LIPI minimalkan penggunaan enzim impor untuk bioetanol
Bioetanol Dari Pelepah Sawit Dua mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya menunjukkan karya sainsnya "Biolate" yaitu pemanfaatan pelepah kelapa sawit menjadi Bioetanol saat penjurian dan seleksi tingkat regional Asean kategori Proyek Sains dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) Pertamina 2015 di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Minggu (22/11). Pemanfaatan pelepah kelapa sawit untuk pembuatan Bioetanol melalui teknologi Nanofikasi gelombang Ultrasonik tersebut diharapkan menjadi solusi alternatif bagi pemilik perkebunan kelapa sawit agar tidak membakar lahannya usai panen. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
"Kami di LIPI bagaimana meminimalisasi penggunaan enzim impor ini dengan cara kita menggunakan proses sakarifikasi dan fermentasi yang sudah baku secara terpisah dan simultan," kata peneliti utama bioetanol Pusat Penelitian Kimia LIPI Yanni Sudiyani dalam acara "Focus Group Discussion" bertajuk Prospek Pengembangan Bioetanol Generasi 2 dalam Mendukung Konversi Bahan Bakar Fosil, Jakarta, Rabu.
Ia menuturkan penggunaan enzim saat ini memiliki nilai 30 persen dari total biaya produksi bioetanol. Biaya produksi tersebut mencakup di antaranya transportasi, bahan kimia dan peralatan. Pihaknya memerlukan biaya produksi sekitar Rp20.000 untuk satu liter bioetanol.
"Sekarang berusaha ke 30 persen tapi itu di luar yang dekat dengan pabrik enzimnya, ya kalau di sini ada biaya masuk segala macam di sini biaya enzim masih di atas 30 persen," tuturnya.
Besarnya nilai enzim terhadap biaya total produksi dikarenakan enzim untuk proses pembuatan bioetanol berasal dari luar negeri.
Ia mengatakan aktivitas enzim yang diimpor dari Denmark jauh lebih tinggi dari enzim yang diproduksi langsung di dalam negeri. Oleh karena itu, enzim impor tersebut masih menjadi pilihan untuk saat ini hingga akhirnya ke depan Indonesia dapat menghasilkan enzim dengan aktivitas tinggi yang berguna untuk proses pembuatan bioetanol.
Upaya lain meminimalisasi penggunaan enzim impor yakni dengan upaya konsorsium mikroba, yang mana mikroba akan mengeluarkan enzim, tapi teknologi itu masih dalam skala laboratorium.
"Kalau itu bisa berhasil, kita tidak perlu membeli enzim," ujarnya.
Selain itu, untuk mendapatkan konsentrasi etanol 99,95 persen, selama ini pihaknya juga masih menggunakan zeolit impor.
"Belum ada enzim lokal yang sama aktivitasnya dengan enzim impor ini," tuturnya.
Untuk itu, pihaknya juga menaruh perhatian pada upaya pengembangan enzim tersebut agar mengurangi biaya impor.
Baca juga: LIPI hasilkan 150 liter bioetanol generasi kedua
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018