Di arah tenggara Gunung Marapi, Sumatera Barat, perkampungan Pariangan yang elok membentang menebarkan pesona alamnya. Nagari yang berada di wilayah Kabupaten Tanah Datar itu dikenal dengan sebutan Nagari Tuo.

Pantun Minangkabau menyebutnya sebagai daerah asal nenek moyang. Dari mano asa titiak palito, di baliak telong nan batali, dari mano asa niniak moyang kito, dari lereang Gunuang Marapi, demikian antara lain isi pantunnya.

Berdasarkan tambo, cerita rakyat dalam tradisi lisan masyarakat Minangkabau, Pariangan merupakan daerah pertama yang menjadi permukiman pada masa lampau.

Dalam tambo, nenek moyang masyarakat Minangkabau disebut sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain, yang memiliki tiga anak yaitu Sultan Suri Maharajo Dirajo, Sultan Maharajo Alif, dan Sultan Maharajo Depang.

Ketiganya kemudian berpisah, dan Sultan Suri Maharajo Dirajo bersama pengikutnya yang pada akhirnya berlayar hingga daerah Gunung Marapi, tempat mereka pertama kali bermukim di cikal bakal Nagari Pariangan.


Petunjuk arkeologis

Lain dengan versi tambo, peninggalan arkeologis di Pariangan menunjukkan daerah tersebut sudah mulai eksis sejak zaman Hindu-Buddha, sebelum Islam masuk.

Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Utara Taufiqurrahman Setiawan mengatakan daerah Pariangan menyimpan peninggalan sejarah dari zaman pra-Islam, termasuk di antaranya Prasasti Pariangan yang berada di daerah Biaro, tidak jauh dari Masjid Ishlah di Pariangan.

Bersama beberapa peneliti, dia berada di Pariangan untuk menindaklanjuti laporan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat mengenai temuan bata yang diduga bagian dari bangunan tempat pemujaan di Biaro, yang menurut kajian toponimi namanya berasal dari kata biara atau wihara.

Setelah melakukan penggalian pada 11-18 September, para peneliti menemukan beberapa pecahan bata dan gerabah yang kemudian disimpan dalam dua kotak. Namun temuan itu belum bisa menjadi titik awal untuk melakukan penggalian lebih lanjut.

Taufiq menduga Prasasti Pariangan menyimpan cerita mengenai tempat pemujaan ataupun bangunan penting lain pada masa lalu. Sayangnya kondisi Prasasti Pariangan sudah kurang bagus, sebagian aksaranya rusak, menyulitkan para peneliti mengungkap informasi yang tertulis padanya.

Peneliti BPCB Sumatera Barat yang ikut melakukan ekskavasi di Biaro, Dodi Chandra, menjelaskan bahwa pendataan sebenarnya sudah dilakukan di kawasan Pariangan sejak 2016, dan menghasilkan rekomendasi untuk meneliti lebih lanjut petunjuk mengenai adanya struktur bangunan kuno di daerah Biaro.

Dodi menjelaskan pendataan dilakukan berdasarkan laporan masyarakat setempat mengenai bata-bata yang ditemukan saat menggali tanah untuk membangun fondasi rumah dan sekolah serta membuat sumur.

Bata-bata tersebut berbeda dengan bata yang ada saat ini. Lebih besar dan lebih tebal, mirip dengan batu-batu pada bangunan struktur candi. Dan bata serupa pernah ditemukan di situs di Ponggongan, tidak jauh dari tempat prasasti berada, memunculkan kemungkinan bahwa bata-bata itu merupakan bagian dari bangunan masa lalu yang tersisa di Biaro.