BI optimistis tekanan rupiah mereda pada 2019
3 Oktober 2018 15:27 WIB
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan kepada wartawan di Masjid Bank Indonesia Jakarta. (ANTARA News/Citro Atmoko)
Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo optimistis tekanan terhadap mata uang rupiah akan mulai mereda pada 2019 seiring dengan tekanan global maupun domestik yang berkurang.
"Tekanan nilai tukar di tahun depan akan lebih mereda, tidak seberat tahun ini," kata Perry saat mengisi seminar di Jakarta, Rabu.
Perry menjelaskan salah satu alasan berkurangnya tekanan terhadap rupiah adalah karena kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS (the Fed) pada 2019 tidak sebanyak di 2018.
Hal ini bisa membuat pembalikan modal yang terjadi akibat penyesuaian suku bunga The Fed mulai berkurang dan menekan terjadinya perlemahan rupiah.
"Tahun ini kenaikan bunga terjadi empat kali, tahun depan hanya dua kali dan 2020 sekali. Ini yang bisa membuat ketegangan tidak berlanjut," ujarnya.
Selain itu, alasan lain redanya tekanan terhadap rupiah pada 2019 karena para pemegang portfolio akan kembali menanamkan modal ke negara berkembang setelah kondisi global membaik.
"Investor global tidak mungkin terus memegang tunai. Mereka yang menarik dari negara berkembang, akan mulai kembali menaruh di negara berkembang termasuk Indonesia," kata Perry.
Ia menambahkan alasan lainnya adalah upaya pemerintah untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan mulai memperlihatkan hasil pada 2019 dan ikut memperkuat fundamental perekonomian.
Perbaikan neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit tidak terlalu krusial dalam keadaan ekonomi normal, namun menjadi mendesak dalam keadaan penuh gejolak.
"Karena ada langkah bersama untuk menurunkan defisit, maka neraca transaksi berjalan bisa menjadi lebih rendah. Inilah mengapa tekanan nilai tukar tidak seberat tahun ini," ujar Perry.
Baca juga: BI akan kawal ketat rupiah
"Tekanan nilai tukar di tahun depan akan lebih mereda, tidak seberat tahun ini," kata Perry saat mengisi seminar di Jakarta, Rabu.
Perry menjelaskan salah satu alasan berkurangnya tekanan terhadap rupiah adalah karena kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS (the Fed) pada 2019 tidak sebanyak di 2018.
Hal ini bisa membuat pembalikan modal yang terjadi akibat penyesuaian suku bunga The Fed mulai berkurang dan menekan terjadinya perlemahan rupiah.
"Tahun ini kenaikan bunga terjadi empat kali, tahun depan hanya dua kali dan 2020 sekali. Ini yang bisa membuat ketegangan tidak berlanjut," ujarnya.
Selain itu, alasan lain redanya tekanan terhadap rupiah pada 2019 karena para pemegang portfolio akan kembali menanamkan modal ke negara berkembang setelah kondisi global membaik.
"Investor global tidak mungkin terus memegang tunai. Mereka yang menarik dari negara berkembang, akan mulai kembali menaruh di negara berkembang termasuk Indonesia," kata Perry.
Ia menambahkan alasan lainnya adalah upaya pemerintah untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan mulai memperlihatkan hasil pada 2019 dan ikut memperkuat fundamental perekonomian.
Perbaikan neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit tidak terlalu krusial dalam keadaan ekonomi normal, namun menjadi mendesak dalam keadaan penuh gejolak.
"Karena ada langkah bersama untuk menurunkan defisit, maka neraca transaksi berjalan bisa menjadi lebih rendah. Inilah mengapa tekanan nilai tukar tidak seberat tahun ini," ujar Perry.
Baca juga: BI akan kawal ketat rupiah
Pewarta: Satyagraha
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2018
Tags: