Jakarta, (ANTARA News) - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris mengatakan defisit yang dialami pihaknya bukan tiba-tiba terjadi melainkan direncanakan.

"Setiap tahun kami menyiapkan rencana kerja, pendapatan dan pengeluaran. Pada 2018, memang direncanakan defitsit Rp12,1 triliun ditambah utang 2017 Rp4,4 triliun," kata Fahmi dalam rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR di Jakarta, Senin.

Terkait dengan perbedaan angka defisit yang dialami BPJS Kesehatan yang beredar di masyarakat, Fahmi mengatakan hal itu hanya karena perbedaan metodologi dan asumsi saja.

Begitu pula dengan dorongan banyak pihak agar keuangan BPJS Kesehatan diaudit, Fahmi mengatakan pihaknya setiap tahun selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akuntan publik dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Kami menjalankan tata kelola yang baik. Setiap bulan juga melapor kepada pemerintah. Kami tidak pernah main-main dengan angka," paparnya.

Fahmi mengatakan penyebab defisit adalah iuran yang masuk dari peserta dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai layanan kesehatan lebih sedikit. Selain itu, jumlah penduduk yang menderita penyakit tidak menular dan katastropik juga meningkat.

"Defisit saat ini belum mencapai puncaknya," ujarnya.

Komisi IX DPR melakukan rapat dengar pendapat untuk membahas defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan. Rapat yang dipimpin Ketua Komisi IX Dede Yusuf itu dihadiri Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Sigit Priohutomo dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris.

Komisi IX juga mengundang Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sementara itu, di balkon Ruang Rapat Komisi IX juga dipenuhi kelompok masyarakat pasien BPJS. *

Baca juga: Menkeu: Sudah ada langkah kurangi defisit BPJS Kesehatan

Baca juga: Jusuf Kalla minta BPJS Kesehatan lebih efisien agar atasi defisit