Oleh dr Dito Anurogo MSc *)
Melasma adalah dermatosis umum yang melibatkan perubahan pigmentasi kulit normal, sebagai hasil dari hiperaktivitas melanosit epidermal. Proses hiperpigmentasi itu diinduksi oleh radiasi sinar ultraviolet.
Referensi lain menyebutkan bahwa melasma merupakan hipermelanosis yang umum, didapat, sirkumskripta dari kulit yang terpapar sinar matahari.
Verallo-Rowell (2001) menyebut melasma sebagai dermatitis fotokontak. Istilah melasma berasal dari kata Yunani kuno "melas" yang berarti "hitam". Istilah chloasma bermakna sama, juga berasal dari kata Yunani kuno "cloazein" yang berarti kehijau-hijauan.
Melasma secara klinis memiliki patognomonis makula coklat terang hingga gelap yang biasanya terjadi di wajah, meskipun dapat juga mengenai area toraks anterior, servikal, serta anggota tubuh bagian atas. Lokasi melasma tersering adalah pipi, bibir atas, dagu, dan dahi.
Meskipun demikian, daerah kulit yang sering terpajan sinar matahari lainnya juga terkadang dapat terkena melasma.
Melasma memengaruhi kehidupan di beberapa aspek, seperti kehidupan sosial, rekreasi, waktu luang, dan kesejahteraan emosional.
Setidaknya ada dua penyebab melasma, yakni melanositosis (peningkatan jumlah melanosit) dan peningkatan proses melanogenesis (peningkatan produksi melanin), yang bertanggung-jawab atas terjadinya hiperpigmentasi pada melasma.
Adapun beberapa faktor risiko berperan di dalam proses terjadinya melasma, seperti predisposisi genetika, terpapar cahaya matahari, terutama sinar ultraviolet, usia, jenis kelamin, terapi hormon, kosmetika, medikasi fototoksik, obat-obat antikonvulsif (contoh phenytoin), kehamilan, disfungsi tiroid, penyakit dan kelainan tiroid, endokrinopati, faktor-faktor emosional.
Kang dkk (2011) telah melakukan analisis transkripsional pada sampel kulit penderita melasma dan menemukan 279 gen terstimulasi serta 152 mengalami downregulasi.
Berbagai biosintesis melanin terkait gen-gen serta berbagai marker melanosit seperti TYR, MITF, SILV, dan TYRP1 mengalami upregulasi di kulit penderita melasma.
Berbagai jalur iNOS dan nuclear factor-kappa B juga memiliki implikasi di dalam patogenesis melasma. Ekspresi iNOS meningkat pada lesi melasma. (Lesi adalah istilah kedokteran untuk merujuk pada keadaan jaringan yang abnormal pada tubuh.red)
Penemuan menarik lainnya adalah peran gen H19 di dalam patogenesis melasma. Gen H19 mentranskrip suatu ribonucleic acid (RNA) noncoding dan mengalami downregulasi pada lesi melasma. Hal ini menginduksi stimulasi melanogenesis dan meningkatkan transfer melanin dari melanosit menuju ke keratinosit.
Bagaimanapun juga, predisposisi genetika dan paparan terhadap radiasi sinar matahari berperan penting, mengingat lesi melasma lebih sering terjadi selama atau setelah terpapar sinar matahari.
Epidemiologi
Prevelensi melasma di populasi berada di dalam kisaran antara 1,5 persen dan 33,3 persen. Prevalensi pada kehamilan mencapai 50-70 persen. Melasma umumnya dialami kaum perempuan selama masa reproduktif mereka.
Onset usia penderita melasma antara 30-55 tahun. Meskipun dominan perempuan, namun pria juga dapat mengalami melasma. Sekitar 10 persen pria mengalami melasma. Di India, sejumlah 20,5 - 25,83 persen pria menderita melasma.
Kehamilan dan penggunaan kontrasepsi oral hingga stimulasi melanosit yang diperantarai oleh estrogen merupakan hal utama di dalam patogenesis melasma.
Orang berambut gelap dan dengan kulit tipe III-VI Fitzpatrick rentan menderita melasma.
Komponen ultraviolet (UV) sinar matahari merupakan pemicu utama dan faktor yang memperparah melasma, menyebabkan hiperplasia melanosit fokal dan meningkatkan melanosom.
Penggunaan kosmetika topikal, parfum, dan obat-obat fototoksik juga pemicu dan pemerparah melasma melalui proses sensitisasi kulit dan induksi postinflammatory hyperpigmentation (PIH).
Diagnosis
Pemeriksaan lampu Wood dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi pigmen, namun terbatas hanya pada kasus melasma epidermal dan tidak dapat digunakan pada kulit Fitzpatrick tipe V dan VI, sebab pigmentasi melanin pada kulit gelap mengaburkan deteksi melanin di lapisan dermis.
Melasma dapat diklasifikasikan berdasarkan basis area dan parameter derajat keparahan, yakni skor melasma area and severity index (MASI). Selain MASI, metode evaluasi melasma adalah modifed MASI (mMASI) dan mexameter.
Dermoskopi dapat digunakan untuk diagnosis melasma. Lesi-lesi melasma menunjukkan pigmentasi retikular difus di berbagai bayangan coklat dengan gambaran sparing of follicular openings.
Adapun reflectance confocal microscopy (RCM) merupakan peralatan noninvasif untuk evaluasi kulit hingga ke lapisan dermis papiller.
RCM menawarkan cara inovatif dalam klasifikasi melasma melalui perubahan pigmen. RCM juga membantu menentukan prognosis melasma serta monitoring respons terhadap terapi.
Belum ada konsensus sebagaimana klasifikasi klinis melasma. Dua pola melasma fasial telah dikenal. Pertama, pola sentral-fasial. Pola ini memengaruhi area sentral dahi, mulut, bibir, daerah supra labial, dan dagu.
Kedua, pola malar. Pola ini memengaruhi area zigomatik. Beberapa ahli menambahkan pola ketiga yang kurang sering dijumpai, yakni mandibular. Studi yang dilakukan oleh Ponzio dan Cruz berhasil membuktikan bahwa 78,7 persen melasma berpola sentral dan 21,3 persen berpola periferal.
Pada pria, pola malar lebih sering dijumpai dibandingkan pola sentrofasial dan pola mandibular.
Tatalaksana
Prinsip terapi melasma adalah proteksi dari sinar matahari dan depigmentasi. Reduksi pigmen diperoleh menggunakan zat kimiawi yang telah berproses melalui beberapa jalur melanogenesis; (i) retardasi proliferasi melanosit; (ii) inhibisi pembentukan melanosome dan sintesis melanin; serta (iii) penguatan degradasi melanosome.
Tabir surya (sunscreen) penting untuk mencegah hiperpigmentasi dan kekambuhan melasma. Tabir surya anti UV A dan B spektrum luas dengan berbagai agen physical blocking seperti ZnO dan TiO2 (SPF lebih dari 30) sebaiknya digunakan secara teratur untuk melindungi kulit.
Hidrokuinon (dihydroxybenzene) secara struktural serupa dengan prekursor melanin. Hidrokuinon menghambat konversi dopa ke melanin melalui penghambatan aksi tyrosinase dan menghambat pembentukan, melanisasi, serta degradasi melanosom.
Hidrokuinon juga memengaruhi berbagai struktur membran melanosit dan pada akhirnya menyebabkan nekrosis dari melanosit secara keseluruhan. Hidrokuinon telah dipergunakan untuk mengatasi hiperpigmentasi selama 50 tahun.
Pencerahan pigmen melalui hidrokuinon menjadi nyata setelah 5-7 minggu terapi. Penanganan dengan hidrokuinon sebaiknya dilanjutkan setidaknya selama tiga bulan hingga satu tahun.
Hidrokuinon 2-4 persen digunakan sebagai monoterapi atau sebagai krim kombinasi. Preparasi hidrokuinon lebih dari 5 persen tidak direkomendasikan karena berpotensi iritasi, kecuali untuk kasus-kasus refrakter atau kambuhan.
Silymarin merupakan flavonoid polipeptida yang komponen utamanya berupa silybin (silibinin) yang memiliki kandungan antioksidan. Hal itu mengurangi efek berbahaya radiasi ultraviolet serta menghambat produksi melanin. Terapi ini direkomendasikan dokter atau dermatologis dua kali sehari selama empat minggu.
Rekomendasi terapi adalah steroid terfluorinasi untuk lini pertama, dengan tambahan peel selektif bila diperlukan pada lini kedua. Laser adalah upaya terakhir.
Terapi lini pertama terutama terdiri dari persenyawaan topikal yang memengaruhi jalur sintesis melanin, fotoproteksi spektrum luas, dan camouflage. Peel kimiawi seringkali ditambahkan dalam terapi lini kedua.
Laser dan terapi cahaya merupakan pilihan yang menjanjikan untuk pasien yang refrakter terhadap modalitas terapi lainnya, namun juga berisiko memperburuk penyakit.
Berbagai laser yang digunakan untuk pengobatan melasma antara lain berupa cahaya hijau: flashlamp-pumped PDL (510 nm), frequency doubled Q switched neodymium: Yttrium aluminium garnet-532 nm (QS Nd: YAG).
Pilihan laser lain berupa cahaya merah: Q switched ruby (694 nm), Q switched alexandrite (755 nm). Alternatif laser lain berupa near-infrared: QS Nd: YAG (1064 nm).
Pemahaman komprehensif tentang risiko dan manfaat dari berbagai pilihan terapeutik amat penting di dalam memilih penanganan terbaik.
*) Penulis adalah dokter literasi digital, dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah (FK Unismuh) Makassar, penulis The Art of Medicine dan 20 buku lainnya, Director VP Campus Networking Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Makassar.
Baca juga: Benjolan di leher, berbahayakah? Oleh dr Dito Anurogo MSc *)
Baca juga: Kiat mencegah depresi pascamudik lebaran
Artikel
Manajemen melasma
12 September 2018 19:13 WIB
dr Dito Anurogo MSc (Dokumentasi Pribadi)
Pewarta: -
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018
Tags: