Imigran Afghanistan terpaksa tinggal di pinggir selokan
29 September 2018 10:02 WIB
Dokumentasi - Seorang ibu dan anaknya pengungsi asal Afghanistan berada di pinggir jalan di depan Kantor Imigrasi Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (4/5/2017). Kementerian Luar Negeri menyatakan sebanyak 14.425 pengungsi dan pencari suaka berada di Indonesia yang berasal dari 47 negara, namun diduga sebagai fenomena gunung es karena UNHCR menyatakan, pada 2017 diperkirakan lebih dari 1,19 juta pengungsi perlu ditampung dan angka ini meningkat 72 persen dari jumlah penempatan pada 2014. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)
Pekanbaru (ANTARA News) - Sejumlah imigran dari Afghanistan mengeluhkan kondisi mereka yang terpaksa tinggal di pinggiran atau di bahu selokan di depan Rumah Detensi Imigrasi (rudenim), di Jalan Jendral Sudirman No 233, Pekanbaru, Riau.
"Kami tinggal di sini sudah enam bulan karena rudenim tidak memperbolehkan kami tinggal di dalam kompleks rudenim," kata salah satu imigran dari Afghanistan, Ali (25) di Pekanbaru, Jumat (28/9).
Menurut Ali, konflik Afghanistan-Pakistan yang mengancam keselamatan nyawanya menyebabkan mereka harus menyelamatkan diri dengan pindah ke Indonesia.
Ia mengatakan, dirinya serta ibunya Fatimah (50), Fahiya (17) dan Zahra (6) adik perempuan Ali, serta kakak beradik Yasin (21) dan Syukria (17), sudah 2,5 tahun berada di Indonesia dan sebelum ke Pekanbaru, mereka sempat berada di Jakarta selama dua tahun.
"Selama berada di Jakarta kondisi kami juga terlantar seperti sekarang dan terpaksa pindah ke Pekanbaru untuk mencari suaka, namun masih tetap terlantar," katanya.
Selain Ali, diakui Yasin (20) bahwa rudenim tidak memberitahu mereka apa persyaratan yang kurang sehingga pengungsi boleh tinggal di Rudenim, padahal imigran lain ketika baru sampai memiliki kondisi yang sama seperti mereka.
Para imigran seperti Yasin dan Ali, mengakui juga sudah beberapa kali menghubungi International Organization of Migration (IOM), namun tidak mendapat respon dan tetap dibiarkan terlantar.
"Mendapat respon yang tidak memuaskan dari IOM tersebut kami putus asa dan merasa tak ada yang dapat membantu kami untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak di negara pengungsian," katanya.
Kondisi kehidupan yang tidak layak ini, kata mereka lagi, justru pernah mendorong mereka ingin pindah ke tempat lain, namun karena tidak memiliki uang, identitas serta berkas-berkas resmi lain maka tekad tersebut tidak bisa tercapai.
Kendati demikian para pencari suaka ini juga tak ingin dipulangkan ke negara asalnya.
Dalam kondisi demikian, Ali dan keluarganya serta teman-temannya mendapatkan bantuan makanan dan pakaian dari warga sekitar atau warga yang sedang melintasi jalan di depan rudenim itu.
"Di sini tetap jauh lebih baik daripada negara kami. Namun kami hanya ingin tempat tinggal karena di sini kehidupan kami sangat tidak layak, untuk makan dan mandi saja susah," kata Yasin.*
Baca juga: Kasus bunuh diri imigran remaja Afghanistan di Swedia melonjak
Baca juga: Puluhan pengungsi Afghanistan demo UNHCR di Jakarta
"Kami tinggal di sini sudah enam bulan karena rudenim tidak memperbolehkan kami tinggal di dalam kompleks rudenim," kata salah satu imigran dari Afghanistan, Ali (25) di Pekanbaru, Jumat (28/9).
Menurut Ali, konflik Afghanistan-Pakistan yang mengancam keselamatan nyawanya menyebabkan mereka harus menyelamatkan diri dengan pindah ke Indonesia.
Ia mengatakan, dirinya serta ibunya Fatimah (50), Fahiya (17) dan Zahra (6) adik perempuan Ali, serta kakak beradik Yasin (21) dan Syukria (17), sudah 2,5 tahun berada di Indonesia dan sebelum ke Pekanbaru, mereka sempat berada di Jakarta selama dua tahun.
"Selama berada di Jakarta kondisi kami juga terlantar seperti sekarang dan terpaksa pindah ke Pekanbaru untuk mencari suaka, namun masih tetap terlantar," katanya.
Selain Ali, diakui Yasin (20) bahwa rudenim tidak memberitahu mereka apa persyaratan yang kurang sehingga pengungsi boleh tinggal di Rudenim, padahal imigran lain ketika baru sampai memiliki kondisi yang sama seperti mereka.
Para imigran seperti Yasin dan Ali, mengakui juga sudah beberapa kali menghubungi International Organization of Migration (IOM), namun tidak mendapat respon dan tetap dibiarkan terlantar.
"Mendapat respon yang tidak memuaskan dari IOM tersebut kami putus asa dan merasa tak ada yang dapat membantu kami untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak di negara pengungsian," katanya.
Kondisi kehidupan yang tidak layak ini, kata mereka lagi, justru pernah mendorong mereka ingin pindah ke tempat lain, namun karena tidak memiliki uang, identitas serta berkas-berkas resmi lain maka tekad tersebut tidak bisa tercapai.
Kendati demikian para pencari suaka ini juga tak ingin dipulangkan ke negara asalnya.
Dalam kondisi demikian, Ali dan keluarganya serta teman-temannya mendapatkan bantuan makanan dan pakaian dari warga sekitar atau warga yang sedang melintasi jalan di depan rudenim itu.
"Di sini tetap jauh lebih baik daripada negara kami. Namun kami hanya ingin tempat tinggal karena di sini kehidupan kami sangat tidak layak, untuk makan dan mandi saja susah," kata Yasin.*
Baca juga: Kasus bunuh diri imigran remaja Afghanistan di Swedia melonjak
Baca juga: Puluhan pengungsi Afghanistan demo UNHCR di Jakarta
Pewarta: Frislidia
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: