Bahasa daerah di Kota Jayapura dikhawatirkan punah
5 Oktober 2018 14:30 WIB
Wisatawan lokal menikmati suasana Danau Sentani di Ifar Gunung, Jayapura, Papua, Selasa (16/4). Danau Sentani berada di lereng pegunungan cagar alam Cycloops, memiliki luas sekitar 9.360 hektar dan dikelilingi pemukiman warga masyarakat asli Papua yang kebanyakan masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. (FOTO ANTARA/M Agung Rajasa)
Jayapura (ANTARA News) - Sejumlah bahasa daerah atau bahasa lokal di salah satu wilayah adat tanah Tabi, Provinsi Papua yakni di Kota Jayapura dikhawatirkan akan punah jika tidak segera dilestarikan.
Demikian hal ini disampaikan oleh Suharyanto, salah satu peneliti senior dari Balai Bahasa Papua dan Papua Barat di Kota Jayapura, kepada Antara, Jumat.
"Bahasa-bahasa asli Papua yang terletak di tanah Tabi itu diantaranya ada bahasa Sentani, bahasa Nafri, Tobati Enggros, Kayu Pulo dan ada bahasa Skouw, secara umum kecuali bahasa Sentani, kondisi vitalitas bahasa-bahasa daerah yang ada di tanah Tabi ini cukup memprihatinkan keberadaannya," katanya.
Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua Barat, kata dia, pernah melakukan penelitian terhadap pemakaian bahasa Nafri dan bahasa Tobati Enggros di Kota Jayapura pada 2003 dan 2004.
"Untuk pemakaian bahasa Nafri, kalau tidak ada penanganan yang serius, baik dari penutur maupun dari negara itu diperkirakan dalam tiga generasi kedepan akan punah atau musnah, demikian juga untuk bahasa Tobati Enggros, dan juga bahasa Kayu Pulo," katanya.
Sementara, terkait penelitian pemakaian bahasa Kayu Pulo, alumnus sastra Indonesia dari Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan belum melakukan penelitian tetapi berdasarkan kedekatan tempat, banyaknya penutur maka bisa disimpulkan bahwa bahasa daerah tersebut juga terancam punah.
"Tetapi melihat dari jumlah penutur yang lebih kecil dibanding dua bahasa yang saya sebut tadi (Nafri dan Enggros Tobati,red) dan letaknya persis di jantung Kota Jayapura, maka kondisi vitalitas bahasa Kayu Pulo, saya yakin ada dibawah bahasa Nafri dan Tobati Enggros tadi," katanya.
Terancam punahnya ketiga bahasa daerah itu, lanjut dia, bisa disebabkan karena beberapa hal, diantaranya terkait jumlah penutur yang berkurang, lokasi suatu daerah, kebutuhan serta asimilasi yang terjadi.
"Seperti kita ketahui dimanapun kota di seluruh dunia ini terdapat berbagai macam etnik yang datang, mau tidak mau pasti akan mempengaruhi kondisi vitalitas bahasa daerah setempat. Ini sudah pasti akan terjadi interaksi soal kebutuhan, sehingga dipastikan memakai bahasa pengantar yang mudah dipahami bersama," katanya.
"Ketika berbicara soal kebutuhan hidup maka akan menggunakan bahasa pengantar yang dipahami bersama, nah dalam kasus bahasa disini, mau tidak mau pasti para penuturnya akan menggunakan bahasa Indoensia sebagai bahasa pengantar, maka secara langsung atau tidak langsung bahasa seperti Kayu Pulo ini akan terdesak, tergerus oleh pemakaian bahasa Indonesia," lanjutnya.
Suharyanto yang pernah menulis tesis soal pemetaan bahasa Kayu Pulo itu mengatakan perlunya pelestarian bahasa daerah di tanah Tabi sehingga tidak punah dengan cara media pembelajaran di sekolah-sekolah.
"Sebetulnya cara mempertahankan media bahasa ini sudah mulai dirintis oleh pihak Kota Jayapura, dengan cara menyusun bahan ajar untuk buku muatan lokal yang ada di tanah Tabi, agar diajarkan ditingkat sekolah dasar," kata pria yang juga menyelesaikan S2 linguistik di UGM bidang keahlian historis komparatif.
Baca juga: Kemampuan berbahasa daerah jadi penilaian utama Anugerah Sastera Rancage
Baca juga: Data terakhir Indonesia miliki 652 bahasa daerah
Baca juga: Majelis Rakyat Papua agendakan wawancara cagub dengan bahasa daerah
Baca juga: Kantor Bahasa Maluku usul 4.000 kosakata Maluku masuk KBBI
Demikian hal ini disampaikan oleh Suharyanto, salah satu peneliti senior dari Balai Bahasa Papua dan Papua Barat di Kota Jayapura, kepada Antara, Jumat.
"Bahasa-bahasa asli Papua yang terletak di tanah Tabi itu diantaranya ada bahasa Sentani, bahasa Nafri, Tobati Enggros, Kayu Pulo dan ada bahasa Skouw, secara umum kecuali bahasa Sentani, kondisi vitalitas bahasa-bahasa daerah yang ada di tanah Tabi ini cukup memprihatinkan keberadaannya," katanya.
Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua Barat, kata dia, pernah melakukan penelitian terhadap pemakaian bahasa Nafri dan bahasa Tobati Enggros di Kota Jayapura pada 2003 dan 2004.
"Untuk pemakaian bahasa Nafri, kalau tidak ada penanganan yang serius, baik dari penutur maupun dari negara itu diperkirakan dalam tiga generasi kedepan akan punah atau musnah, demikian juga untuk bahasa Tobati Enggros, dan juga bahasa Kayu Pulo," katanya.
Sementara, terkait penelitian pemakaian bahasa Kayu Pulo, alumnus sastra Indonesia dari Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan belum melakukan penelitian tetapi berdasarkan kedekatan tempat, banyaknya penutur maka bisa disimpulkan bahwa bahasa daerah tersebut juga terancam punah.
"Tetapi melihat dari jumlah penutur yang lebih kecil dibanding dua bahasa yang saya sebut tadi (Nafri dan Enggros Tobati,red) dan letaknya persis di jantung Kota Jayapura, maka kondisi vitalitas bahasa Kayu Pulo, saya yakin ada dibawah bahasa Nafri dan Tobati Enggros tadi," katanya.
Terancam punahnya ketiga bahasa daerah itu, lanjut dia, bisa disebabkan karena beberapa hal, diantaranya terkait jumlah penutur yang berkurang, lokasi suatu daerah, kebutuhan serta asimilasi yang terjadi.
"Seperti kita ketahui dimanapun kota di seluruh dunia ini terdapat berbagai macam etnik yang datang, mau tidak mau pasti akan mempengaruhi kondisi vitalitas bahasa daerah setempat. Ini sudah pasti akan terjadi interaksi soal kebutuhan, sehingga dipastikan memakai bahasa pengantar yang mudah dipahami bersama," katanya.
"Ketika berbicara soal kebutuhan hidup maka akan menggunakan bahasa pengantar yang dipahami bersama, nah dalam kasus bahasa disini, mau tidak mau pasti para penuturnya akan menggunakan bahasa Indoensia sebagai bahasa pengantar, maka secara langsung atau tidak langsung bahasa seperti Kayu Pulo ini akan terdesak, tergerus oleh pemakaian bahasa Indonesia," lanjutnya.
Suharyanto yang pernah menulis tesis soal pemetaan bahasa Kayu Pulo itu mengatakan perlunya pelestarian bahasa daerah di tanah Tabi sehingga tidak punah dengan cara media pembelajaran di sekolah-sekolah.
"Sebetulnya cara mempertahankan media bahasa ini sudah mulai dirintis oleh pihak Kota Jayapura, dengan cara menyusun bahan ajar untuk buku muatan lokal yang ada di tanah Tabi, agar diajarkan ditingkat sekolah dasar," kata pria yang juga menyelesaikan S2 linguistik di UGM bidang keahlian historis komparatif.
Baca juga: Kemampuan berbahasa daerah jadi penilaian utama Anugerah Sastera Rancage
Baca juga: Data terakhir Indonesia miliki 652 bahasa daerah
Baca juga: Majelis Rakyat Papua agendakan wawancara cagub dengan bahasa daerah
Baca juga: Kantor Bahasa Maluku usul 4.000 kosakata Maluku masuk KBBI
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018
Tags: