Asosiasi minta pemerintah siapkan pendorong investasi energi terbarukan
15 September 2018 11:55 WIB
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana (kedua dari kiri) didampingi Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari (keempat dari kiri) saat penajakan Sumur RD-I3, yang merupakan sumur eksploitasi pertama proyek panas bumi Rantau Dedap di Kabupaten Muara Enim, Sumsel, Sabtu (4/8/2018). (ANTARA News/HO)
Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi profesi Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) menilai pemerintah perlu menyiapkan kebijakan dan regulasi yang dapat menjadi pendorong investasi energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air.
Wakil Ketua Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) MKI Muhammad Sofyan dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu, mengatakan pemerintah juga perlu membangun ruang fiskal dan menyediakan ruang-ruang insentif untuk mendukung investasi di bidang tersebut.
"Dengan ekosistem industri yang kondusif, pihak swasta pun dapat mendorong terjadinya kemitraan yang menguntungkan, meningkatkan transfer teknologi dan investasi," katanya.
Menurut Sofyan, bauran energi antara fosil dan energi terbarukan untuk keberlanjutan infrastruktur ketenagalistrikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional akan semakin dibutuhkan.
Sementara itu, pemerintah terus berusaha meningkatkan porsi energi baru terbarukan sebagai sumber energi primer dalam bauran energi pembangkit listrik nasional.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kontribusi EBT bertambah 2 persen dalam tiga tahun menjadi 12,15 persen pada akhir 2017.
Pertumbuhan 2 persen dalam tiga tahun dinilainya tidak cukup untuk mengejar target Kebijakan Energi Nasional (KEN) 23 persen tahun 2025 sehingga perlu mendorong investasi swasta.
Dewan Pakar MKI Riki Firmandha Ibrahim mengungkapkan sejumlah tantang utama pengembangan EBT di Indonesia, terutama di bidang panas bumi, yakni harga jual listrik, kompleksitas perizinan, pembiayaan proyek, kepastian implementasi kebijakan fiskal dan risiko geologi.
"Selanjutnya masalah penyiapan lahan dan infrastruktur, hubungan sosial kemasyarakatan, kepastian implementasi kebijakan nonfiskal, akses teknologi serta kompetensi sumber daya manusia," katanya.
Meski demikian, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) itu mengatakan pemerintah telah memberikan sejumlah dukungan yang dibutuhkan untuk pengembangan EBT panas bumi dengan harga jual listrik sesuai keekonomian proyek, mengurangi jumlah dan kerumitan perizinan, memberikan pembiayaan proyek yang lebih murah serta pelaksnaan kebijakan fiskal yang ada.
Berikutnya, memberikan kemudahan akses lahan operasi, akses ke "green fund", pelaksanaan kebijakan nonfiskal, pengelolaan masalah sosial hingga akses teknologi.
Baca juga: PLTB Sidrap perintis energi baru terbarukan
Wakil Ketua Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) MKI Muhammad Sofyan dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu, mengatakan pemerintah juga perlu membangun ruang fiskal dan menyediakan ruang-ruang insentif untuk mendukung investasi di bidang tersebut.
"Dengan ekosistem industri yang kondusif, pihak swasta pun dapat mendorong terjadinya kemitraan yang menguntungkan, meningkatkan transfer teknologi dan investasi," katanya.
Menurut Sofyan, bauran energi antara fosil dan energi terbarukan untuk keberlanjutan infrastruktur ketenagalistrikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional akan semakin dibutuhkan.
Sementara itu, pemerintah terus berusaha meningkatkan porsi energi baru terbarukan sebagai sumber energi primer dalam bauran energi pembangkit listrik nasional.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kontribusi EBT bertambah 2 persen dalam tiga tahun menjadi 12,15 persen pada akhir 2017.
Pertumbuhan 2 persen dalam tiga tahun dinilainya tidak cukup untuk mengejar target Kebijakan Energi Nasional (KEN) 23 persen tahun 2025 sehingga perlu mendorong investasi swasta.
Dewan Pakar MKI Riki Firmandha Ibrahim mengungkapkan sejumlah tantang utama pengembangan EBT di Indonesia, terutama di bidang panas bumi, yakni harga jual listrik, kompleksitas perizinan, pembiayaan proyek, kepastian implementasi kebijakan fiskal dan risiko geologi.
"Selanjutnya masalah penyiapan lahan dan infrastruktur, hubungan sosial kemasyarakatan, kepastian implementasi kebijakan nonfiskal, akses teknologi serta kompetensi sumber daya manusia," katanya.
Meski demikian, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) itu mengatakan pemerintah telah memberikan sejumlah dukungan yang dibutuhkan untuk pengembangan EBT panas bumi dengan harga jual listrik sesuai keekonomian proyek, mengurangi jumlah dan kerumitan perizinan, memberikan pembiayaan proyek yang lebih murah serta pelaksnaan kebijakan fiskal yang ada.
Berikutnya, memberikan kemudahan akses lahan operasi, akses ke "green fund", pelaksanaan kebijakan nonfiskal, pengelolaan masalah sosial hingga akses teknologi.
Baca juga: PLTB Sidrap perintis energi baru terbarukan
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2018
Tags: