Jakarta (ANTARA News) - Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang Pedoman Pengendalian Pembakaran Hutan, Lahan, dan Dampak Lingkungan Hidup menghasilkan sejumlah persyaratan yang sangat ketat untuk melakukan pembakaran. Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri (Kapuspen Depdagri) Saut Situmorang di Kantor Depdagri, Jumat, mengatakan pemerintah Provinsi Riau dan DPRD-nya telah menyetujui Raperda itu, namun sebelum ditetapkan menjadi Perda, Gubernur Riau mengajukan Raperda itu kepada Mendagri untuk dievaluasi. "Rapat konsultasi Raperda dengan Pemda, DPRD Riau, Kementerian Lingkungan Hidup, dan pihak Depdagri telah menghasilkan sejumlah kesepakatan," katanya. Saut menyebutkan, kesepakatan itu antara lain pada prinsipnya Raperda tidak boleh melakukan pembakaran hutan dan lahan. Pansus DPRD Provinsi Riau mengharapkan untuk melindungi kepentingan rakyat kecil bagi masyarakat tempatan yang mengelola lahan pertanian, perladangan, dan perkebunan secara tradisional oleh kepentingan sendiri dan dalam rangka pengentasan kemiskinan, meminta agar solusinya diakomodir dalam Perda. "Yang dimungkinkan untuk dikecualikan adalah pengelolaan lahan pertanian, perladangan, dan perkebunan secara tradisional terhadap lahan yang dimiliki dan dilindungi dengan hak ulayat dan untuk kepentingan sendiri," katanya. Namun, pengecualian tersebut, diberikan dengan syarat-syarat, harus diatur dengan peraturan desa, peraturan desa berpedoman kepada peraturan kabupaten/kota yang mengatur hak ulayat. Kemudian, sepanjang perda kabupaten/kota belum mengatur hak ulayat, maka peraturan desa tidak bisa ditetapkan. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat, DPRD, serta pemerintah provinsi dapat mengawasi penerbitan perda yang mengatur hal tersebut. Mengenai hak ulayat, tambah Saut, sesuai dengan peraturan dan surat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tertanggal 24 Juni 1999 tentang Pedoman Penyelesaian hak ulayat masyarakat adat mengatur bahwa eksistensi hak ulayat dapat dilakukan dengan sejumlah persyaratan. Persyaratan tersebut di antaranya, ninik mamak (kepala suku) masih eksis di tengah masyarakat hukum adat dan unsur-unsur perangkat adat masih ada di masyarakat hukum adat. Pada Raperda tercantum, ayat (1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan, ayat (2) untuk hal-hal tertentu yang bersifat khusus, pembakaran hutan atau lahan dapat dilakukan dengan terlebih dulu mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai perubahan permendagri. Ayat (3), bagi masyarakat tempatan yang mengolah lahan secara tradisional sampai dengan dua hektar per kepala keluarga yang dilindungi hak ulayat untuk kepentingan sendiri dikecualikan dari ketentuan pda ayat (1) dalam hal kegiatannya bertujuan untuk pertanian, perladangan, dan perkebunan. Ayat (4), ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur lebih lanjut dalam peraturan desa yang berpedoman dnegan peraturan daerah kabupaten/kota.(*)