Artikel
Jurnalis menjaga kewarasan publik
11 September 2018 08:11 WIB
Sejumlah jurnalis melakukan aksi solidaritas menolak kekerasan terhadap wartawan di depan kantor Mapolresta Bogor Kota, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (2/6). Aksi solidaritas yang dilakukan oleh gabungan sejumlah aliansi jurnalis tersebut menyikapi aksi intimidasi oleh sekelompok salah satu oknum partai politik dengan cara persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis di Bogor. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)
Jakarta (ANTARA News) - Politikus senantiasa berusaha mengeksploitasi jurnalis dalam mengejar kepentingan politiknya. Itu sebabnya jurnalis diingatkan untuk senantiasa waspada dalam memberitakan pernyataan pemburu kekuasaan itu.
Jurnalis yang bekerja di perusahaan media massa yang dimiliki pemodal yang berafisilasi dengan partai politik tertentu hampir mustahil sanggup mengelak dari eksploitasi semacam itu.
Fenomena bahwa pemodal mengintervensi kebijakan perusahaan media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah gejala universal. Namun, pemodal tentu tidak akan naif untuk membiarkan industri media massanya kehilangan kepercayaan di mata publik.
Itu sebabnya berbagai strategi ditempuh untuk memberikan kebebasan alias independensi kepada redaksi untuk bidang-bidang tertentu.
Namun, untuk bidang-bidang yang menyangkut kelangsungan kepentingan politik sang pemilik media, redaksi diharap tidak bermain api.
Dalam konteks demikian, jika sebuah media massa yang dimiliki oleh pemodal yang juga berkiprah sebagai politikus menentukan arah kebijakan redaksi, pemberitaan media bersangkutan sering abai terhadap kepentingan publik.
Belum lama ini ada seorang pemilik modal besar yang berlatar belakang sebagai salah satu anggota keluarga penguasa Orde Baru menjadi bos sebuah partai baru yang akan berlaga dalam pemilihan umum anggota legislatif 2019.
Dia mengundang jurnalis untuk meliput pernyataan-pernyataannya. Dia juga mengirim siaran pers ke beberapa media massa.
Apa yang dia kemukakan? Dia berkampanye dengan mengatakan bahwa dia akan menjadikan wilayah Papua sebagai lumbung pangan terbesar di Tanah Air.
Media massa pun memuat pernyataan politikus itu secara apa adanya. Artinya, janji-janji politiknya bahwa Papua akan dijadikan lumbung pangan tidak disikapi secara kritis.
Tidak ada komentar lebih jauh dari jurnalis untuk mempertanyakan bahwa Papua bukanlah wilayah yang tanahnya cocok untuk tanaman pangan sebagaimana wilayah Jawa atau Sumatera.
Jurnalis yang kritis dan tak menelan begitu saja janji-janji politikus perlu mencari tanggapan dari pakar pertanian tentang kemungkinan merealisasikan janji kampanye itu.
Memberitakan omongan atau janji politik dari pengejar kekuasaan itu tanpa diimbangi dengan pernyataan pakar pertanian yang berkompeten berbicara tentang peluang menjadikan Papua sebagai lumbung pangan, sama artinya dengan membiarkan publik, terutama rakyat Papua, dicekoki berita-berita yang meninabobokan.
Di sinilah arti pers sebagai fungsi mendidik menjadi relevan. Jurnalis yang kritis tak akan memberitakan omongan politikus yang meninabobokan publik.
Apalagi di saat menjelang pencoblosan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen seperti saat ini.
Pers dituntut memberikan informasi kepada publik secara kritis. Di sinilah pers juga perlu mengingatkan publik tentang latar belakang politikus yang sedang mengumbar janjinya di muka umum.
Cara mengingatkan itu bisa disampaikan ketika memberitakan pernyataan politikus bersangkutan dalam berita lempang, atau bisa juga ketika membuat profil politikus.
Hal ini sangat penting terutama untuk mengatasi problem amnesia publik yang diakibatkan oleh ketakpedulian mengikuti rekam jejak calon-calon wakil rakyat.
Masih banyak orang-orang kaya berlatar politikus atau bukan yang punya rekam jejak negatif yang akan terjun ke ajang perebutan kursi anggota parlemen pada Pemilu Legislatif 2019.
Jurnalis perlu mengingatkan publik lewat pemberitaan tentunya bahwa ada politikus yang akan bertarung di Pileg 2019 pernah mendekam di penjara karena perkara kriminal seperti pembunuhan terhadap hakim.
Politikus yang punya rekam jejak negatif jelas akan berupaya menutupi masa lalunya dengan berbagai cara seperti melakukan politik uang, menyogok jurnalis, beriklan di media massa dalam membangun citra positif.
Di mata publik yang belum tercerahkan, manipulasi data atau latar belakang masa lalu sang politikus, atau mengubur kenyataan kelam masa lalu dengan membombardir berita-berita masa kini dengan aktivitas filantropis sang politikus dapat membuat publik terlupa akan jati diri masa silam pengejar kekuasaan itu.
Itu sebabnya, jurnalis dituntut untuk mengimbangi pencitraan yang dilakukan politikus itu dengan memperbanyak tulisan berupa wawancara dengan aktivis politik yang punya pengalaman buruk dengan kiprah politikus tersebut.
Wawancara dengan sejarawan yang mengingatkan kiprah negatif politikus itu dan latar belakang sejarah keluarganya yang pernah menindas rakyat di era otokratik perlu juga diperbanyak.
Ini semua bukan saja penting bagi publik untuk terhindar dari jeratan amnesia publik akan era politik yang memilukan, tapi juga untuk mengelak dari kemungkinan mendapat wakil rakyat yang salah.
Saat ini kebangkitan para politikus yang punya rekam jejak negatif di masa lalu mulai terasakan.
Publik yang merasa dalam kesulitan ekonomi bahkan disuguhi slogan atau iklan politik dengan berilusi tentang enaknya hidup di zaman ketika sang otokrat Orde Baru berkuasa.
Tentu banyak dari generasi milenial yang tak bisa membayangkan bagaimana sesungguhnya masa yang dibilang enak oleh slogan atau iklan politik dari kalangan keluarga dan pendukung penguasa otokrat di masa lalu itu.
Dengan pemberitaan yang mendidik, yang memberikan latar belakang politikus yang dibesarkan dalam gelimang harta rezim otokrat di masa lalu itulah jurnalis ikut menjaga kewarasan publik.
Baca juga: Bagir: Jurnalis harus kontrol penerapan UU Antiterorisme
Baca juga: Tantangan dunia pers bikin jurnalis jadi salah satu profesi paling tidak dipercaya
Jurnalis yang bekerja di perusahaan media massa yang dimiliki pemodal yang berafisilasi dengan partai politik tertentu hampir mustahil sanggup mengelak dari eksploitasi semacam itu.
Fenomena bahwa pemodal mengintervensi kebijakan perusahaan media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah gejala universal. Namun, pemodal tentu tidak akan naif untuk membiarkan industri media massanya kehilangan kepercayaan di mata publik.
Itu sebabnya berbagai strategi ditempuh untuk memberikan kebebasan alias independensi kepada redaksi untuk bidang-bidang tertentu.
Namun, untuk bidang-bidang yang menyangkut kelangsungan kepentingan politik sang pemilik media, redaksi diharap tidak bermain api.
Dalam konteks demikian, jika sebuah media massa yang dimiliki oleh pemodal yang juga berkiprah sebagai politikus menentukan arah kebijakan redaksi, pemberitaan media bersangkutan sering abai terhadap kepentingan publik.
Belum lama ini ada seorang pemilik modal besar yang berlatar belakang sebagai salah satu anggota keluarga penguasa Orde Baru menjadi bos sebuah partai baru yang akan berlaga dalam pemilihan umum anggota legislatif 2019.
Dia mengundang jurnalis untuk meliput pernyataan-pernyataannya. Dia juga mengirim siaran pers ke beberapa media massa.
Apa yang dia kemukakan? Dia berkampanye dengan mengatakan bahwa dia akan menjadikan wilayah Papua sebagai lumbung pangan terbesar di Tanah Air.
Media massa pun memuat pernyataan politikus itu secara apa adanya. Artinya, janji-janji politiknya bahwa Papua akan dijadikan lumbung pangan tidak disikapi secara kritis.
Tidak ada komentar lebih jauh dari jurnalis untuk mempertanyakan bahwa Papua bukanlah wilayah yang tanahnya cocok untuk tanaman pangan sebagaimana wilayah Jawa atau Sumatera.
Jurnalis yang kritis dan tak menelan begitu saja janji-janji politikus perlu mencari tanggapan dari pakar pertanian tentang kemungkinan merealisasikan janji kampanye itu.
Memberitakan omongan atau janji politik dari pengejar kekuasaan itu tanpa diimbangi dengan pernyataan pakar pertanian yang berkompeten berbicara tentang peluang menjadikan Papua sebagai lumbung pangan, sama artinya dengan membiarkan publik, terutama rakyat Papua, dicekoki berita-berita yang meninabobokan.
Di sinilah arti pers sebagai fungsi mendidik menjadi relevan. Jurnalis yang kritis tak akan memberitakan omongan politikus yang meninabobokan publik.
Apalagi di saat menjelang pencoblosan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen seperti saat ini.
Pers dituntut memberikan informasi kepada publik secara kritis. Di sinilah pers juga perlu mengingatkan publik tentang latar belakang politikus yang sedang mengumbar janjinya di muka umum.
Cara mengingatkan itu bisa disampaikan ketika memberitakan pernyataan politikus bersangkutan dalam berita lempang, atau bisa juga ketika membuat profil politikus.
Hal ini sangat penting terutama untuk mengatasi problem amnesia publik yang diakibatkan oleh ketakpedulian mengikuti rekam jejak calon-calon wakil rakyat.
Masih banyak orang-orang kaya berlatar politikus atau bukan yang punya rekam jejak negatif yang akan terjun ke ajang perebutan kursi anggota parlemen pada Pemilu Legislatif 2019.
Jurnalis perlu mengingatkan publik lewat pemberitaan tentunya bahwa ada politikus yang akan bertarung di Pileg 2019 pernah mendekam di penjara karena perkara kriminal seperti pembunuhan terhadap hakim.
Politikus yang punya rekam jejak negatif jelas akan berupaya menutupi masa lalunya dengan berbagai cara seperti melakukan politik uang, menyogok jurnalis, beriklan di media massa dalam membangun citra positif.
Di mata publik yang belum tercerahkan, manipulasi data atau latar belakang masa lalu sang politikus, atau mengubur kenyataan kelam masa lalu dengan membombardir berita-berita masa kini dengan aktivitas filantropis sang politikus dapat membuat publik terlupa akan jati diri masa silam pengejar kekuasaan itu.
Itu sebabnya, jurnalis dituntut untuk mengimbangi pencitraan yang dilakukan politikus itu dengan memperbanyak tulisan berupa wawancara dengan aktivis politik yang punya pengalaman buruk dengan kiprah politikus tersebut.
Wawancara dengan sejarawan yang mengingatkan kiprah negatif politikus itu dan latar belakang sejarah keluarganya yang pernah menindas rakyat di era otokratik perlu juga diperbanyak.
Ini semua bukan saja penting bagi publik untuk terhindar dari jeratan amnesia publik akan era politik yang memilukan, tapi juga untuk mengelak dari kemungkinan mendapat wakil rakyat yang salah.
Saat ini kebangkitan para politikus yang punya rekam jejak negatif di masa lalu mulai terasakan.
Publik yang merasa dalam kesulitan ekonomi bahkan disuguhi slogan atau iklan politik dengan berilusi tentang enaknya hidup di zaman ketika sang otokrat Orde Baru berkuasa.
Tentu banyak dari generasi milenial yang tak bisa membayangkan bagaimana sesungguhnya masa yang dibilang enak oleh slogan atau iklan politik dari kalangan keluarga dan pendukung penguasa otokrat di masa lalu itu.
Dengan pemberitaan yang mendidik, yang memberikan latar belakang politikus yang dibesarkan dalam gelimang harta rezim otokrat di masa lalu itulah jurnalis ikut menjaga kewarasan publik.
Baca juga: Bagir: Jurnalis harus kontrol penerapan UU Antiterorisme
Baca juga: Tantangan dunia pers bikin jurnalis jadi salah satu profesi paling tidak dipercaya
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: