Kemampuan berbahasa daerah jadi penilaian utama Anugerah Sastera Rancage
27 September 2018 00:00 WIB
Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi (kiri) bersama tokoh lainnya menerima karikatur saat penyerahan hadiah sastra Rancage 2015 di halaman gedung Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/8). Penghargaan Sastra Rancage diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa untuk pengembangan bahasa dan sastra daerah. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)
Jakarta (ANTARA News) - Kemampuan berbahasa daerah dari para penulis buku menjadi penilaian utama dalam Anugerah Sastera Rancagé 2018 selain kriteria penilaian sastra secara umum seperti ide dan alur cerita.
Wakil Sekretaris Rancagé, Dadan Sutisna di Jakarta, Rabu, mengatakan seperti Anugerah Sastera Rancagé sebelumnya, penilaian untuk anugerah tahun ini dilakukan untuk karya-karya yang sudah terbit selama satu tahun terakhir.
“Prosesnya, para penulis mengumpulkan karya mereka untuk kemudian dinilai oleh juri yang berasal dari daerah bahasa-bahasa ibu itu berada,” kata Dadan.
Untuk sastra Sunda, penilaian dilakukan oleh Teddi Muhtadin dan Hawe Setiawan, sastra Jawa oleh Sriwidati Pradopo, dan Darma Putra yang menilai sastra Bali. Sementara untuk sastra Lampung dinilai oleh Kahfie Nazarudin, sastra Batak oleh Parakitri T Simbolon, dan sastra Banjar dinilai oleh Jamal T Suryanata.
“Rancage memang bekerja sama dengan tokoh di daerah tersebut yang paham akan kebudayaan, sastra, sebagai juri. Idealnya setiap kategori memang dinilai oleh tiga orang juri, tapi berhubung ada keterbatasan dalam beberapa hal kali ini masih satu juri, tapi ke depan lebih objektif dengan tiga juri,” kata Dadan.
Adapun di tahun 2017, Rancagé menerima sekitar 50 judul sastra berbahasa enam daerah tadi.
Menurut dia, tren karya sastra berbahasa daerah memang naik turun walaupun kebanyakan Sunda dan Jawa.
“Kami juga mensyaratkan karya sastra bahasa daerah bisa dinilai jika dalam tiga tahun berturut-turut ada karya yang menggunakan bahasa daerah itu. Sementara ke depan, kami berencana mensyaratkan karya yang dikirim punya ISBN,” kata dia.
Syarat itu diberlakukan karena tak jarang karya yang masuk adalah karya-karya mandiri atau indie yang dicetak secara terbatas.
“Kami bukan berarti anti-buku indie ya, tapi syarat ini diwacanakan agar karya yang masuk sudah terdaftar di ISBN,” kata dia.
Melalui Anugerah Sastera Rancagé, pihaknya pun berharap agar perkembangan sastra berbahasa ibu bisa lebih semarak.
Pihaknya memang tak menargetkan hal yang muluk-muluk, tetapi setidaknya lewat konsistensi Rancagé yang sudah lebih dari seperempat abad bisa membuat sastra berbahasa ibu tetap hidup.
”Minimalnya sastra daerah hidup, regenerasi penulis ada, tiap tahun ada buku yang dirilis. Ada sastra daerah yang tumbuh kembali. Dan memang setelah Rancagé ini kelihatan bertambah gairah menulis dengan bahasa ibu,” ucapnya seraya menuturkan bahasa daerah lain yang potensial diikutsertakan pada Rancagé sebelumnya adalah bahasa Madura.
“Sudah satu buku, mungkin ke depan akan terus terbit lagi.”
Baca juga: Enam sastrawan terima Anugerah Sastra Rancage
Baca juga: Anugerah Sastera Rancage dipindah ke Jakarta agar lebih berkembang
Wakil Sekretaris Rancagé, Dadan Sutisna di Jakarta, Rabu, mengatakan seperti Anugerah Sastera Rancagé sebelumnya, penilaian untuk anugerah tahun ini dilakukan untuk karya-karya yang sudah terbit selama satu tahun terakhir.
“Prosesnya, para penulis mengumpulkan karya mereka untuk kemudian dinilai oleh juri yang berasal dari daerah bahasa-bahasa ibu itu berada,” kata Dadan.
Untuk sastra Sunda, penilaian dilakukan oleh Teddi Muhtadin dan Hawe Setiawan, sastra Jawa oleh Sriwidati Pradopo, dan Darma Putra yang menilai sastra Bali. Sementara untuk sastra Lampung dinilai oleh Kahfie Nazarudin, sastra Batak oleh Parakitri T Simbolon, dan sastra Banjar dinilai oleh Jamal T Suryanata.
“Rancage memang bekerja sama dengan tokoh di daerah tersebut yang paham akan kebudayaan, sastra, sebagai juri. Idealnya setiap kategori memang dinilai oleh tiga orang juri, tapi berhubung ada keterbatasan dalam beberapa hal kali ini masih satu juri, tapi ke depan lebih objektif dengan tiga juri,” kata Dadan.
Adapun di tahun 2017, Rancagé menerima sekitar 50 judul sastra berbahasa enam daerah tadi.
Menurut dia, tren karya sastra berbahasa daerah memang naik turun walaupun kebanyakan Sunda dan Jawa.
“Kami juga mensyaratkan karya sastra bahasa daerah bisa dinilai jika dalam tiga tahun berturut-turut ada karya yang menggunakan bahasa daerah itu. Sementara ke depan, kami berencana mensyaratkan karya yang dikirim punya ISBN,” kata dia.
Syarat itu diberlakukan karena tak jarang karya yang masuk adalah karya-karya mandiri atau indie yang dicetak secara terbatas.
“Kami bukan berarti anti-buku indie ya, tapi syarat ini diwacanakan agar karya yang masuk sudah terdaftar di ISBN,” kata dia.
Melalui Anugerah Sastera Rancagé, pihaknya pun berharap agar perkembangan sastra berbahasa ibu bisa lebih semarak.
Pihaknya memang tak menargetkan hal yang muluk-muluk, tetapi setidaknya lewat konsistensi Rancagé yang sudah lebih dari seperempat abad bisa membuat sastra berbahasa ibu tetap hidup.
”Minimalnya sastra daerah hidup, regenerasi penulis ada, tiap tahun ada buku yang dirilis. Ada sastra daerah yang tumbuh kembali. Dan memang setelah Rancagé ini kelihatan bertambah gairah menulis dengan bahasa ibu,” ucapnya seraya menuturkan bahasa daerah lain yang potensial diikutsertakan pada Rancagé sebelumnya adalah bahasa Madura.
“Sudah satu buku, mungkin ke depan akan terus terbit lagi.”
Baca juga: Enam sastrawan terima Anugerah Sastra Rancage
Baca juga: Anugerah Sastera Rancage dipindah ke Jakarta agar lebih berkembang
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: