Jakarta (ANTARA News) - Departemen Pertanian (Deptan) melalui Peraturan Menteri Pertanian no 31 tahun 2007 melarang 13 jenis bahan kimia berbahaya digunakan dalam proses penggilingan padi dan penyosohan beras. Ke-13 bahan kimia berbahaya yang dilarang tersebut yakni klorin dan senyawanya, bromat dan senyawanya, asam bromat dan senyawanya, dietilporokarbonat, dulsin, kloramfenikol, nitrofurazon, larutan formaldehyde (formalin), rodamin B, paraformaldehyde, tiroksan dan kuning metanil. "Bagi perusahaan penggilingan padi, huller dan penyosohan beras yang terbukti telah menggunakan bahan kimia berbahaya akan dikenakan sanksi pencabutan izin usaha," kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono pada acara Pencanangan Pelarangan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya Pada Beras Dalam Rangka Perlindungan Konsumen di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu. Selain itu, lanjut Mentan dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Mutu dan Standarisasi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, I Nyoman Oka Trijaya, akan dilakukan penyidikan lebih lanjut terhadap penggilingan yang menggunakan bahan kimia berbahaya tersebut guna mempertanggunjawabkan perbuatannya. Sementara itu, bagi para pedagang dan distributor yang memperjualbelikan beras berklorin dapat dikenakan pasal penipuan dan pemalsuan seperti termuat dalam KUHP serta dapat dijerat melakukan pelanggaran UU no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Anton mengakui, penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses penggilingan padi, huller dan penyosohan beras telah terjadi sejak lama bahkan hal itu sudah menjadi kebiasaan yang salah oleh pelaku usaha bidang pangan. "Mereka menganggap penggunaan bahan kimia berbahaya pada pangan seolah-olah merupakan hal yang biasa," katanya. Menurut dia, hal itu terjadi karena ketersediaan bahan kimia berbahaya tersebut secara luas dan bebas diperjualbelikan, harga dipasaran murah serta kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang penambahanan zat kimia berbahaya tersebut. Penggunaan bahan kimia tersebut pada umumnya ditujukan untuk memperbaiki tampilan beras menjadi lebih putih dan tidak mudah rusak sehingga memiliki nilai jual lebih tinggi. Mengutip hasil pemantauan yang dilakukan tim dari staf Ditjen Pengolahan dan Pemasarana Hasil Pertanian, Dinas Pertanian Jabar, UPTD BPTPH Instalasi Laboratorium Pengujian Mutu Kimia Agro Cikole didapati dari 34 sampel yang diuji hasilnya 28 sampel positif menggunakan klorin sebagai pemutih. Sebenarnya, tambahnya, bahan pemutih atau klorin tersebut sama sekali tidak diperlukan karena beras yang ditambahkan bahan kimia itu akan mengubah cita rasa dan wangi. "Kita sebagai konsumen harus sadar janganlah menuntut beras harus putih dan mengkilat. Yang lebih penting bukan warnanya tapi kualitas berasnya baik, bergizi dan aman dikonsumsi," katanya.(*)