Psikiater sebut kepanikan masyarakat Palu reaksi normal
2 Oktober 2018 13:19 WIB
Warga korban gempa mengambil berbagai keperluan logistik di Mamboro, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). Warga di wilayah Palu Utara hingga Donggala bagian pantai Barat terpaksa mengambil berbagai kebutuhan tersebut karena bantuan belum sampai ke lokasi. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Eka Viora, Sp.KJ mengatakan kepanikan masyarakat yang terjadi di Palu pascabencana merupakan reaksi normal dari situasi abnormal.
"Orang marah, orang menjarah itu reaksi," kata Eka di kantor Kementerian Kesehatan Jakarta, Selasa.
Eka menjabarkan model lima tahapan kedukaan yang diperkenalkan oleh psikiater asal Swiss Elisabeth Kubler-Ross, bahwa kemarahan yang diluapkan oleh masyarakat di Palu sehingga terjadi kekacauan merupakan proses dari tahapan kedukaan.
Tahapan pertama seseorang yang mengalami kedukaan ialah penyangkalan, yakni seseorang menyangkal dan tidak menerima apa yang terjadi pada dirinya.
Setelah itu fase kedua adalah kemarahan, fase inilah yang sekarang terjadi pada masyarakat Palu sehingga menyebabkan kepanikan serta kekacauan.
"Pasti mereka akan marah tidak terima, keluarga hilang dan sebagainya berdampak pada perilaku yang macam-macam. Situasi yang sekarang masyarakat sedang marah karena situasi bencana, apalagi BBM susah, listrik belum hidup, makanan terbatas," kata Eka.
Fase ketiga ialah menawar, yakni saat seseorang mulai tenang dan kemarahan yang mereda apabila bantuan sudah mulai datang. Di saat itulah seseorang mulai menawar hal-hal logis dalam pikirannya.
Setelah itu beralih pada tahap depresi yaitu seseorang mulai sering sedih karena merasa kehilangan keluarga atau kehilangan harta. Kemudian berakhir pada tahap penerimaan yakni saat seseorang telah legawa terhadap bencana yang melanda.
"Sekarang pada fase banyak orang marah. Ini merupakan tahapan yang harus dilalui orang dan itu masih wajar," kata dia.
Namun Eka mempertanyakan apakah benar bahwa yang melakukan penjarahan adalah orang asli Palu yang sedang berduka atau orang yang datang untuk mengambil kesempatan.
"Misalnya ada penjarahan dan sebagainya kita gak tahu, apa benar orang yang berkabung ini, atau ada orang yang menyusup," kata Eka mempertanyakan.
Oleh karena itu dia menyatakan bantuan harus segera diberikan mulai dari dukungan sosial, intervensi medis dan juga harus sejalan dengan layanan psikososial.
Psikolog sekaligus Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia DR. Indria Laksmi Gamayanti,M.Si. mengatakan bantuan medis dan kebutuhan dasar para korban dan masyarakat terdampak harus segera.
"Pada situasi darurat sperti ini, bantuan medis dan pemenuhan dasar jadi hal utama yang dibutuhkan korban," jelas Gamayanti.
Menurut dia layanan psikososial dan stabilisasi emosi juga menjadi penting untuk membuat kondisi emosi masyarakat menjadi normal. Namun yang utama harus didahulukan adalah kebutuhan dasar.
Baca juga: Polisi gagalkan aksi penjarahan di Palu
Baca juga: Mendagri klarifikasi berita penjarahan di Palu
"Orang marah, orang menjarah itu reaksi," kata Eka di kantor Kementerian Kesehatan Jakarta, Selasa.
Eka menjabarkan model lima tahapan kedukaan yang diperkenalkan oleh psikiater asal Swiss Elisabeth Kubler-Ross, bahwa kemarahan yang diluapkan oleh masyarakat di Palu sehingga terjadi kekacauan merupakan proses dari tahapan kedukaan.
Tahapan pertama seseorang yang mengalami kedukaan ialah penyangkalan, yakni seseorang menyangkal dan tidak menerima apa yang terjadi pada dirinya.
Setelah itu fase kedua adalah kemarahan, fase inilah yang sekarang terjadi pada masyarakat Palu sehingga menyebabkan kepanikan serta kekacauan.
"Pasti mereka akan marah tidak terima, keluarga hilang dan sebagainya berdampak pada perilaku yang macam-macam. Situasi yang sekarang masyarakat sedang marah karena situasi bencana, apalagi BBM susah, listrik belum hidup, makanan terbatas," kata Eka.
Fase ketiga ialah menawar, yakni saat seseorang mulai tenang dan kemarahan yang mereda apabila bantuan sudah mulai datang. Di saat itulah seseorang mulai menawar hal-hal logis dalam pikirannya.
Setelah itu beralih pada tahap depresi yaitu seseorang mulai sering sedih karena merasa kehilangan keluarga atau kehilangan harta. Kemudian berakhir pada tahap penerimaan yakni saat seseorang telah legawa terhadap bencana yang melanda.
"Sekarang pada fase banyak orang marah. Ini merupakan tahapan yang harus dilalui orang dan itu masih wajar," kata dia.
Namun Eka mempertanyakan apakah benar bahwa yang melakukan penjarahan adalah orang asli Palu yang sedang berduka atau orang yang datang untuk mengambil kesempatan.
"Misalnya ada penjarahan dan sebagainya kita gak tahu, apa benar orang yang berkabung ini, atau ada orang yang menyusup," kata Eka mempertanyakan.
Oleh karena itu dia menyatakan bantuan harus segera diberikan mulai dari dukungan sosial, intervensi medis dan juga harus sejalan dengan layanan psikososial.
Psikolog sekaligus Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia DR. Indria Laksmi Gamayanti,M.Si. mengatakan bantuan medis dan kebutuhan dasar para korban dan masyarakat terdampak harus segera.
"Pada situasi darurat sperti ini, bantuan medis dan pemenuhan dasar jadi hal utama yang dibutuhkan korban," jelas Gamayanti.
Menurut dia layanan psikososial dan stabilisasi emosi juga menjadi penting untuk membuat kondisi emosi masyarakat menjadi normal. Namun yang utama harus didahulukan adalah kebutuhan dasar.
Baca juga: Polisi gagalkan aksi penjarahan di Palu
Baca juga: Mendagri klarifikasi berita penjarahan di Palu
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018
Tags: