Pasalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap mencoret nama mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi dalam daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif.
Meski Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam sidang adjudikasi menyatakan membatalkan keputusan KPU tentang penetapan DCS Pemilu 2019 di sejumlah daerah, KPU RI malah memerintahkan penundaan pelaksanaan putusan tersebut kepada sejumlah KPUD.
KPU tetap berpedoman pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dan PKPU No. 26/2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU No.14/2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Oleh karena itu, mereka tetap dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai calon wakil rakyat.
Dari sekian bakal calon anggota legislatif, khususnya yang pernah tersandung kasus korupsi, ramai-ramai mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Mereka beranggapan bahwa PKPU Pasal 4 Ayat (3) yang diundangkan pada tanggal 3 Juli 2018 melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Setelah menerima permohonan pengujian PKPU terhadap undang-undang, sesuai dengan Pasal 76 Ayat (4) UU Pemilu, Mahkamah Agung memutuskan penyelesaian pengujian terhadap PKPU paling lama 30 hari. Namun, setelah KPU menetapkan DCS anggota legislatif, belum ada putusan MA: apakah PKPU itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak?
Hal yang muncul ke permukaan, sebagaimana pemberitaan di sejumlah media, Mahkamah Agung belum memutuskan pengujian PKPU terhadap UU Pemilu karena Mahkamah Konstitusi sedang menguji UU Pemilu.
Pasal 55 UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan UU No.8/2011, disebutkan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan MK.
Disebutkan pula pada Pasal 53 UU MK bahwa Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Sementara itu, dalam Putusan MK Nomor Perkara 93/PUU-XV/2017, sublema "dihentikan" pada Pasal 55 UU No.24/2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU No.8/2011 bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian, bunyi Pasal 55: "Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan MK."
Adapun sejumlah pasal dalam UU Pemilu yang diuji materi di MK (vide mkri.id), antara lain, Pasal 10, Penjelasan Pasal 169 Huruf n (masa jabatan presiden/wakil presiden), dan Pasal 222 (syarat partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang bisa mengusulkan pasangan calon presiden/wakil presiden).
Pasal lainnya, yakni Pasal 226 (bakal pasangan calon didaftarkan oleh partai politik atau gabungan parpol yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai peserta pemilu), dan Pasal 240 Ayat (1) terkait dengan persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Selanjutnya, terkait dengan dana kampanye (Pasal 326 UU Pemilu) dan pasal mengenai kampanye pemilu (Pasal 1 Angka 35, Pasal 275 Ayat 2, dan Pasal 276 Ayat 2).
Di antara sejumlah pasal tersebut, MK telah memutuskan uji materi mengenai Pasal 10. Putusan MK Nomor 38/PUU-XVI/2018 ini diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada hari Senin (23-7-2018) pada pukul 14.08, intinya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
Dalam amar putusan, permohonan terkait dengan Pasal 10 Ayat (1) Huruf c dan Ayat (2) UU No.7/20217 tentang Pemilu tidak dapat diterima. Sementara itu, pada Pasal 10 Ayat (3) sepanjang frasa "dan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota" dan Lampiran I sepanjang perincian tabel "Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota" UU No.7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat".
Celah Lain
Kemungkinan karena hambatan di atas, sejumlah caleg tampaknya mengurungkan rencananya mengujimaterikan Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal 7 Ayat (1) Huruf g PKPU No. 20/2018 terhadap UU Pemilu. Ada di antara mereka lantas melakukan "judicial review" PKPU itu terhadap UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Mereka beranggapan peraturan KPU itu bertentangan dengan Pasal 43 Ayat (1) dan Pasal 73 UU HAM.
Pasal 4 Ayat (3) PKPU, intinya dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, partai politik tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Di dalam Pasal 7 Ayat (1) Huruf g PKPU menyebutkan bahwa tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sementara itu, di dalam Pasal 240 Ayat (1) Huruf g UU Pemilu disebutkan bahwa tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Peniadaan frasa "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana yang secara tegas" tersebut dianggap merugikan hak-hak politik warga negara pada umumnya.
Di antara mereka, ada pula yang mengaitkan dengan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. PKPU dengan judul sama tetapi tanggal berbeda. Satu versi diteken oleh Ketua KPU RI Arief Budiman pada tanggal 30 Juni 2018, satunya lagi ditandatangani pada tanggal 2 Juli 2018, kemudian diundangkan pada tanggal 3 Juli 2018.
Pada versi pertama (30 Juni 2018) Pasal 4 terdiri atas dua ayat, versi yang diundangkan terdapat tiga ayat, kemudian ada tambahan Huruf e dalam Pasal 6 yang bunyinya: "Pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (3) yang berisi rincian untuk setiap dapil yang tercantum dalam formulir Model B.1."
Semula pada Pasal 7 Huruf h PKPU tanggal 30 Juni 2018 berbunyi: "Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi." Namun, setelah PKPU diundangkan, tidak ada frasa itu.
Ada pula yang menganggap PKPU itu bertentangan dengan Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015. Putusan MK ini terkait dengan pengujian UU No. 8/2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945.
Inti putusan itu membolehkan mantan terpidana korupsi maju dalam sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah. Apakah hal ini berlaku pula bagi mereka yang pernah menjadi terhukum dalam kasus korupsi untuk menjadi caleg pada Pemilu 2019?
Sebaiknya semua pihak menunggu keputusan Mahkamah Agung. Andaikan putusan MA membatalkan keputusan KPU, kemudian penyelenggara pemilu ini wajib menetapkan kembali sebagai calon anggota legislatif (vide Pasal 463? Ayat 7 UU Pemilu), setidaknya keberadaan PKPU ini telah membatasi ruang gerak para koruptor untuk menjadi wakil rakyat.
Apalagi, KPU telah mengumumkan DCS anggota DPR dan DPRD pada tanggal 12 s.d. 14 Agustus 2018, kemudian pengajuan penggantian bakal calon anggota legislatif mulai 4 hingga 10 September 2018.
Verifikasi pengganti DCS anggota DPR/DPRD kepada KPU pada tanggal 11 s.d. 13 September 2018. Tahap berikutnya, penyusunan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR/DPRD pada tanggal 14 s.d. 20 September 2018.
Penetapan DCT anggota DPR/DPRD dijadwalkan pada tanggal 20 September 2018. Setelah itu, KPU mengumumkan DCT anggota DPR/DPRD pada tanggal 21 s.d. 23 September 2018.*
Baca juga: Bawaslu loloskan tiga caleg mantan koruptor
Baca juga: Bawaslu: Putusan soal Bacaleg mantan koruptor berdasarkan UU