Jakarta (ANTARA News) - Pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut Pancasila selama ini surplus dalam ranah wacana, tetapi defisit dalam tindakan atau pengamalan.

"Pancasila belum menjadi bagian pedoman tingkah laku, belum menjadi alat evaluasi terhadap kebijakan negara," ujar Deputi I bidang Pengkajian dan Materi BPIP Anas Saidi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Menurut Anas, sebagai ideologi, Pancasila cenderung jalan di tempat, padahal di beberapa negara, Korea misalnya, ideologi menjadi pendorong lahirnya suatu perubahan.

Bahkan, lanjut Anas, tak jarang masih muncul wacana kontraproduktif yang justru merupakan langkah mundur, yakni mempersoalkan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa, bahkan ingin mengganti dengan ideologi lain.

"Padahal Pancasila sudah final. Seharusnya sudah tidak lagi mempersoalkan esensi dari ideologi Pancasila, tinggal menjalani," katanya.

Untuk itu, menurut dia perlu ada upaya agar nilai-nilai Pancasila benar-benar diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehari-hari.

Selain itu, pengajaran Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi harus diperkuat lagi agar generasi sekarang dan mendatang tidak semakin asing dengan Pancasika.

"Absennya Pancasila di ruang publik selama dua dekade ternyata membawa implikasi yang tidak sederhana. Anak-anak yang sekarang berumur sekitar 20-30 tahun umumnya tidak memahami sejarah dan esensi dari Pancasila," katanya.

Ia mengatakan Pancasila merupakan perekat bangsa Indonesia yang majemuk, dan akan sangat berbahaya bagi bangsa ini ke depan bila generasi penerus tak lagi memahaminya.

"Dengan menghayati dan mengamalkan Pancasila tentunya juga dapat mematikan paham-paham lain yang selama ini diembuskan kelompok radikal teroris yang ingin mendirikan khilafah di Indonesia," kata Anas.

Baca juga: KBI prihatin gejala penurunan kesadaran masyarakat atas Pancasila

Baca juga: Pimpinan MPR imbau masyarakat kuatkan jiwa Pancasila