Cara Jepang hadapi gempa dan tsunami
6 Oktober 2018 23:05 WIB
Tim SAR gabungan melakukan pencarian korban di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/10/2018). Pencarian korban terus dilakukan di Perumnas Balaroa yang mengalami kehancuran akibat likuifaksi tanah. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.
Palu (ANTARA News) - Gempa berkekuatan 7,4 magnitudo mengguncang tiga kabupaten dan ibu kota Sulawesi Tengah, yang disusul oleh tsunami setinggi tiga hingga empat meter menghantam Kota Palu dan Kabupaten Donggala pada Jumat (28/9) pukul 18:02 WITA.
Wilayah Palu dan sekitarnya sendiri pernah beberapa kali terjadi, yang tercatat pada tahun 1927, 1938 dan 1968. Berdasarkan catatan sejarah tersebut, belum lagi gempa-gempa cukup kecil lainnya yang cukup sering terjadi, hal ini mirip negara Jepang.
Perwakilan Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) Goto Shinya yang ditemui di Bandara Mutiara SIS Al Jufri, Palu, Sabtu, tidak menampik hal tersebut dan menyebutkan antara Indonesia dengan Jepang memiliki lingkungan serta memiliki potensi yang sama.
"Kita (Jepang dan Indonesia) memiliki lingkungan yang sama dan banyak mengalami gempa bumi, tensinya juga sangat sering," kata Goto.
Akan tetapi, jika melihat dari jumlah korban, semakin zaman berganti, negara Jepang perlahan bisa mengurangi jumlah korban tersebut secara signifikan.
Tercatat, ada sekitar lima gempa besar dengan korban meninggal cukup besar yang sempat mengguncang Jepang, yakni pada November 684 (100-1.000 jiwa), 1 September 1923 (142.800 jiwa), 17 Januari 1995 (6.434 jiwa), 11 Maret 2011 (15.894 jiwa) dan 22 November 2016 (15 luka).
Sementara untuk gempa yang disusul tsunami, Jepang tercatat pernah enam kali mengalami tsunami dengan jumlah korban meninggal cukup besar yakni pada 20 September 1498 (sekitar 31.000 jiwa), 18 Januari 1586 (8.000 jiwa), 28 Oktober 1707 (30.000 jiwa), 24 April 1771 (13.486 jiwa), 15 Juni 1896 (27.122 jiwa) dan Maret 2011 (sekitar 2.000 jiwa).
"Ya kami cukup bisa menurunkan jumlah korban. Karena kami telah siap menghadapinya," ujar Goto.
Faktor pertama, ucap Goto, adalah kondisi bangunan di Jepang yang memiliki struktur cukup kuat untuk menahan gempa bumi.
"Akan tetapi yang utama dan terpenting, adalah komponen halusnya, yakni persiapan manusianya," tutur Goto.
Di Jepang, tambah Goto, karena seringnya diguncang gempa, mereka mempersiapkan masyarakat Jepang agar tanggap terhadap bencana alam yang terus mengintai mereka yang dimulai sejak tingkat taman kanak-kanak dengan sistem pendidikan yang dimasukan unsur-unsur pengetahuan dalam menghadapi bencana.
"Jadi ada dua hal memang yang harus dipersiapkan dalam mengantisipasi korban dari bencana besar yakni pengaturan infrastruktur secara cermat dan persiapan pada manusianya seperti memberi pengetahuan dan latihan. Di Jepang kami lakukan ini, karena kami banyak ditimpa oleh bencana gempa dan tsunami," tutur Goto menambahkan.
Sebelumnya, pada Jumat (28/9), terjadi gempa begitu besar yang mengguncang wilayah Palu dengan kekuatan 7,4 magnitudo yang disusul dengan terjangan gelombang tsunami setinggi tiga hingga empat meter di sepanjang garis pantai Donggala hingga kota Palu dan menyebabkan ribuan orang menjadi korban.
Wilayah Palu dan sekitarnya sendiri pernah beberapa kali terjadi, yang tercatat pada tahun 1927, 1938 dan 1968. Berdasarkan catatan sejarah tersebut, belum lagi gempa-gempa cukup kecil lainnya yang cukup sering terjadi, hal ini mirip negara Jepang.
Perwakilan Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) Goto Shinya yang ditemui di Bandara Mutiara SIS Al Jufri, Palu, Sabtu, tidak menampik hal tersebut dan menyebutkan antara Indonesia dengan Jepang memiliki lingkungan serta memiliki potensi yang sama.
"Kita (Jepang dan Indonesia) memiliki lingkungan yang sama dan banyak mengalami gempa bumi, tensinya juga sangat sering," kata Goto.
Akan tetapi, jika melihat dari jumlah korban, semakin zaman berganti, negara Jepang perlahan bisa mengurangi jumlah korban tersebut secara signifikan.
Tercatat, ada sekitar lima gempa besar dengan korban meninggal cukup besar yang sempat mengguncang Jepang, yakni pada November 684 (100-1.000 jiwa), 1 September 1923 (142.800 jiwa), 17 Januari 1995 (6.434 jiwa), 11 Maret 2011 (15.894 jiwa) dan 22 November 2016 (15 luka).
Sementara untuk gempa yang disusul tsunami, Jepang tercatat pernah enam kali mengalami tsunami dengan jumlah korban meninggal cukup besar yakni pada 20 September 1498 (sekitar 31.000 jiwa), 18 Januari 1586 (8.000 jiwa), 28 Oktober 1707 (30.000 jiwa), 24 April 1771 (13.486 jiwa), 15 Juni 1896 (27.122 jiwa) dan Maret 2011 (sekitar 2.000 jiwa).
"Ya kami cukup bisa menurunkan jumlah korban. Karena kami telah siap menghadapinya," ujar Goto.
Faktor pertama, ucap Goto, adalah kondisi bangunan di Jepang yang memiliki struktur cukup kuat untuk menahan gempa bumi.
"Akan tetapi yang utama dan terpenting, adalah komponen halusnya, yakni persiapan manusianya," tutur Goto.
Di Jepang, tambah Goto, karena seringnya diguncang gempa, mereka mempersiapkan masyarakat Jepang agar tanggap terhadap bencana alam yang terus mengintai mereka yang dimulai sejak tingkat taman kanak-kanak dengan sistem pendidikan yang dimasukan unsur-unsur pengetahuan dalam menghadapi bencana.
"Jadi ada dua hal memang yang harus dipersiapkan dalam mengantisipasi korban dari bencana besar yakni pengaturan infrastruktur secara cermat dan persiapan pada manusianya seperti memberi pengetahuan dan latihan. Di Jepang kami lakukan ini, karena kami banyak ditimpa oleh bencana gempa dan tsunami," tutur Goto menambahkan.
Sebelumnya, pada Jumat (28/9), terjadi gempa begitu besar yang mengguncang wilayah Palu dengan kekuatan 7,4 magnitudo yang disusul dengan terjangan gelombang tsunami setinggi tiga hingga empat meter di sepanjang garis pantai Donggala hingga kota Palu dan menyebabkan ribuan orang menjadi korban.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: