KPK nilai praperadilan kasus DOKA tidak serius
21 September 2018 17:13 WIB
Gubernur nonaktif Aceh Irwandi Yusuf bergegas menuju mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (13/8/2018). Irwandi Yusuf menjalani pemeriksaan lanjutan terkait kasus dugaan suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) Tahun Anggaran 2018. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai praperadilan yang diajukan seorang bernama Yuni Eko Hariatna dalam kasus suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) Tahun Anggaran 2018 tidak menunjukkan keseriusan.
Untuk diketahui, sidang praperadilan yang diajukan Yuni Eko sebagai pihak pemohon tersebut sedang diproses Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Ketika Hakim memberikan kesempatan kepada para pihak dalam beberapa hari persidangan untuk mengajukan bukti surat, saksi dan ahli, tetapi pemohon tidak mengajukan satu pun bukti guna mendukung permohonannya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat.
Yuni Eko diketahui sebagai Kepala Perwakilan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Kota Banda Aceh.
Febri mengatakan salah satu bukti surat yang diajukan menjelaskan bahwa praperadilan itu bukan merupakan inisiatif dari Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf.
"Yang bersangkutan tidak pernah memberikan kuasa kepada siapapun dalam upaya hukum praperadilan sehingga KPK memandang pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau "legal standing", ungkap Febri.
Hal tersebut, kata Febri, menunjukkan bahwa pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil sebagaimana disampaikan dalam permohonannya.
KPK meyakini tangkap tangan yang dilakukan terhadap sejumlah pihak di Aceh, termasuk Irwandi Yusuf di Pendopo Gubernur Aceh memenuhi kategori Pasal 1 angka 19 KUHAP, yaitu beberapa saat setelah tindak pidana korupsi itu dilakukan.
Baca juga: KPK panggil Plt Gubenur Aceh Nova Iriansyah
"Karena itu lah, KPK meminta pada Hakim praperadilan untuk menolak seluruh permohonan praperadilan tersebut atau setidaknya menyatakan tidak diterima," ucap Febri.
Hakim merencanakan agenda putusan praperadilan tersebut pada 25 September 2018.
Dalam Praperadilan yang diajukan oleh Yuni Eko Hariatna dengan nomor perkara 97/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel. itu, KPK telah memberikan jawaban pada 18 September 2018 kemudian mengajukan delapan alat bukti Surat.
Selanjutnya, pada 19 September 2018, tim KPK menyampaikan kesimpulan pada Hakim dalam kasus tersebut.
Terkait dengan penanganan perkara pokok saat ini masih terus berlangsung untuk tersangka Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf, Hendri Yuzal yang merupakan staf khusus Irwandi Yusuf, dan Teuku Saiful Bahri dari pihak swasta.
Sedangkan penyidikan untuk Ahmadi, Bupati Bener Meriah nonaktif telah selesai dan dilimpahkan pada Penuntut Umum sejak 31 Agustus 2018.
Kemudian Jaksa Penuntut Umum KPK telah menyerahkan dakwaan dan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 September 2018.
Rencana persidangan untuk terdakwa Ahmadi akan dilakukan pada 27 September 2018.
Baca juga: KPK panggil 13 saksi suap DOKA
Untuk diketahui, sidang praperadilan yang diajukan Yuni Eko sebagai pihak pemohon tersebut sedang diproses Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Ketika Hakim memberikan kesempatan kepada para pihak dalam beberapa hari persidangan untuk mengajukan bukti surat, saksi dan ahli, tetapi pemohon tidak mengajukan satu pun bukti guna mendukung permohonannya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat.
Yuni Eko diketahui sebagai Kepala Perwakilan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Kota Banda Aceh.
Febri mengatakan salah satu bukti surat yang diajukan menjelaskan bahwa praperadilan itu bukan merupakan inisiatif dari Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf.
"Yang bersangkutan tidak pernah memberikan kuasa kepada siapapun dalam upaya hukum praperadilan sehingga KPK memandang pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau "legal standing", ungkap Febri.
Hal tersebut, kata Febri, menunjukkan bahwa pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil sebagaimana disampaikan dalam permohonannya.
KPK meyakini tangkap tangan yang dilakukan terhadap sejumlah pihak di Aceh, termasuk Irwandi Yusuf di Pendopo Gubernur Aceh memenuhi kategori Pasal 1 angka 19 KUHAP, yaitu beberapa saat setelah tindak pidana korupsi itu dilakukan.
Baca juga: KPK panggil Plt Gubenur Aceh Nova Iriansyah
"Karena itu lah, KPK meminta pada Hakim praperadilan untuk menolak seluruh permohonan praperadilan tersebut atau setidaknya menyatakan tidak diterima," ucap Febri.
Hakim merencanakan agenda putusan praperadilan tersebut pada 25 September 2018.
Dalam Praperadilan yang diajukan oleh Yuni Eko Hariatna dengan nomor perkara 97/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel. itu, KPK telah memberikan jawaban pada 18 September 2018 kemudian mengajukan delapan alat bukti Surat.
Selanjutnya, pada 19 September 2018, tim KPK menyampaikan kesimpulan pada Hakim dalam kasus tersebut.
Terkait dengan penanganan perkara pokok saat ini masih terus berlangsung untuk tersangka Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf, Hendri Yuzal yang merupakan staf khusus Irwandi Yusuf, dan Teuku Saiful Bahri dari pihak swasta.
Sedangkan penyidikan untuk Ahmadi, Bupati Bener Meriah nonaktif telah selesai dan dilimpahkan pada Penuntut Umum sejak 31 Agustus 2018.
Kemudian Jaksa Penuntut Umum KPK telah menyerahkan dakwaan dan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 14 September 2018.
Rencana persidangan untuk terdakwa Ahmadi akan dilakukan pada 27 September 2018.
Baca juga: KPK panggil 13 saksi suap DOKA
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018
Tags: