Tsunami, anatomi dan kapan itu terjadi
3 Oktober 2018 17:22 WIB
Warga melintas di depan kapal Sabuk Nusantara 39 yang terdampar ke daratan akibat gempa dan tsunami di Desa Wani, Pantai Barat Donggala, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia, yang dikelilingi sesar atau patahan lapisan bumi, membuat wilayahnya selalu “dihakimi” sebagai daerah rawan bencana. Dan, dari bencana-bencana yang terjadi, selain volkanologi, gempa dan tsunami meninggalkan bekas duka mendalam karena kedahsyatannya.
Terakhir dan masih menjadi perbincangan hangat sekarang adalah gempa Donggala, yang sesaat kemudian menimbulkan gelombang tsunami di Palu. Gempa bumi tektonik dengan kekuatan goncangan 7,4 skala Richter (7,5 magnitudo menurut USGS) yang memicu tsunami itu membuat Sulawesi Tengah menjadi perhatian semua orang.
Badan geologi Amerika Serikat (USGS) menyebut gempa Sulawesi itu terjadi sebagai akibat pergerakan sesar mendatar pada kedalaman dangkal di bagian dalam lempeng Laut Maluku, yang juga bagian dari sesar tektonik Sunda yang lebih luas.
Berdasarkan pengamatan dan penelitian, gempa Sulteng itu mengindikasikan ada bagian yang hancur atau pecah pada salah satu sesar yang membelok ke utara-selatan, atau di sepanjang patahan yang mengarah timur-barat pada sisi-kanan.
Lembaga geologi itu menegaskan bahwa Indonesia bagian timur khas dengan tektonik kompleks, di mana gerakan sejumlah kecil lempeng mikro yang mengakomodasi gerakan skala besar antara lempeng Ausralia, Sunda, Pasifik, dan Laut Filipina.
Di lokasi gempa Donggala 28 September 2018, menurut USGS, lempeng Sunda bergerak ke selatan menuju sesar Molucca Sea dengan pergerakan 30 mm per tahun. Meskipun sudah jelas lokasinya di kawasan lempeng-lempeng mikro, gempa 28 September lalu itu lebih menggambarkan pergerakan di area sesar yang lebih besar.
Dengan ukuran kekuatannya, gempa Donggala, biasanya bersumber dari pergerakan patahan berukuran sekitar 120x20 km. Gempa bumi dangkal dengan ukuran seperti ini sering menimbulkan dampak mematikan bagi masyarakat di sekitarnya.
Menurut USGS, secara historis, wilayah Sulawesi dan sekitarnya telah menjadi tuan rumah beberapa gempa bumi besar, dengan 15 peristiwa berkekuatan 6,5 magnitudo dan lebih besar di 250 km dari lokasi pusat gempa 28 September, pada abad sebelumnya.
Yang terbesar adalah gempa 7,9 magnitudo pada Januari 1996, sekitar 100 km di sebelah utara dari peristiwa 28 September 2018. Gempa 28 September 2018 didahului dengan serangkain gempa bumi kecil hingga sedang selama berjam-jam.
Ada juga guncangan susulan yang aktif, dengan 10 kejadian 4,7 magnitudo dan lebih besar dalam tiga jam setelah gempa terbesar itu. Gempa susulan terbesar dalam rentang waktu itu adalah 5,8 magnitudo, sekitar 12 menit setelah gempa 7,4 SR.
Gempa pemicu tsunami
Semua tsunami merupakan peristiwa besar, pemicunya adalah gangguan geologi besar, seperti longsor, letusan gunung berapi, gempa bumi, atau bahkan meteor besar yang jatuh ke lautan.
Tidak semua gempa menimbulkan tsunami, dan menurut NOVA—program sains yang populer di AS—gempa dengan episentrum di 85 km barat laut Banda Aceh merupakan mesin pembuat gelombang dahyat.
Tsunami itu dipicu gempa 9,1 skala Richter yang menghasilkan energi setara 23.000 kalinya bom atom Hiroshima, dan memindahkan miliaran ton air yang membentuk gelombang tsunami, menurut NOAA Center for Tsunami Research.
Ketika gempa kuat 9,1 SR melanda wilayah pesisir Aceh, Indonesia pada 26 Desember 2004, pergerakan dasar laut menghasilkan tsunami lebih dari 30 meter (100 kaki) di sepanjang garis pantai yang berdekatan, menewaskan lebih dari 240.000 orang.
Dari sumber gempa yang sama, tsunami terpancar keluar dan dalam waktu 2 jam telah menelan 58.000 jiwa di Thailand, Sri Lanka, dan India.
Tsunami merupakan serangkaian gelombang laut yang disebabkan oleh gangguan permukaan laut yang besar dan tiba-tiba. Jika gangguan tersebut dekat dengan garis pantai, tsunami lokal dapat menghancurkan komunitas pesisir dalam hitungan menit.
Gangguan yang sangat besar dapat menyebabkan kehancuran lokal dan bisa mencapai ribuan mil jauhnya mencapai daratan. Kata tsunami berasal dari bahasa Jepang, tsu berarti “pelabuhan” dan nami yang artinya “gelombang”.
Tsunami memiliki peringkat tinggi dalam skala bencana alam. Sejak 1850 saja, tsunami bertanggung jawab atas hilangnya lebih dari 420.000 jiwa dan miliaran dolar kerusakan struktur dan habitat pesisir.
Tsunami sering terjadi di Pasifik, di mana lempeng samudera padat meluncur di bawah lempeng benua yang lebih ringan. Ketika lempeng-lempeng ini retak maka menimbulkan gerakan vertikal dasar laut yang memungkinkan transfer energi yang cepat dan efisien dari bumi padat ke laut.
Anatomi tsunami
Dengan pemicu gempa bumi, tsunami biasanya terjadi akibat dorongan dan tekanan kuat dari lempeng bumi yang saling bertubrukan. Kondisi dalam bumi yang mengandung banyak lapisan termasuk magma, bisa bergerak sesuai perubahan alamiahnya, dan ini lah yang mendorong lempeng bumi menyesuaikan.
Tsunami dahsyat di Aceh 2004 telah diteliti banyak ahli geologi dunia, dan NOAA Center for Tsunami Research menggambarkan bagaimana lempeng bumi bergerak dan menjadi pemicu gelombang raksasa berkecepatan seperti pesawat jet menghantam daratan sebagian Sumatera waktu itu.
Waktu itu dua lempeng bumi besar yang bertemu bergerak, di mana lempeng Indo-Ausralia mendorong lempeng Eurasia dengan kuat. Seperti mendorong papan hingga melengkung, dan ujung yang sudah melengkung akibat dorongan itu kemudian terlepas.
Selain dorongan itu membuat rongga dan menyedot air laut turun ke bawah, kekuatan hentakan ujung lempeng yang terlepas setelah terdorong itu juga menimbulkan energi dorongan yang sangat besar dari dasar laut ke permukaan.
Itu lah penyebab munculnya gelombang sangat besar yang disebut dengan tsunami dan efek dorongannya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan kilometer, dengan dampak terkuat dirasakan lingkungan pesisir pantai yang berdekatan.
Seperti menjatuhkan benda padat ke dalam air, tsunami muncul karena adanya dorongan terhadap air. Beda dengan yang disebabkan oleh jatuhnya meteor besar, tsunami yang bersumber dari gempa bumi dorongannya berasal dari dasar laut.
Bencana ini sulit diprediksi karena gempa—sebagai penyebabnya—juga sulit diprediksi, tapi para ilmuwan telah bekerja keras sejak tsunami Aceh untuk bagaimana bisa mengetahui secara dini gejala tsunami.
Alat pendeteksi dini tsunami bernama “buoy” pun ditebar di Samudra Hindia dan Pasifik. Tad Murty, seorang ahli tsunami di Universitas Manitoba di Winnipeg, Kanada, pernah mengatakan bahwa sistem peringatan dini tsunami di Samudera India akan menghabiskan dana antara 250 juta hingga 400 juta dolar.
Dr. Eddie Bernard dari NOAA pernah membahas mengenai teknologi pendeteksi dini tsunami yang berbasiskan komputer dan itu terus dikembangkan oleh lembaga pemerhati tsunami di AS itu.
Mereka membuat program komputer dengan resolusi tinggi non-linier yang mampu memberikan perkiraan daya jangkau tsunami. Metodologi ini merupakan fondasi dari alat peramalan generasi mendatang untuk peringatan dan mitigasi tsunami yang sedang dikembangkan dalam kerja sama erat dengan Tsunami Warning Centers dengan akademisi.
Bagaimanapun, alat-alat dan teknologi ini penting karena ancaman gempa dan tsunami masih akan terus ada dan kita belum tahu akan terjadi di mana dan seperti apa dampaknya. Pelajaran terakhir adalah gempa Donggala dan tsunami Palu.
Tsunami besar lampau dan era modern
Berdasarkan penelitian para ilmuwan di NOAA dan catatan dari program sains NOVA, telah terjadi beberapa tsunami dahsyat pada masa lampau dan pada era modern ketika Aceh porak-poranda pada 26 Desember 2004.
3,5 miliar tahun lalu
Jauh sebelum daratan Bumi tampak seperti sekarang ini, meteor berukuran lebar 12 sampai 30 mil menghantam samudra di suatu tempat di planet ini dan memulai tsunami yang cukup kuat untuk membanjiri seluruh daratan.
Hanya gunung tertinggi yang tersisa di atas air. Para ilmuwan telah menemukan sisa-sisa malapetaka di beberapa batuan tertua di Bumi—di Blok Pilbara Australia Barat dan di Sabuk Barberton Greenstone Afrika Selatan. Mereka masih aktif mencari kawah besar yang akan dihasilkan oleh dampaknya.
Thera, Yunani Kuno, 1645 Sebelum Masehi
Letusan gunung berapi di pulau Yunani kuno Thera termasuk yang terbesar dalam ribuan tahun. Ledakan Thera meruntuhkan kerucut puncaknya, menghasilkan tsunami yang sering disalahkan atas jatuhnya peradaban Minoan di dekat Crete. Sedikit bukti ilmiah untuk teori ini sampai saat ini, ketika ahli geologi akhirnya menemukan bukti bahwa gelombang tsunami sangat besar menyapu Crete.
Mereka menghancurkan pelabuhan, melumpuhkan ekonomi maritim, dan menyebabkan kegagalan panen yang menghancurkan, berpotensi mengkatalisasi penurunan Minoa di tahun-tahun berikutnya. Penelitian tentang tsunami Thera masih terus berlangsung.
Gempa Cascadia, 26 Januari 1700
Ahli geologi telah menemukan bukti di pohon mati dan lapisan lumpur dan pasir bahwa gempa besar terjadi di Cascadia mengguncang sepanjang pantai barat AS pada 1700. Mereka percaya tsunami terbentuk di sana dan menyebar ke Pasifik, mencapai Hawaii, Jepang, dan bahkan Australia.
Memang, catatan dari Jepang menggambarkan tsunami yang kuat pada hari itu yang gempanya tidak dirasakan. Cascadia telah mengalami setidaknya tujuh gempa dalam 3.500 tahun terakhir. Sudah lebih 300 tahun sejak peristiwa terakhir, dan para ahli mengatakan yang berikutnya bisa terjadi kapan saja.
Letusan Krakatau
Setelah 300 tahun dormansi, pulau vulkanik kecil Krakatau antara Jawa dan Sumatra meletus dan runtuh pada tahun 1883, menewaskan lebih dari 36.000 orang. Sebagian besar korban meninggal akibat tsunami besar yang dilepaskan oleh ledakan.
Pegunungan di laut setinggi lebih dari 140 kaki dan membawa batu karang seberat 600 ton menyapu bersih puluhan desa di sepanjang pantai Jawa dan Sumatra. Ekonomi wilayah itu terganggu selama ratusan mil.
Krakatau menghasilkan tsunami pertama yang tercatat dan dipelajari secara global oleh para ilmuwan, dan sebagai salah satu tsunami paling merusak dalam sejarah, tsunami terus menjadi contoh yang berharga bagi para ahli tsunami.
Kepulauan Aleutian, Alaska, 1 April 1946
Selama hampir 60 tahun, teori utama tentang tsunami ini mengklaim bahwa gempa bumi bawah laut yang kuat sebagai pemicunya. Tetapi proyek pemetaan dasar laut yang dilakukan di Scripps Institution of Oceanography tidak menemukan bukti untuk mendukung ide ini, memaksa para ahli untuk memikirkan kembali teori mereka.
Mereka mencoba untuk menentukan peristiwa apa yang bisa menghasilkan kekuatan gelombang besar menghancurkan itu, yang menghantam Hawaii dengan gelombang setinggi 60 kaki lebih dari lima jam setelah menyebabkan kerusakan pertama di Alaska, di mana gelombang lokal naik menjadi 138 kaki. Tsunami menewaskan 123 orang dan menyebabkan kerugian jutaan dolar.
Lituya Bay, Alaska, 9 Juli 1958
Tsunami umumnya mencapai ketinggian vertikal maksimum, yang disebut ketinggian run-up, tidak lebih dari 100 meter di atas permukaan laut. Pengecualian penting adalah tsunami 1958 yang dipicu oleh tanah longsor di teluk sempit di pantai Alaska.
Gelombangnya lebih dari 1.700 kaki adalah gelombang terbesar yang pernah tercatat untuk tsunami. Ini membanjiri lima mil persegi daratan dan mengkandaskan ratusan ribu pohon. Hebatnya, hanya dua korban jiwa yang ditimbulkan.
Valdivia, Chile, 22 Mei 1960
Gempa terbesar yang pernah diukur, 9,5 magnitudo memulai serangkaian tsunami di Samudera Pasifik yang menghancurkan Hawaii. Gelombang bahkan mencapai Jepang, 10.000 mil jauhnya dari episentrum, dan menyebabkan sekitar 5.000 korban jiwa.
Tsunami Chili mengajarkan kepada para ahli dua pelajaran penting: bahwa gempa bumi yang dirasakan di daratan dapat memicu tsunami. Setelah gelombang 1960, Pusat Peringatan Tsunami Pasifik dikaitkan dengan jaringan data dan peringatan internasional untuk pertama kalinya. Ini menggunakan ratusan stasiun seismik di seluruh dunia untuk menilai risiko tsunami di Pasifik, wilayah yang paling akrab dengan tsunami.
Samudra Hindia, 26 Desember 2004
Dengan lebih dari 240.000 orang tewas atau hilang, tsunami 2004 adalah salah satu bencana alam paling dahsyat di zaman modern. Gempa berkekuatan 9,1 SR di dasar laut lebih dari 18 mil di bawah permukaan Samudra Hindia menyebabkan gelombang besar yang menghantam Aceh.
Terakhir dan masih menjadi perbincangan hangat sekarang adalah gempa Donggala, yang sesaat kemudian menimbulkan gelombang tsunami di Palu. Gempa bumi tektonik dengan kekuatan goncangan 7,4 skala Richter (7,5 magnitudo menurut USGS) yang memicu tsunami itu membuat Sulawesi Tengah menjadi perhatian semua orang.
Badan geologi Amerika Serikat (USGS) menyebut gempa Sulawesi itu terjadi sebagai akibat pergerakan sesar mendatar pada kedalaman dangkal di bagian dalam lempeng Laut Maluku, yang juga bagian dari sesar tektonik Sunda yang lebih luas.
Berdasarkan pengamatan dan penelitian, gempa Sulteng itu mengindikasikan ada bagian yang hancur atau pecah pada salah satu sesar yang membelok ke utara-selatan, atau di sepanjang patahan yang mengarah timur-barat pada sisi-kanan.
Lembaga geologi itu menegaskan bahwa Indonesia bagian timur khas dengan tektonik kompleks, di mana gerakan sejumlah kecil lempeng mikro yang mengakomodasi gerakan skala besar antara lempeng Ausralia, Sunda, Pasifik, dan Laut Filipina.
Di lokasi gempa Donggala 28 September 2018, menurut USGS, lempeng Sunda bergerak ke selatan menuju sesar Molucca Sea dengan pergerakan 30 mm per tahun. Meskipun sudah jelas lokasinya di kawasan lempeng-lempeng mikro, gempa 28 September lalu itu lebih menggambarkan pergerakan di area sesar yang lebih besar.
Dengan ukuran kekuatannya, gempa Donggala, biasanya bersumber dari pergerakan patahan berukuran sekitar 120x20 km. Gempa bumi dangkal dengan ukuran seperti ini sering menimbulkan dampak mematikan bagi masyarakat di sekitarnya.
Menurut USGS, secara historis, wilayah Sulawesi dan sekitarnya telah menjadi tuan rumah beberapa gempa bumi besar, dengan 15 peristiwa berkekuatan 6,5 magnitudo dan lebih besar di 250 km dari lokasi pusat gempa 28 September, pada abad sebelumnya.
Yang terbesar adalah gempa 7,9 magnitudo pada Januari 1996, sekitar 100 km di sebelah utara dari peristiwa 28 September 2018. Gempa 28 September 2018 didahului dengan serangkain gempa bumi kecil hingga sedang selama berjam-jam.
Ada juga guncangan susulan yang aktif, dengan 10 kejadian 4,7 magnitudo dan lebih besar dalam tiga jam setelah gempa terbesar itu. Gempa susulan terbesar dalam rentang waktu itu adalah 5,8 magnitudo, sekitar 12 menit setelah gempa 7,4 SR.
Gempa pemicu tsunami
Semua tsunami merupakan peristiwa besar, pemicunya adalah gangguan geologi besar, seperti longsor, letusan gunung berapi, gempa bumi, atau bahkan meteor besar yang jatuh ke lautan.
Tidak semua gempa menimbulkan tsunami, dan menurut NOVA—program sains yang populer di AS—gempa dengan episentrum di 85 km barat laut Banda Aceh merupakan mesin pembuat gelombang dahyat.
Tsunami itu dipicu gempa 9,1 skala Richter yang menghasilkan energi setara 23.000 kalinya bom atom Hiroshima, dan memindahkan miliaran ton air yang membentuk gelombang tsunami, menurut NOAA Center for Tsunami Research.
Ketika gempa kuat 9,1 SR melanda wilayah pesisir Aceh, Indonesia pada 26 Desember 2004, pergerakan dasar laut menghasilkan tsunami lebih dari 30 meter (100 kaki) di sepanjang garis pantai yang berdekatan, menewaskan lebih dari 240.000 orang.
Dari sumber gempa yang sama, tsunami terpancar keluar dan dalam waktu 2 jam telah menelan 58.000 jiwa di Thailand, Sri Lanka, dan India.
Tsunami merupakan serangkaian gelombang laut yang disebabkan oleh gangguan permukaan laut yang besar dan tiba-tiba. Jika gangguan tersebut dekat dengan garis pantai, tsunami lokal dapat menghancurkan komunitas pesisir dalam hitungan menit.
Gangguan yang sangat besar dapat menyebabkan kehancuran lokal dan bisa mencapai ribuan mil jauhnya mencapai daratan. Kata tsunami berasal dari bahasa Jepang, tsu berarti “pelabuhan” dan nami yang artinya “gelombang”.
Tsunami memiliki peringkat tinggi dalam skala bencana alam. Sejak 1850 saja, tsunami bertanggung jawab atas hilangnya lebih dari 420.000 jiwa dan miliaran dolar kerusakan struktur dan habitat pesisir.
Tsunami sering terjadi di Pasifik, di mana lempeng samudera padat meluncur di bawah lempeng benua yang lebih ringan. Ketika lempeng-lempeng ini retak maka menimbulkan gerakan vertikal dasar laut yang memungkinkan transfer energi yang cepat dan efisien dari bumi padat ke laut.
Anatomi tsunami
Dengan pemicu gempa bumi, tsunami biasanya terjadi akibat dorongan dan tekanan kuat dari lempeng bumi yang saling bertubrukan. Kondisi dalam bumi yang mengandung banyak lapisan termasuk magma, bisa bergerak sesuai perubahan alamiahnya, dan ini lah yang mendorong lempeng bumi menyesuaikan.
Tsunami dahsyat di Aceh 2004 telah diteliti banyak ahli geologi dunia, dan NOAA Center for Tsunami Research menggambarkan bagaimana lempeng bumi bergerak dan menjadi pemicu gelombang raksasa berkecepatan seperti pesawat jet menghantam daratan sebagian Sumatera waktu itu.
Waktu itu dua lempeng bumi besar yang bertemu bergerak, di mana lempeng Indo-Ausralia mendorong lempeng Eurasia dengan kuat. Seperti mendorong papan hingga melengkung, dan ujung yang sudah melengkung akibat dorongan itu kemudian terlepas.
Selain dorongan itu membuat rongga dan menyedot air laut turun ke bawah, kekuatan hentakan ujung lempeng yang terlepas setelah terdorong itu juga menimbulkan energi dorongan yang sangat besar dari dasar laut ke permukaan.
Itu lah penyebab munculnya gelombang sangat besar yang disebut dengan tsunami dan efek dorongannya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan kilometer, dengan dampak terkuat dirasakan lingkungan pesisir pantai yang berdekatan.
Seperti menjatuhkan benda padat ke dalam air, tsunami muncul karena adanya dorongan terhadap air. Beda dengan yang disebabkan oleh jatuhnya meteor besar, tsunami yang bersumber dari gempa bumi dorongannya berasal dari dasar laut.
Bencana ini sulit diprediksi karena gempa—sebagai penyebabnya—juga sulit diprediksi, tapi para ilmuwan telah bekerja keras sejak tsunami Aceh untuk bagaimana bisa mengetahui secara dini gejala tsunami.
Alat pendeteksi dini tsunami bernama “buoy” pun ditebar di Samudra Hindia dan Pasifik. Tad Murty, seorang ahli tsunami di Universitas Manitoba di Winnipeg, Kanada, pernah mengatakan bahwa sistem peringatan dini tsunami di Samudera India akan menghabiskan dana antara 250 juta hingga 400 juta dolar.
Dr. Eddie Bernard dari NOAA pernah membahas mengenai teknologi pendeteksi dini tsunami yang berbasiskan komputer dan itu terus dikembangkan oleh lembaga pemerhati tsunami di AS itu.
Mereka membuat program komputer dengan resolusi tinggi non-linier yang mampu memberikan perkiraan daya jangkau tsunami. Metodologi ini merupakan fondasi dari alat peramalan generasi mendatang untuk peringatan dan mitigasi tsunami yang sedang dikembangkan dalam kerja sama erat dengan Tsunami Warning Centers dengan akademisi.
Bagaimanapun, alat-alat dan teknologi ini penting karena ancaman gempa dan tsunami masih akan terus ada dan kita belum tahu akan terjadi di mana dan seperti apa dampaknya. Pelajaran terakhir adalah gempa Donggala dan tsunami Palu.
Tsunami besar lampau dan era modern
Berdasarkan penelitian para ilmuwan di NOAA dan catatan dari program sains NOVA, telah terjadi beberapa tsunami dahsyat pada masa lampau dan pada era modern ketika Aceh porak-poranda pada 26 Desember 2004.
3,5 miliar tahun lalu
Jauh sebelum daratan Bumi tampak seperti sekarang ini, meteor berukuran lebar 12 sampai 30 mil menghantam samudra di suatu tempat di planet ini dan memulai tsunami yang cukup kuat untuk membanjiri seluruh daratan.
Hanya gunung tertinggi yang tersisa di atas air. Para ilmuwan telah menemukan sisa-sisa malapetaka di beberapa batuan tertua di Bumi—di Blok Pilbara Australia Barat dan di Sabuk Barberton Greenstone Afrika Selatan. Mereka masih aktif mencari kawah besar yang akan dihasilkan oleh dampaknya.
Thera, Yunani Kuno, 1645 Sebelum Masehi
Letusan gunung berapi di pulau Yunani kuno Thera termasuk yang terbesar dalam ribuan tahun. Ledakan Thera meruntuhkan kerucut puncaknya, menghasilkan tsunami yang sering disalahkan atas jatuhnya peradaban Minoan di dekat Crete. Sedikit bukti ilmiah untuk teori ini sampai saat ini, ketika ahli geologi akhirnya menemukan bukti bahwa gelombang tsunami sangat besar menyapu Crete.
Mereka menghancurkan pelabuhan, melumpuhkan ekonomi maritim, dan menyebabkan kegagalan panen yang menghancurkan, berpotensi mengkatalisasi penurunan Minoa di tahun-tahun berikutnya. Penelitian tentang tsunami Thera masih terus berlangsung.
Gempa Cascadia, 26 Januari 1700
Ahli geologi telah menemukan bukti di pohon mati dan lapisan lumpur dan pasir bahwa gempa besar terjadi di Cascadia mengguncang sepanjang pantai barat AS pada 1700. Mereka percaya tsunami terbentuk di sana dan menyebar ke Pasifik, mencapai Hawaii, Jepang, dan bahkan Australia.
Memang, catatan dari Jepang menggambarkan tsunami yang kuat pada hari itu yang gempanya tidak dirasakan. Cascadia telah mengalami setidaknya tujuh gempa dalam 3.500 tahun terakhir. Sudah lebih 300 tahun sejak peristiwa terakhir, dan para ahli mengatakan yang berikutnya bisa terjadi kapan saja.
Letusan Krakatau
Setelah 300 tahun dormansi, pulau vulkanik kecil Krakatau antara Jawa dan Sumatra meletus dan runtuh pada tahun 1883, menewaskan lebih dari 36.000 orang. Sebagian besar korban meninggal akibat tsunami besar yang dilepaskan oleh ledakan.
Pegunungan di laut setinggi lebih dari 140 kaki dan membawa batu karang seberat 600 ton menyapu bersih puluhan desa di sepanjang pantai Jawa dan Sumatra. Ekonomi wilayah itu terganggu selama ratusan mil.
Krakatau menghasilkan tsunami pertama yang tercatat dan dipelajari secara global oleh para ilmuwan, dan sebagai salah satu tsunami paling merusak dalam sejarah, tsunami terus menjadi contoh yang berharga bagi para ahli tsunami.
Kepulauan Aleutian, Alaska, 1 April 1946
Selama hampir 60 tahun, teori utama tentang tsunami ini mengklaim bahwa gempa bumi bawah laut yang kuat sebagai pemicunya. Tetapi proyek pemetaan dasar laut yang dilakukan di Scripps Institution of Oceanography tidak menemukan bukti untuk mendukung ide ini, memaksa para ahli untuk memikirkan kembali teori mereka.
Mereka mencoba untuk menentukan peristiwa apa yang bisa menghasilkan kekuatan gelombang besar menghancurkan itu, yang menghantam Hawaii dengan gelombang setinggi 60 kaki lebih dari lima jam setelah menyebabkan kerusakan pertama di Alaska, di mana gelombang lokal naik menjadi 138 kaki. Tsunami menewaskan 123 orang dan menyebabkan kerugian jutaan dolar.
Lituya Bay, Alaska, 9 Juli 1958
Tsunami umumnya mencapai ketinggian vertikal maksimum, yang disebut ketinggian run-up, tidak lebih dari 100 meter di atas permukaan laut. Pengecualian penting adalah tsunami 1958 yang dipicu oleh tanah longsor di teluk sempit di pantai Alaska.
Gelombangnya lebih dari 1.700 kaki adalah gelombang terbesar yang pernah tercatat untuk tsunami. Ini membanjiri lima mil persegi daratan dan mengkandaskan ratusan ribu pohon. Hebatnya, hanya dua korban jiwa yang ditimbulkan.
Valdivia, Chile, 22 Mei 1960
Gempa terbesar yang pernah diukur, 9,5 magnitudo memulai serangkaian tsunami di Samudera Pasifik yang menghancurkan Hawaii. Gelombang bahkan mencapai Jepang, 10.000 mil jauhnya dari episentrum, dan menyebabkan sekitar 5.000 korban jiwa.
Tsunami Chili mengajarkan kepada para ahli dua pelajaran penting: bahwa gempa bumi yang dirasakan di daratan dapat memicu tsunami. Setelah gelombang 1960, Pusat Peringatan Tsunami Pasifik dikaitkan dengan jaringan data dan peringatan internasional untuk pertama kalinya. Ini menggunakan ratusan stasiun seismik di seluruh dunia untuk menilai risiko tsunami di Pasifik, wilayah yang paling akrab dengan tsunami.
Samudra Hindia, 26 Desember 2004
Dengan lebih dari 240.000 orang tewas atau hilang, tsunami 2004 adalah salah satu bencana alam paling dahsyat di zaman modern. Gempa berkekuatan 9,1 SR di dasar laut lebih dari 18 mil di bawah permukaan Samudra Hindia menyebabkan gelombang besar yang menghantam Aceh.
Pewarta: Suryanto
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018
Tags: