lebih mungkin menghadapi risiko dalam jangka panjang, mulai dari pentingnya memperbaiki iklim investasi untuk mengurangi dualitas pasar tenaga kerja (segmentasi karyawan penuh waktu dan kontrak) hingga ancaman perubahan iklim dan bencana alam.

Baca juga: IMF proyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia 3,7 persen tahun depan

Baca juga: IMF revisi pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 dan Indonesia jadi 5,2 persen