Nelayan Batubara diminta tinggalkan pukat harimau
10 September 2018 22:25 WIB
Ratusan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Sumatera Utara berunjuk rasa di depan gedung DPRD Sumut, di Medan, Senin (5/2/2018). Mereka menolak keberadaan pukat harimau karena dapat mengurangi hasil tangkapan nelayan tradisional. (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)
Medan, (ANTARA News) - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Sumatera Utara meminta kepada nelayan tradisional maupun pemodal besar di Kabupaten Batubara agar meninggalkan penggunaan alat tangkap yang dilarang pemerintah, yakni pukat harimau atau "trawl" karena tidak ramah lingkungan.
"Alat tangkap tersebut, juga merusak lingkungan dan sumber hayati yang terdapat di laut," kata Wakil Ketua DPD HNSI Sumut, Nazli di Medan, Senin.
Nelayan tradisional, menurut dia, tidak usah lagi mengoperasikan pukat harimau di perairan Batubara, karena bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2015, serta Permen KP Nomor 71 tahun 2017.
"Jadi, yang namanya Pukat Hela (Trawl), Pukat Tarik (Seine Nets), pukat cantrang, pukat gerandong dan sejenisnya tidak diperbolehkan lagi untuk menangkap ikan di perairan Indonesia," ujar Nazli.
Ia menyebutkan, bagi nelayan yang melanggaran peraturan Pemerintah tersebut, akan diberikan tindakan tegas dan diproses secara hukum.
Nelayan di daerah tersebut, tidak usah lagi menggunakan pukat trawl itu, dan dapat menggantinya dengan alat tangkap yang ramah lingkungan, yakni jaring milenium.
"Pemerintah hingga kini hanya mengizinkan nelayan di tanah air ini, mengoperasikan jaring milenium untuk menangkap ikan di laut, dan hal itu harus dipatuhi," ucap tokoh nelayan itu.
Nazli menambahkan, hingga saat ini banyak nelayan Batubara yang tidak berani melaut, karena takut diamankan petugas Badan Keamanan Laut (Bakamla) yakni TNI AL, Polisi Perairan, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan instansi terkait lainnya.
Alasannya, nelayan tersebut masih tetap menggunakan alat tangkap Pukat Harimau, dan Bakamla wajib menjalankan tugas negara.
"Petugas tidak akan merazia nelayan yang menggunakan alat penangkap ikan yang diizinkan oleh pemerintah, dan tidak perlu takut," katanya.
Kapal Pukat Harimau yang beroperasi di perairan Batubara itu, berasal dari Belawan, Tanjung Balai dan Asahan, Provinsi sumatera Utara.
Petugas keamanan di laut harus bersikap tegas menertibkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan itu.
Puluhan nelayan dari Kesatuan Masyarakat Nelayan Tradisional Batubara (Mantap) melakukan unjuk rasa ke kantor DPRD dan Polres Batubara, dan meminta alat tangkap pukat harimau agar dibersihkan.*
Baca juga: Polda Sumatera Utara menangkap 10 pukat harimau
Baca juga: HNSI dukung Kapolda Sumut tertibkan pukat harimau
"Alat tangkap tersebut, juga merusak lingkungan dan sumber hayati yang terdapat di laut," kata Wakil Ketua DPD HNSI Sumut, Nazli di Medan, Senin.
Nelayan tradisional, menurut dia, tidak usah lagi mengoperasikan pukat harimau di perairan Batubara, karena bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2015, serta Permen KP Nomor 71 tahun 2017.
"Jadi, yang namanya Pukat Hela (Trawl), Pukat Tarik (Seine Nets), pukat cantrang, pukat gerandong dan sejenisnya tidak diperbolehkan lagi untuk menangkap ikan di perairan Indonesia," ujar Nazli.
Ia menyebutkan, bagi nelayan yang melanggaran peraturan Pemerintah tersebut, akan diberikan tindakan tegas dan diproses secara hukum.
Nelayan di daerah tersebut, tidak usah lagi menggunakan pukat trawl itu, dan dapat menggantinya dengan alat tangkap yang ramah lingkungan, yakni jaring milenium.
"Pemerintah hingga kini hanya mengizinkan nelayan di tanah air ini, mengoperasikan jaring milenium untuk menangkap ikan di laut, dan hal itu harus dipatuhi," ucap tokoh nelayan itu.
Nazli menambahkan, hingga saat ini banyak nelayan Batubara yang tidak berani melaut, karena takut diamankan petugas Badan Keamanan Laut (Bakamla) yakni TNI AL, Polisi Perairan, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan instansi terkait lainnya.
Alasannya, nelayan tersebut masih tetap menggunakan alat tangkap Pukat Harimau, dan Bakamla wajib menjalankan tugas negara.
"Petugas tidak akan merazia nelayan yang menggunakan alat penangkap ikan yang diizinkan oleh pemerintah, dan tidak perlu takut," katanya.
Kapal Pukat Harimau yang beroperasi di perairan Batubara itu, berasal dari Belawan, Tanjung Balai dan Asahan, Provinsi sumatera Utara.
Petugas keamanan di laut harus bersikap tegas menertibkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan itu.
Puluhan nelayan dari Kesatuan Masyarakat Nelayan Tradisional Batubara (Mantap) melakukan unjuk rasa ke kantor DPRD dan Polres Batubara, dan meminta alat tangkap pukat harimau agar dibersihkan.*
Baca juga: Polda Sumatera Utara menangkap 10 pukat harimau
Baca juga: HNSI dukung Kapolda Sumut tertibkan pukat harimau
Pewarta: Munawar Mandailing
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: