Beijing (ANTARA News) - Pemerintah Wilayah Khusus Hongkong, Senin, secara resmi melarang kegiatan Partai Nasional (HKNP) karena dianggap menyokong kemerdekaan Hongkong.

Menteri Keamanan Hongkong Lee Ka Chiu menganggap gerakan prokemerdekaan tidak sekedar retorika politik sehingga pihaknya tidak segan menggunakan tindakan tegas atas gerakan tersebut.

"Pernyataan HKNP berpotensi mendorong pengikutnya bisa menimbulkan kekerasan dan gangguan ketertiban umum. Hal ini yang menjadi alasan kami untuk mengambil tindakan pencegahan terhadap mereka," katanya sebagaimana dikutip South China Morning Post.

Dengan adanya larangan itu, maka siapa pun yang berhubungan dengan partai tersebut, mengikuti pertemuan, dan memberikan bantuan pendanaan akan dikenai denda dan hukuman penjara selama dua hingga tiga tahun.

Menurut Lee, rakyat Hongkong telah mendapatkan kebebasan berserikat dan berbicara, namun kebebasan tersebut bukan tanpa batas, melainkan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Keputusan pelarangan tersebut memicu berbagai pendapat dari berbagai komunitas masyarakat di Hong Kong dan mereka mempertanyakan apakah keputusan itu sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Presiden China dukung usaha kekang kemerdekaan Hongkong

Sementara itu, Dewan Pemerintahan China urusan Hongkong dan Makau mendukung pelarangan aktivitas HKNP.

"Kami mendukung pemerintah Hongkong yang tetap menegakkan aturan perundang-undangan dengan melarang segala bentuk kegiatan HKNP," kata seorang pejabat penghubung China di Hongkong seperti dikutip Xinhua.

Hongkong merupakan daerah administrasi khusus di bawah pemerintah China. Sesuai konstitusi, China dan Hongkong merupakan satu negara dengan dua sistem. Pemerintah Republik Rakyat China tidak mengurusi keuangan Hongkong, namun bertanggung jawab atas pertahanan dan kebijakan luar negeri.

Inggris menyerahkan kedaulatan Hong Kong kepada RRC pada 1 Juli 1997. Hong Kong terdiri dari beberapa pulau yang luas keseluruhannya mencapai 9,6 juta kilometer persegi di sebelah selatan daratan China.

Editor: Gusti Nur Cahya Aryani