Artikel
Saatnya membangun kembali sistem peringatan dini bencana
7 Oktober 2018 09:51 WIB
Arsip. Seorang petugas memeriksa alat deteksi tsunami, di stasiun pasang surut sistem peringatan dini tsunami, di Simuelue, Aceh. (FOTO ANTARA/Irsan Mulyadi)
Palu (ANTARA News) - Ribuan korban telah berjatuhan. Pelajaran mahal telah diterima bangsa ini.
Kini apapun risikonya, entah itu vandalisme atau apapun penyebabnya, buoy atau alat pendeteksi tsunami dan "Cable-based Tsunameter" (CBT) lengkap dengan sensor-sensornya yang mampu memdeteksi dini gelombang tsunami secara cepat harus ada di perairan Indonesia.
Setidaknya mitigasi ini yang seharusnya bisa diupayakan sebagai ikhtiar untuk menekan angka korban jiwa jika bencana gempabumi dan tsunami kembali terjadi di Tanah Air.
Dalam Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (SK Menkokesra) Nomor 21 Tahun 2006 disebutkan bahwa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengelola operasional buoy dan memberikan datanya ke Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Namun sekarang Kementerian itu telah berganti menjadi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemko PMK).
Sedangkan dalam Master Plan-Pengurangan Risiko Bencana (MP-PRB) Tsunami dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disebutkan bahwa BPPT bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berada di bagian penelitian dan pengembangan (litbang) Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek).
Kini, Kementerian tersebut pun telah berganti menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristedikti).
InaTEWS sendiri merupakan sebuah sistem peringatan dini tsunami yang komprehensif, yang di dalamnya telah diterapkan teknologi baru yang dikenal dengan "Decision Support System" (DSS). Dari sistem ini semua informasi dari hasil sistem monitoring gempa, simulasi tsunami, monitoring tsunami dan deformasi kerak bumi setelah gempa terjadi.
Kumpulan informasi ini merupakan faktor-faktor pendukung untuk menyiarkan berita peringatan dini tsunami dan evaluasinya. Dari sistem monitoring tersebut, DSS akan mengeluarkan beberapa jenis berita atau peringatan dini yang harus diambil oleh operator pada waktu yang ditentukan melalui "Graphic User Interface" (GUI).
InaTEWS mampu memberikan peringatan dini tsunami dalam waktu lima menit setelah kejadian gempa bumi yang berpotensi membangkitkan tsunami. Sistem ini dibangun dengan melibatkan 18 institusi Pemerintah, dan didukung finansial maupun teknologi dari lima negara donor yaitu Jerman, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan Perancis dan telah diresmikan pada November 2008.
Perencanaan buoy
BPPT telah memetakan rencana pemasangan buoy di perairan Indonesia sejak 2006, setelah gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh di 2004.
Dalam peta tersebut terlihat lokasi-lokasi tiga buoy dari DART AS (2007) yang diletakkan satu di Samudera Hindia, tepatnya di barat Sumatera, satu di selatan Selat Bali, dan satu di utara Halmahera menghadap Samudera Pasifik.
Lalu ada 10 buoy dari GITEWS German (2005) yang dipasang di perairan Samudera Hindia di selatan kepulauan Indonesia, di mana empat diposisikan di barat Sumatera, tiga di selatan Jawa, satu di selatan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan satu di selatan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Malaysia memasang satu Wavescan di ujung Aceh sejak 2005.
Sedangkan 10 InaBuoy milik Indonesia diletakkan satu di selatan Selat Sunda, empat di utara NTB dan NTT, tiga di letakkan di Laut Sulawesi, dan dua diletakkan di utara Papua dan Papua Barat.
Namun Perekayasa dari Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT Iyan Turyana membenarkan berita tentang sudah tidak berfungsinya seluruh buoy-buoy tadi yang disebut BNPB sejak lama. Satu per satu buoy hilang atau tidak berfungsi dengan berbagai alasan.
Dari mulai pencurian sensornya hingga buoynya yang berpindah sangat jauh entah ke mana hingga minimnya anggaran untuk pemeliharaannya mengingat dibutuhkan miliaran rupiah.
BPPT sempat memindahkan satu buoy dari Laut Sulawesi ke pesisir barat Sumatera, dengan pertimbangan para ahli di sana lebih rawan terjadi gempa dan tsunami, ujar Iyan. Tapi ternyata sekarang kejadian tsunami di Sulawesi.
Seluruh buoy inilah yang menjadi kekuatan sistem peringatan dini tsunami di perairan Indonesia, dan ini yang perlu kembali dibangun ulang sebagai kekuatan mitigasi bencana.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto memang mengatakan teknologi peringatan dini tsunami seperti buoy ini hanya akan efektif jika titik awal gelombang ada di tengah laut, sehingga masih ada waktu sensor bekerja mengirimkan peringatan ke daratan.
Namun jika titik gempa yang memicu tsunami berada sangat dekat dengan daratan, menurut Eko, buoy tidak akan menolong banyak mengingat gelombang akan lebih cepat datang ketimbang peringatan yang disampaikan sensor di buoy melalui satelit.
Teknologi CBT
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) BPPT Hammam Riza menawarkan CBT untuk sistem peringatan dini tsunami yang bisa dikembangkan di Indonesia.
Jika dana yang perlu dianggarkan untuk membangun satu buoy mencapai miliaran maka CBT membutuhkan triliunan. Namun demikian, ia mengatakan penanaman kabel bawah laut untuk tempat meletakkan sensor-sensor tsunami bisa digabungkan dengan kabel-kabel bawah laut telekomunikasi Palapa Ring.
"Dengan cara ini anggarannya bisa berkurang," lanjutnya.
Namun persoalannya, lokasi lempeng dan sesar yang dapat memicu gempa dan tsunami tidak selalu sama dengan lokasi kabel bawah laut untuk keperluan telekomunikasi tersebut.
Karena itu, menurut Kepala Balai Teknologi Survey Kelautan BPPT M Ilyas sistem peringatan CBT tetap harus digabungkan dengan buoy.
CBT memang memiliki kelebihan dibanding pengiriman data melalui satelit yang biasanya akan mengalami penundaan sekian menit ke sistem peringatan dini tsunami yang ada di darat. CBT yang juga digunakan Jepang dan Amerika Serikat (AS) ini lebih cepat menyalurkan data dan informasi ke daratan, sehingga proses evakuasi bisa lebih cepat dilakukan masyarakat.
Jika Jepang murni menjulurkan kabel-kabel bawah laut untuk keperluan peringatan dini tsunami ke Samudera Pasifik, maka AS memasangkan sensor-sensor pendeteksi tsunami ini bersama kabel bawah laut untuk telekomunikasi.
Teknologi apapun itu yang ingin digunakan, yang jelas sebuah sistem peringatan dini gempa dan tsunami baru dibutuhkan Indonesia demi mitigasi dan menekan jumlah korban.
Baca juga: Tak cukup hanya sistem peringatan dini mumpuni
Kini apapun risikonya, entah itu vandalisme atau apapun penyebabnya, buoy atau alat pendeteksi tsunami dan "Cable-based Tsunameter" (CBT) lengkap dengan sensor-sensornya yang mampu memdeteksi dini gelombang tsunami secara cepat harus ada di perairan Indonesia.
Setidaknya mitigasi ini yang seharusnya bisa diupayakan sebagai ikhtiar untuk menekan angka korban jiwa jika bencana gempabumi dan tsunami kembali terjadi di Tanah Air.
Dalam Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (SK Menkokesra) Nomor 21 Tahun 2006 disebutkan bahwa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengelola operasional buoy dan memberikan datanya ke Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Namun sekarang Kementerian itu telah berganti menjadi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemko PMK).
Sedangkan dalam Master Plan-Pengurangan Risiko Bencana (MP-PRB) Tsunami dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disebutkan bahwa BPPT bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berada di bagian penelitian dan pengembangan (litbang) Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek).
Kini, Kementerian tersebut pun telah berganti menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristedikti).
InaTEWS sendiri merupakan sebuah sistem peringatan dini tsunami yang komprehensif, yang di dalamnya telah diterapkan teknologi baru yang dikenal dengan "Decision Support System" (DSS). Dari sistem ini semua informasi dari hasil sistem monitoring gempa, simulasi tsunami, monitoring tsunami dan deformasi kerak bumi setelah gempa terjadi.
Kumpulan informasi ini merupakan faktor-faktor pendukung untuk menyiarkan berita peringatan dini tsunami dan evaluasinya. Dari sistem monitoring tersebut, DSS akan mengeluarkan beberapa jenis berita atau peringatan dini yang harus diambil oleh operator pada waktu yang ditentukan melalui "Graphic User Interface" (GUI).
InaTEWS mampu memberikan peringatan dini tsunami dalam waktu lima menit setelah kejadian gempa bumi yang berpotensi membangkitkan tsunami. Sistem ini dibangun dengan melibatkan 18 institusi Pemerintah, dan didukung finansial maupun teknologi dari lima negara donor yaitu Jerman, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan Perancis dan telah diresmikan pada November 2008.
Perencanaan buoy
BPPT telah memetakan rencana pemasangan buoy di perairan Indonesia sejak 2006, setelah gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh di 2004.
Dalam peta tersebut terlihat lokasi-lokasi tiga buoy dari DART AS (2007) yang diletakkan satu di Samudera Hindia, tepatnya di barat Sumatera, satu di selatan Selat Bali, dan satu di utara Halmahera menghadap Samudera Pasifik.
Lalu ada 10 buoy dari GITEWS German (2005) yang dipasang di perairan Samudera Hindia di selatan kepulauan Indonesia, di mana empat diposisikan di barat Sumatera, tiga di selatan Jawa, satu di selatan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan satu di selatan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Malaysia memasang satu Wavescan di ujung Aceh sejak 2005.
Sedangkan 10 InaBuoy milik Indonesia diletakkan satu di selatan Selat Sunda, empat di utara NTB dan NTT, tiga di letakkan di Laut Sulawesi, dan dua diletakkan di utara Papua dan Papua Barat.
Namun Perekayasa dari Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT Iyan Turyana membenarkan berita tentang sudah tidak berfungsinya seluruh buoy-buoy tadi yang disebut BNPB sejak lama. Satu per satu buoy hilang atau tidak berfungsi dengan berbagai alasan.
Dari mulai pencurian sensornya hingga buoynya yang berpindah sangat jauh entah ke mana hingga minimnya anggaran untuk pemeliharaannya mengingat dibutuhkan miliaran rupiah.
BPPT sempat memindahkan satu buoy dari Laut Sulawesi ke pesisir barat Sumatera, dengan pertimbangan para ahli di sana lebih rawan terjadi gempa dan tsunami, ujar Iyan. Tapi ternyata sekarang kejadian tsunami di Sulawesi.
Seluruh buoy inilah yang menjadi kekuatan sistem peringatan dini tsunami di perairan Indonesia, dan ini yang perlu kembali dibangun ulang sebagai kekuatan mitigasi bencana.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto memang mengatakan teknologi peringatan dini tsunami seperti buoy ini hanya akan efektif jika titik awal gelombang ada di tengah laut, sehingga masih ada waktu sensor bekerja mengirimkan peringatan ke daratan.
Namun jika titik gempa yang memicu tsunami berada sangat dekat dengan daratan, menurut Eko, buoy tidak akan menolong banyak mengingat gelombang akan lebih cepat datang ketimbang peringatan yang disampaikan sensor di buoy melalui satelit.
Teknologi CBT
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) BPPT Hammam Riza menawarkan CBT untuk sistem peringatan dini tsunami yang bisa dikembangkan di Indonesia.
Jika dana yang perlu dianggarkan untuk membangun satu buoy mencapai miliaran maka CBT membutuhkan triliunan. Namun demikian, ia mengatakan penanaman kabel bawah laut untuk tempat meletakkan sensor-sensor tsunami bisa digabungkan dengan kabel-kabel bawah laut telekomunikasi Palapa Ring.
"Dengan cara ini anggarannya bisa berkurang," lanjutnya.
Namun persoalannya, lokasi lempeng dan sesar yang dapat memicu gempa dan tsunami tidak selalu sama dengan lokasi kabel bawah laut untuk keperluan telekomunikasi tersebut.
Karena itu, menurut Kepala Balai Teknologi Survey Kelautan BPPT M Ilyas sistem peringatan CBT tetap harus digabungkan dengan buoy.
CBT memang memiliki kelebihan dibanding pengiriman data melalui satelit yang biasanya akan mengalami penundaan sekian menit ke sistem peringatan dini tsunami yang ada di darat. CBT yang juga digunakan Jepang dan Amerika Serikat (AS) ini lebih cepat menyalurkan data dan informasi ke daratan, sehingga proses evakuasi bisa lebih cepat dilakukan masyarakat.
Jika Jepang murni menjulurkan kabel-kabel bawah laut untuk keperluan peringatan dini tsunami ke Samudera Pasifik, maka AS memasangkan sensor-sensor pendeteksi tsunami ini bersama kabel bawah laut untuk telekomunikasi.
Teknologi apapun itu yang ingin digunakan, yang jelas sebuah sistem peringatan dini gempa dan tsunami baru dibutuhkan Indonesia demi mitigasi dan menekan jumlah korban.
Baca juga: Tak cukup hanya sistem peringatan dini mumpuni
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018
Tags: