New York (ANTARA News) - Harga minyak mentah Brent naik hampir dua persen pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), setelah sempat mencapai tingkat tertinggi baru dalam empat tahun, karena pasar terfokus pada sanksi-sanksi AS mendatang terhadap Iran.

Sementara itu, pasar mengabaikan peningkatan mingguan terbesar dalam cadangan minyak mentah Amerika Serikat serta laporan kenaikan produksi Arab Saudi dan Rusia.

"Tidak ada masalah antara saat ini hingga 4 November," kata Bob Yawger, direktur berjangka di Mizuho di New York, mengacu pada tanggal ketika sanksi AS berlaku penuh. "Anda baru saja memiliki penambahan terbesar (stok minyak mentah AS) tahun ini, dan pasar beraksi dengan benar."

Persediaan minyak mentah AS melonjak delapan juta barel minggu lalu, empat kali lipat ekspektasi para analis dan merupakan kenaikan terbesar sejak Maret 2017, Badan Informasi Energi AS (EIA) mengatakan pada Rabu (3/10).

Minyak mentah Brent untuk pengiriman Desember naik 1,49 dolar AS atau 1,8 persen, menjadi menetap di 86,29 dolar AS per barel, setelah mencapai 86,74 dolar AS, tertinggi sejak 30 Oktober 2014.

Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November, ditutup 1,18 dolar AS atau 1,6 persen lebih tinggi pada 76,41 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, setelah menyentuh tertinggi sesi 76,90 dolar AS.

Kedua patokan sempat merosot pemerintah AS merilis angka persediaan minyak mentahnya, kemudian melanjutkan kembali kenaikan mereka.

"Komunitas spekulatif mengambil kesempatan untuk membeli pada saat (harga) turun," kata Yawger seperti dikutip dari Reuters.

Pada awal sesi, minyak mentah terdorong lebih rendah karena Menteri Energi Saudi, Khalid al-Falih mengatakan, kerajaan itu telah meningkatkan produksi menjadi 10,7 juta barel per hari pada Oktober dan akan memompa lebih banyak lagi pada November. Rekor tertinggi untuk produksi Saudi adalah 10,72 juta barel per hari pada November 2016.

Rusia dan Arab Saudi mencapai kesepakatan pribadi pada September untuk meningkatkan produksi minyak guna mendinginkan kenaikan harga dan memberi tahu Amerika Serikat sebelum pertemuan di Aljazair bersama produsen-produsen lainnya, empat sumber yang akrab dengan rencana itu mengatakan kepada Reuters.

Namun demikian, Iran menuduh Arab Saudi dan Rusia melanggar kesepakatan OPEC tentang pengurangan produksi dengan memproduksi lebih banyak minyak mentah. Kedua negara dinilai itu tidak akan mampu menghasilkan minyak yang cukup untuk menggantikan penurunan ekspor Iran.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya telah membatasi pasokan sejak 2017 untuk mengatasi kelebihan pasokan global. Mereka mengurangi sebagian pemotongan pada Juni, di bawah tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk mendinginkan harga.

Seorang analis mengatakan rencana Saudi untuk memproduksi minyak lebih banyak tidak akan banyak berubah.

"Saudi masih sangat malu-malu, pasar ingin melihat sesuatu yang lebih proaktif," kata analis Petromatrix, Olivier Jakob. "Itu sebabnya pasar tidak banyak bereaksi terhadap berita utama yang berbeda."

Baca juga: Ini dua penyebab kurs rupiah tembus Rp15.000

Baca juga: Gubernur BI: Jangan lihat kalau Rp15 ribu sudah kiamat