Jakarta (ANTARA News) - Perekayasa Ahli Utama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Andi Eka Sakya menyarankan pemerintah segera mewajibkan penerapan standar bangunan tahan gempa guna meminimalisir jumlah korban dan kerugian akibat bencana.

"Gempa tidak membunuh, bangunan yang rentan ya," kata Andi di BPPT, Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan sifat kerentanan lokal harus menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan aturan mengenai desain, kontruksi dan cara pemeliharaan bangunan yang sesuai dengan karakteristik kawasannya dan Building Code itu harus diberlakukan untuk semua infrastruktur.

Kelalaian pembangunan infrastruktur maupun pembuatan bangunan tanpa mengindahkan Building Code, Andi mengatakan, bisa saja dikenai sanksi hukum, terlebih jika kelalaian tersebut akhirnya memakan korban.

Mantan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika itu mengatakan kebijakan seperti itu sudah diterapkan di Chile, yang memang negara rawan bencana seperti di Indonesia.

Andi membagikan catatan dari rekannya yang tinggal di Chile, bahwa negara Amerika Latin itu juga menghadapi ancaman gempa bumi besar dan setiap tahun gempa sering mengalami gempa dengan magnitudo 5 Skala Richter (SR) sampai 7 SR.

Tahun 2010 negara itu menghadapi gempa berkekuatan 8,8 SR dan pada 2015 mengalami gempa berkekuatan 8,3 SR. Namun dalam setiap kejadian gempa, korban jiwanya tidak terlalu banyak.

Saat gempa 8,8 SR terjadi tahun 2010, menurut Andi, rekannya hanya kehilangan tiga gelas, yang jatuh dari lemari.

Pemerintah Chile menjalankan program Chile Preprared, yang menyiapkan seluruh penduduk dan tim penolong profesional menghadapi gempa bumi, tsunami dan gunung meletus. Dan bangunan yang dibangun sejak 1980-an wajib memenuhi standa bangunan tahan gempa bumi sampai magnitudo 9 SR.

Andi mengatakan bahwa menurut keterangan rekannya, latihan kebencanaan rutin dilakukan setiap tahun di Chile, dan sirene bencana dan jalur pengungsian dicek setiap bulan.

Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Hammam Riza sebelumnya mengatakan kejadian bencana di Lombok, Donggala, Palu dan Sigi membuka mata semua orang untuk lebih memperhatikan seluruh aspek kebencanaan.

"Semua aspek pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur-infrastruktur besar, jika tidak disertai pemahaman risiko bencana maka akan sia-sia," ujar dia.

Kerangka kerja Siklus Penanggulangan Bencana mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan, dan rekonstruksi perlu menjadi perhatian, demikian pula dengan pengembangan teknologi pendukungnya.

Baca juga:
BNPB: kemampuan mitigasi Palu-Donggala masih minim
LIPI: masyarakat perlu disadarkan soal mitigasi bencana