Erdogan: Turki akan tolak sanksi-sanksi Amerika Serikat terkait pendeta
2 Oktober 2018 00:33 WIB
Presiden Turki Tayyip Erdogan menyapa pendukungnya dalam sebuah pertemuan partai berkuasa AK di Izmir, Turki, Sabtu (28/4/2018). (Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS)
Ankara (ANTARA News) - Turki akan menolak usaha-usaha Amerika Serikat untuk memberlakukan sanksi-sanksi atas Ankara terkait dengan peradilan seorang pendeta Kristen yang telah ditahan selama dua tahun, kata Presiden Tayyip Erdogan pada Senin, dengan menuduh pedeta tersebut memiliki "kaitan gelap dengan teror".
Perkara Pendeta Andrew Brunson, yang akan diadili lagi pada 12 Oktober, telah membuat hubungan antara Ankara dan Washington mengalami krisis. Amerika Serikat telah mengambil kebijakan untuk memberlakukan sanksi-sanksi dan tarif yang mengakibatkan nilai tukar mata uang Turki lira berada di level terendah pada Agustus.
Brunson didakwa memiliki kaitan dengan para militan Kurdi dan pendukung Fethullah Gulen, ulama yang dipersalahkan Turki karena berada di balik usaha kudeta gagal tahun 2016. Pendeta itu membantah dakwaan-dakwaan atas dirinya dan Washington menuntut pembebasannya segera, demikian Reuters melaporkan.
Hubungan antara dua sekutu NATO sudah renggang akibat perselisihan terkait dukungan AS kepada para pejuang Kurdi di bagian utara Suriah, rencana-rencana Turki untuk membeli sebuah sistem pertahanan peluru kendali, dan pemenjaraan seorang eksekutif bank Turki atas pelanggaran sanksi-sanksi AS terhadap Iran.
"Kami sangat sedih dengan pemerintahan AS saat ini, satu mitra strategis, menyasar negara kami tanpa konsistensi logis, politis dan strategis," kata Erdogan dalam pidato di depan sidang baru anggota parlemen.
Erdogan menyatakan Turki bertekad melawan, dalam kerangka kerja legal dan diplomasi, "pemahaman bengkok ini, yang memberlakukan sanksi-sanksi dengan menggunakan seorang pendeta sebagai alasan, yang diadili karena kaitan gelapnya dengan organisasi-organisasi teror."
Baca juga: Erdogan: AS keluarkan tenggat pembebasan pendeta Amerika
Perkara Brunson telah menjadi isu yang paling membuat kedua negara berseberangan. Presiden AS Donald Trump berpendapat dia dan Erdogan telah menyepakati sebuah persetujuan untuk membebaskannya pada Juli, tetapi Ankara membantah setuju membebaskan pendeta itu sebagai bagian perjanjian yang lebih luas.
Brunson, yang telah dipenjara atau dikenai tahanan rumah sejak Oktober 2016, menghadapi hukumen penjara hingga 35 tahun jika terbukti. Bulan lalu jaksa utama dalam peradilannya diganti, sebuah langkah yang penasehat hukumnya sambut baik dengan hati-hati, dengan mengatakan itu mungkin isyarat dari perubahan kemauan politik.
Dalam pidatonya di sidang pertama di depan para anggota parlemen sejak reses musim panas, Erdogan menyebut kemungkinan hubungan yang lebih baik, sementara menambahkan bahwa masih ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan.
"Kami dapat katakan kami mulai membuat kemajuan ke arah tercapainya pemahaman bersama (dengan Amerika Serikat), walau ini bukan level yang dikehendaki," kata dia.
Dia juga mengulangi tuduhan Turki bahwa Washington melindungi Gulen, yang tinggal di AS selama dua dekade, dan mengatakan pengakuan di satu pengadilan New York seorang eksekutif Halkbank milik negara atas pelanggaran sanksi-sanksi AS terhadap Iran merupakan contoh dari pelanggaran hukum yang unik",
Editor: Elizwan Azly
Perkara Pendeta Andrew Brunson, yang akan diadili lagi pada 12 Oktober, telah membuat hubungan antara Ankara dan Washington mengalami krisis. Amerika Serikat telah mengambil kebijakan untuk memberlakukan sanksi-sanksi dan tarif yang mengakibatkan nilai tukar mata uang Turki lira berada di level terendah pada Agustus.
Brunson didakwa memiliki kaitan dengan para militan Kurdi dan pendukung Fethullah Gulen, ulama yang dipersalahkan Turki karena berada di balik usaha kudeta gagal tahun 2016. Pendeta itu membantah dakwaan-dakwaan atas dirinya dan Washington menuntut pembebasannya segera, demikian Reuters melaporkan.
Hubungan antara dua sekutu NATO sudah renggang akibat perselisihan terkait dukungan AS kepada para pejuang Kurdi di bagian utara Suriah, rencana-rencana Turki untuk membeli sebuah sistem pertahanan peluru kendali, dan pemenjaraan seorang eksekutif bank Turki atas pelanggaran sanksi-sanksi AS terhadap Iran.
"Kami sangat sedih dengan pemerintahan AS saat ini, satu mitra strategis, menyasar negara kami tanpa konsistensi logis, politis dan strategis," kata Erdogan dalam pidato di depan sidang baru anggota parlemen.
Erdogan menyatakan Turki bertekad melawan, dalam kerangka kerja legal dan diplomasi, "pemahaman bengkok ini, yang memberlakukan sanksi-sanksi dengan menggunakan seorang pendeta sebagai alasan, yang diadili karena kaitan gelapnya dengan organisasi-organisasi teror."
Baca juga: Erdogan: AS keluarkan tenggat pembebasan pendeta Amerika
Perkara Brunson telah menjadi isu yang paling membuat kedua negara berseberangan. Presiden AS Donald Trump berpendapat dia dan Erdogan telah menyepakati sebuah persetujuan untuk membebaskannya pada Juli, tetapi Ankara membantah setuju membebaskan pendeta itu sebagai bagian perjanjian yang lebih luas.
Brunson, yang telah dipenjara atau dikenai tahanan rumah sejak Oktober 2016, menghadapi hukumen penjara hingga 35 tahun jika terbukti. Bulan lalu jaksa utama dalam peradilannya diganti, sebuah langkah yang penasehat hukumnya sambut baik dengan hati-hati, dengan mengatakan itu mungkin isyarat dari perubahan kemauan politik.
Dalam pidatonya di sidang pertama di depan para anggota parlemen sejak reses musim panas, Erdogan menyebut kemungkinan hubungan yang lebih baik, sementara menambahkan bahwa masih ada banyak pekerjaan yang harus dikerjakan.
"Kami dapat katakan kami mulai membuat kemajuan ke arah tercapainya pemahaman bersama (dengan Amerika Serikat), walau ini bukan level yang dikehendaki," kata dia.
Dia juga mengulangi tuduhan Turki bahwa Washington melindungi Gulen, yang tinggal di AS selama dua dekade, dan mengatakan pengakuan di satu pengadilan New York seorang eksekutif Halkbank milik negara atas pelanggaran sanksi-sanksi AS terhadap Iran merupakan contoh dari pelanggaran hukum yang unik",
Editor: Elizwan Azly
Pewarta: Antara
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2018
Tags: