Semarang (ANTARA News) - Komisi Pemilihan Umum dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) perlu menjalin kerja sama secara serius guna mencegah peretasan terhadap "web" atau laman KPU agar tidak mengganggu pelaksanaan Pemilu 2019, kata pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha.

Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) ketika menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Minggu, mengatakan bahwa keberadaan BSSN untuk meningkatkan keamanan sistem masing-masing instansi.

BSSN, kata Pratama, bisa melakukan pengecekan dan memberikan banyak masukan untuk perbaikan sistem instansi negara, termasuk penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu RI.

Ia mencontohkan pemilihan kepala daerah pada tahun 2017 dan 2018, KPU selalu menjadi target serangan. Belum lagi laman kementerian, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota.

"Pada prinsipnya para peretas selalu lebih di depan saat melakukan serangan. Kita tidak bisa mengetahui peretas akan menyerang web instansi yang mana, kecuali ada info lain yang valid dari sumber terpercaya," tuturnya.

Peretasan seperti kegiatan digital lainnya, lanjut dia, selalu meninggalkan jejak dan ada potensi terlihat aktivitasnya. Hal inilah yang membuat monitoring pada sistem sangat penting dan menjadi pekerjaan rumah bagi aparat pemerintah.

Menurut Pratama, seharusnya perbaikan dan penguatan dilakukan sebelum ada serangan. Namun, fakta di lapangan adalah keamanan siber pada sistem instansi ini belum menjadi prioritas sehingga baru mendapatkan perhatian saat ada serangan.

"Penguatan memang harus dilakukan di semua sisi, mulai dari sisi sumber daya manusia, peralatan, hingga `tools`. Selain itu, juga sistem itu sendiri," ujar Pratama.

Apalagi, lanjut dia, Presiden RI Joko Widodo menginginkan internet sebagai solusi permasalahan birokrasi dan perizinan. Bila keamanan sistemnya tidak kuat, menurut dia, akan menjadi masalah dari waktu ke waktu.

Ia memandang sumber daya manusia yang ahli di bidang keamanan siber tanah air cukup banyak dan tidak kalah dengan pakar dari luar negeri.

Yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah, kata Pratama, adalah keberpihakan pada pembangunan teknologi dan keamanan siber dalam negeri.

Kartu tanda penduduk (KTP) elektronik, misalnya, belakangan diketahui ternyata dibangun oleh asing sehingga ada banyak kesulitan dan memakan waktu saat ada masalah.

"Tentu kita ingin selain SDM dalam negeri, ada penggunaan teknologi hasil kreasi anak bangsa. Manfaatnya jelas, `server` dan teknologi dalam negeri akan membuat semua permasalahan teknis dan hukum diselesaikan cepat sesuai dengan hukum di Indonesia," kata Pratama.