PDIP: Indonesia jadi contoh berdemokrasi Asia Tenggara
3 Oktober 2018 18:39 WIB
Politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari (tengah) dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema Pemilu Damai, di Megawati Institute, Jakarta, Rabu (3/10/2018) (Syaiful Hakim)
Jakarta (ANTARA News) - Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari, mengatakan, Indonesia masih menjadi contoh negara berdemokrasi di wilayah Asia Tenggara karena sistem Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia masih jauh lebih baik ketimbang negara-negara lainnya.
"Indonesia masih jauh lebih baik. Di indonesia full (kekuatan) sipil, bahkan penyelenggara pemilu di luar kontrol negara. Negara tidak turut campur," kata Eva dalam diskusi publik "Pemilu Damai : Masihkah Indonesia Menjadi Contoh Demokrasi di Asia Tenggara", di Kantor Megawati Institute, Jakarta Pusat, Rabu.
Ia menjelaskan, Pemilu di Indonesia, baik itu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Presiden (Pilpres), hingga Pemilihan Legislatif (Pileg), menyerahkan sepenuhnya mandat untuk memilih pemimpin kepada rakyat.
"Tentunya disini ada peran sipil dan pers. Trend yang ada kini sudah dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu serentak. Berbeda dengan Thailand dan Myanmar yang masih tertutup dalam hal penyelenggaraan pemilu," ucap Eva.
Kekuatan masyarakat sipil di Indonesia, kata dia, juga sudah lebih pintar dan bisa belajar dari kesalahan. Hal itu belajar dari pengalaman dari Pilkada DKI 2017, dimana saat itu ada pencampuradukan agama dan politik.
"Namun, saat Pilkada serentak 2018 kondisi itu sudah jauh berkurang. Jadi, bila ada yang berkata Indonesia tidak menjadi 'role model' dalam berdemokrasi adalah salah. Indonesia masih menjadi contoh bagi negara demokrasi di Asia Tenggara," jelasnya.
Baca juga: Seruan perdamaian capres cawapres 2019
Media, kata Eva, juga memiliki kekuatan untuk menjaga dan memberi pelajaran berdemokrasi kepada masyarakat.
"Jika keluar dari fungsinya, media justru dapat menjadi senjata untuk menghancurkan kehidupan demokrasi," ujarnya.
Tak hanya itu, para politisi juga diharapkan dapat menjadi penjaga gawang dan aparatur kepolisian juga dapat cepat tanggap, responsif, serta netral dalam pelaksanaan pemilu.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengakui, hingga saat ini bangsa Indonesia memang masih menjadi rujukan ketika membicarakan masalah Pemilu dan demokrasi.
"Negara Indonesia masih menjadi rujukan ketika membicarakan fair election. Apalagi demokrasi Indonesia merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat," kata Titi.
Saat ini, tambah dia, Indonesia juga sudah dikenal sebagai negara pemilihan langsung serentak di dunia (the biggest one day election in the word dengan data pemilih tahun 2014 sebesar 187 juta pemilih).
Baca juga: MUI minta masyarakat utamakan persaudaraan Islam dalam Pemilu 2019
Baca juga: Wartawan dukung pemilu damai tanpa hoaks
"Indonesia masih jauh lebih baik. Di indonesia full (kekuatan) sipil, bahkan penyelenggara pemilu di luar kontrol negara. Negara tidak turut campur," kata Eva dalam diskusi publik "Pemilu Damai : Masihkah Indonesia Menjadi Contoh Demokrasi di Asia Tenggara", di Kantor Megawati Institute, Jakarta Pusat, Rabu.
Ia menjelaskan, Pemilu di Indonesia, baik itu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Presiden (Pilpres), hingga Pemilihan Legislatif (Pileg), menyerahkan sepenuhnya mandat untuk memilih pemimpin kepada rakyat.
"Tentunya disini ada peran sipil dan pers. Trend yang ada kini sudah dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu serentak. Berbeda dengan Thailand dan Myanmar yang masih tertutup dalam hal penyelenggaraan pemilu," ucap Eva.
Kekuatan masyarakat sipil di Indonesia, kata dia, juga sudah lebih pintar dan bisa belajar dari kesalahan. Hal itu belajar dari pengalaman dari Pilkada DKI 2017, dimana saat itu ada pencampuradukan agama dan politik.
"Namun, saat Pilkada serentak 2018 kondisi itu sudah jauh berkurang. Jadi, bila ada yang berkata Indonesia tidak menjadi 'role model' dalam berdemokrasi adalah salah. Indonesia masih menjadi contoh bagi negara demokrasi di Asia Tenggara," jelasnya.
Baca juga: Seruan perdamaian capres cawapres 2019
Media, kata Eva, juga memiliki kekuatan untuk menjaga dan memberi pelajaran berdemokrasi kepada masyarakat.
"Jika keluar dari fungsinya, media justru dapat menjadi senjata untuk menghancurkan kehidupan demokrasi," ujarnya.
Tak hanya itu, para politisi juga diharapkan dapat menjadi penjaga gawang dan aparatur kepolisian juga dapat cepat tanggap, responsif, serta netral dalam pelaksanaan pemilu.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengakui, hingga saat ini bangsa Indonesia memang masih menjadi rujukan ketika membicarakan masalah Pemilu dan demokrasi.
"Negara Indonesia masih menjadi rujukan ketika membicarakan fair election. Apalagi demokrasi Indonesia merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat," kata Titi.
Saat ini, tambah dia, Indonesia juga sudah dikenal sebagai negara pemilihan langsung serentak di dunia (the biggest one day election in the word dengan data pemilih tahun 2014 sebesar 187 juta pemilih).
Baca juga: MUI minta masyarakat utamakan persaudaraan Islam dalam Pemilu 2019
Baca juga: Wartawan dukung pemilu damai tanpa hoaks
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: