RI usulkan penelitian bersama dampak kenaikan muka air Laut China Selatan
10 September 2018 15:13 WIB
Peta Laut China Selatan dalam prespektif geopolitik saat ini. China mengklaim hampir semua wilayah Laut China Selatan, dan perairan internasional ini berbatasan langsung dengan Kepulauan Natuna dan perairan zone eksklusif ekonomi Indonesia di perairan Kepulauan Natuna itu. (www.southchinasea.org)
Jakarta (ANTARA News) - Republik Indonesia mengusulkan dilaksanakannya penelitian bersama tentang dampak kenaikan permukaan air Laut China Selatan bagi daerah pesisir yang disebabkan perubahan iklim.
Usulan tersebut disampaikan dalam the Fourteenth Working Group Meeting on the Study of Tides and Sea Level Change and Their Impacts on Coastal Environment in the South China Sea Affected by Potential Climate Change yang diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, 8 September lalu.
"Pertemuan tersebut telah menyepakati berbagai potensi kerja sama baru terkait studi dan penelitian mengenai dampak dari arus dan perubahan permukaan laut terhadap lingkungan pesisir sebagai pengaruh dari perubahan iklim," ujar Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan ( P3K) Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Dindin Wahyudin dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Senin.
Pertemuan yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) RI bersama dengan Pusat Studi Asia Tenggara, dan didukung oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kemlu RI itu dihadiri 42 peserta yang berasal dari Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, China, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.
Pertemuan tersebut mengidentifikasi dan menyepakati berbagai area kerja sama yang berpotensi untuk dikolaborasikan antara lain mengenai metode penelitian dan pengumpulan data, adaptasi dan mitigasi, studi mengenai dampak dari kenaikan permukaan laut, berbagi pengetahuan tentang ketahanan masyarakat terhadap kenaikan permukaan laut, dan pengembangan regulasi.
Secara khusus kelompok kerja tahun ini juga membahas studi mengenai energi kelautan (ocean energy) dan sampah laut (ocean debris).
Pertemuan ini merupakan bagian yang integral dari Lokakarya Penanganan Potensi Konflik di Laut China Selatan ke-28 yang juga diselenggarakan di Manado pada tanggal 9-10 September 2018.
Rangkaian pertemuan dan lokakarya tersebut adalah upaya diplomasi untuk membangun kepercayaan di antara seluruh pihak yang berkepentingan di Laut Cina Selatan dan untuk menciptakan kerja sama yang erat yang konkret dalam rangka mempertahankan perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan tersebut.
Baca juga: Indonesia tidak mau konflik Laut China Selatan
Baca juga: Negara-negara perlu cegah tindakan Tiongkok di LCS
Usulan tersebut disampaikan dalam the Fourteenth Working Group Meeting on the Study of Tides and Sea Level Change and Their Impacts on Coastal Environment in the South China Sea Affected by Potential Climate Change yang diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, 8 September lalu.
"Pertemuan tersebut telah menyepakati berbagai potensi kerja sama baru terkait studi dan penelitian mengenai dampak dari arus dan perubahan permukaan laut terhadap lingkungan pesisir sebagai pengaruh dari perubahan iklim," ujar Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan ( P3K) Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Dindin Wahyudin dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Senin.
Pertemuan yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) RI bersama dengan Pusat Studi Asia Tenggara, dan didukung oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kemlu RI itu dihadiri 42 peserta yang berasal dari Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, China, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.
Pertemuan tersebut mengidentifikasi dan menyepakati berbagai area kerja sama yang berpotensi untuk dikolaborasikan antara lain mengenai metode penelitian dan pengumpulan data, adaptasi dan mitigasi, studi mengenai dampak dari kenaikan permukaan laut, berbagi pengetahuan tentang ketahanan masyarakat terhadap kenaikan permukaan laut, dan pengembangan regulasi.
Secara khusus kelompok kerja tahun ini juga membahas studi mengenai energi kelautan (ocean energy) dan sampah laut (ocean debris).
Pertemuan ini merupakan bagian yang integral dari Lokakarya Penanganan Potensi Konflik di Laut China Selatan ke-28 yang juga diselenggarakan di Manado pada tanggal 9-10 September 2018.
Rangkaian pertemuan dan lokakarya tersebut adalah upaya diplomasi untuk membangun kepercayaan di antara seluruh pihak yang berkepentingan di Laut Cina Selatan dan untuk menciptakan kerja sama yang erat yang konkret dalam rangka mempertahankan perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan tersebut.
Baca juga: Indonesia tidak mau konflik Laut China Selatan
Baca juga: Negara-negara perlu cegah tindakan Tiongkok di LCS
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: