Greenpeace tegaskan tidak antisawit
Personel grup band Boomerang beraksi di atas tangki timbun minyak sawit milik PT Multi Nabati Sulawesi (PT MNS) saat aksi yang diprakarsai oleh Greenpeace di Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (25/9/2018). Dua puluh tiga aktivis Greenpeace dari sejumlah negara bersama empat personel grup band Boomerang melakukan aksi damai dengan menduduki kapal penyuplai minyak sawit dan tangki timbun milik PT Multi Nabati Sulawesi (PT MNS), salah satu fasilitas kilang minyak sawit milik Wilmar yang mereka duga menghancurkan hutan hujan di Kalimantan dan Papua. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.
Hal itu diungkapkan Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, menanggapi penilaian sejumlah kalangan bahwa LSM tersebut melancarkan kampanye hitam terhadap sektor kelapa sawit.
"Sikap Greenpeace sejak awal tidak pernah anti-sawit, kami percaya bahwa minyak sawit sangat penting bagi petani serta ekonomi Indonesia dan harus dipertahankan," katanya.
Menurut dia, pihaknya berkampanye untuk mengakhiri deforestasi, bukan mematikan minyak sawit.
"Melarang ekspor minyak sawit tidak sama dengan mengakhiri deforestasi," katanya.
Kiki mengakui, perkebunan kelapa sawit adalah tanaman yang sangat efisien terhadap penggunaan lahan, artinya satu hektare kelapa sawit menghasilkan minyak nabati lebih banyak dibandingkan tanaman lain seperti Soya ataupun Bunga Matahari.
Jika minyak sawit dilarang, lanjutnya, perusahaan atau pemerintah bisa jadi beralih ke tanaman lain, hal ini juga berisiko mengalihkan masalah ke tempat lain misalnya, tanaman lain mungkin menggantikan peran kelapa sawit saat ini dalam deforestasi, dan bahkan memperburuknya, di Indonesia atau di tempat lain.
Oleh karena itu, menurut Kiki, Greenpeace tidak mengadvokasi perusahaan atau pemerintah untuk menghentikan atau melarang produksi minyak sawit.
Sebaliknya, pihaknya berkampanye untuk memastikan bahwa perusahaan tidak memproduksi atau memperdagangkan sawit yang mengorbankan hutan dan lahan gambut.
"Kami mendorong industri untuk memproduksi sawit secara berkelanjutan. Inilah mengapa begitu penting bagi kita untuk tidak menyia-nyiakan minyak sawit, atau minyak nabati lainnya dari tanaman pertanian untuk digunakan sebagai bahan bakar nabati," katanya.
Menurut dia, persoalan utamanya terletak di sejumlah pedagang minyak sawit yang masih terkait praktik perusakan hutan,
Di sisi lain pemerintah baru saja mengeluarkan Inpres Moratorium Sawit (Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit), yang secara tidak langsung meyakini bahwa ada permasalahan di sektor kelapa sawit.
Sementara itu pada tahun 2010, anggota Consumer Goods Forum telah berjanji untuk membersihkan deforestasi dari rantai pasok seluruh komoditasnya pada 2020.
"Waktu terus berjalan bagi mereka untuk memenuhi janji itu, dan dengan kurang dari 500 hari lagi, kita tidak dapat membiarkan industri sawit gagal," katanya.
Kiki menegaskan seharusnya pemerintah dan DPR menyoroti dan mengawasi perilaku pedagang-pedagang minyak sawit, karena akibat perilaku mereka, komoditas sawit Indonesia tengah menghadapi risiko pengurangan drastis ke negara-negara Uni Eropa.
Kondisi tersebut, lanjutnya, tidak menguntungkan, karena sawit telah menjadi sumber penghidupan 22 juta masyarakat Indonesia.
"Jika kelapa sawit ditanam dengan mengedepankan pelestarian alam, tanpa merusak hutan atau lahan gambut, dan bebas dari konflik sosial, maka akan menjadi solusi bagi permasalahan kesejahteraan ekonomi rakyat. Indonesia akan menjadi yang terdepan di dunia dalam sektor industri minyak sawit," katanya.
Baca juga: Disesalkan, aksi Greenpeace duduki tangki sawit
Baca juga: Greenpeace sambut baik Inpres moratorium izin sawit
Pewarta: Subagyo
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2018