Kudus, Jawa Tengah (ANTARA News) - Skor menunjukkan 20-15 untuk keunggulan tunggal putra Indonesia Jonatan Christie atas wakil Chinese Taipei Chou Tien Chen dalam partai final perorangan cabang olahraga bulutangkis Asian Games 2018.

Sebuah servis pendek dilepaskan Jonatan dan poin penentuan hanya membutuhkan lima pukulan, ketika pengembalian bola lob Chou Tien disambar dengan smash keras terarah oleh Jonatan yang tak mampu dijangkau oleh sang lawan.

Sontak seisi Istora Senayan, Jakarta, pada Selasa 28 Agustus 2018 siang itu bersorak, hampir bersamaan dengan sebuah selebrasi spontan Jonatan melepas kaosnya, meluapkan kegembiraannya mempersembahkan medali emas tunggal putra bulutangkis Asian Games 2018 untuk Indonesia.

Selebrasi ikonik Jonatan patut menjadi perhatian bukan hanya karena tubuh atletis yang ia pamerkan membuat penonton perempuan histeris, tetapi juga karena ia menyudahi puasa emas tunggal putra Asian Games 12 tahun lamanya.

Pencapaian itu menempatkan Jonatan berdiri setara dengan jajaran legenda tunggal putra bulutangkis yang sempat mempersembahkan emas Asian Games untuk Indonesia, yakni Tan Joe Hok, Muljadi, Liem Swie King, Hariyanto Arbi dan Taufik Hidayat.

Hal itu dicapai Jonatan hanya setahun berselang setelah ia meraih medali emas SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan mengalahkan wakil Thailand Khosit Phetpradab di partai pamungkas.

Kendati dalam perjalanan dari emas SEA Games 2017 menuju emas Asian Games 2018 Jonatan termasuk seret prestasi, kemenangan di Istora Senayan hari itu patut membuatnya sebagai salah satu sosok yang bisa menjadi ikon dan panutan bagi bakat-bakat bulutangkis usia dini di seluruh Indonesia demi kembalinya kejayaan sektor tunggal putra bak di masa lampau.

Sepekan sebelum momen ikonik Jonatan, tunggal putri terbaik Indonesia saat ini Gregoria Mariska Tunjung berhasil menciptakan kejutan dengan membekuk pebulutangkis putri nomor dua dunia asal Jepang, Akane Yamaguchi.

Kejutan itu hanya berselang sehari setelah Gregoria melakukan hal yang sama atas tunggal putri andalan Korea Selatan, Sung Ji-hyun, yang saat ini menempati peringkat kesembilan dunia.

Kendati setelah Gregoria mengalahkan Yamaguchi Indonesia tetap tersingkir dari semifinal dan harus puas dengan medali perunggu nomor beregu putri Asian Games 2018, capaiannya sebagai pebulutangkis yang mengalahkan lawan-lawan dengan peringkat dunia lebih tinggi sukses melejitkan posisinya sebagai salah satu ikon pemicu bakat-bakat tunggal putri Indonesia masa depan.

Jonatan di tunggal putra, Gregoria di tunggal putri, menghembuskan peluang lahirnya ikon pemicu atlet usia dini untuk bisa menempa diri menjadi talenta bulutangkis kelas dunia, sebagaimana pasangan Markus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo di ganda putra ataupun Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di ganda campuran.

Pasalnya, sektor tunggal baik putra maupun putri Indonesia cenderung minim prestasi tingkat dunia dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan prestasi sektor tunggal putri yang mengalami masa puncak pada era Susy Susanty harus terputus selama hampir dua dasawarsa setelah Mia Audina yang digadang-gadang menjadi penerus tongkat estafet malah turut meninggalkan Indonesia demi mengikuti kewarganegaraan suaminya asal Belanda.

BULU TANGKIS SUPORTER INDONESIA Seorang suporter Indonesia mengibarkan bendera merah putih untuk memberikan dukungan kepada atlet bulu tangkis Indonesia yang tengah bertanding pada babak penyisihan Asian Games 2018, di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (24/8). ANTARA FOTO/INASGOC/Nafielah Mahmudah/tom/18. (INASGOC/NAFIELAH MAHMUDAH)



Pembuka Jalan

Manajer Tim Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum, Fung Permadi, meyakini keberadaan seorang ikon adalah salah satu syarat penting dalam memicu pembinaan pebulu tangkis berprestasi, selain empat aspek mendasar yang tentunya juga tidak bisa diabaikan begitu saja.

Bagi Fung, Jonatan dan Gregoria, untuk saat ini adalah ikon yang akan menumbuhkan semangat bakat-bakat bulutangkis Indonesia menekuni latihan mereka di jalur tunggal.

"Munculnya Jonatan juga cukup berpengaruh untuk kehadiran talenta tunggal putra baru. Ia sebagai ikon dan booster, atau lebih tepatnya pembuka jalan," kata Fung di sela-sela gelaran final Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2018 di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (6/9).

Gregoria juga dianggap Fung cukup berpeluang untuk menjadi ikon dan pelecut semangat bagi bakat-bakat tunggal putri Indonesia untuk berjuang, sebagaimana Gregoria menumbangkan lawan-lawan yang secara peringkat dunia Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) berada di atasnya.

Pendapat Fung tentang Gregoria diamini oleh salah satu pemandu bakat dan pelatih PB Djarum yang pernah menyabet Juara Indonesia Terbuka 2001, Ellen Angelina Wibowo.

"Grego itu wow loh perubahannya, soal semangat juang, menahan lawan di lapangan. Hasilnya bisa kalahkan unggulan, itu dia bisa jadi andalan," kata Ellen.

Kendati keberadaan ikon penting, Fung menekankan kembali empat aspek mendasar yang tidak boleh diabaikan dalam melahirkan pebulu tangkis kelas juara dunia.

Pertama ketersediaan materi pemain berbakat dan potensial. Kedua pendampingan dan gemblengan pelatih yang berkualitas. Ketiga naungan pengurus olahraga yang totalitas.

"Keempat, kalau orang bilang ujung-ujungnya duit. Dukungan anggaran itu penting," ujar Fung Permadi.

Menurut Fung keempat aspek itu berkelindan namun di setiap masa tidak selalu memiliki tingkat kualitas yang sama baiknya.

Khusus untuk sektor putri, diakui Fung maupun Ellen, memiliki hambatan utama dari segi ketersediaan materi pemain berbakat.

"Bakat-bakat yang ada kalau menurut saya masih rata-rata, belum yang istimewa. Sedangkan sejak dulu untuk tunggal putri itu kita mengandalkan bakat-bakat yang luar biasa, yang mungkin hanya muncul 10-20 tahun sekali, itu pun belum tentu," kata Fung.

Persoalan materi pemain berbakat di sektor putri, lanjut Fung, juga dihadapkan pada pola pikir masyarakat Indonesia yang cenderung tidak melirik olahraga sebagai salah satu jalur profesi bagi para putrinya, sebagaimana juga anggapan yang masih cukup umum tentang pendidikan bagi perempuan yang tak terlalu penting.

"Masih ada yang berpikir untuk apa sih sekolah tinggi-tinggi, paling nanti jadi ibu rumah tangga, walaupun sekarang sudah agak maju. Tapi kecenderungannya, kalau anak tinggi dikit lebih tertarik jadi artis, buat apa main badminton capek-capek. Nah itu ditambah seperti itu rasanya untuk putri jauh lebih sulit," tuturnya.

Ellen juga mengakui dalam perjalanannya mengawal pencarian bakat lewat Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis ditemukan kenyataan bahwa pendaftar putra jumlahnya bisa 3-4 kali lipat dibandingkan putri.

"Cari pemain putri memang susah, karena audisi saja misalnya jumlah putra bisa 3-4 kali lipat dibanding putri," katanya,

Oleh karena itu, Fung menilai tentang bagaimana menciptakan ikon pembuka jalan yang lebih di sektor putri terkadang lebih terasa sebagai persoalan nasib untung-sial.

"Tergantung sekarang siapa yang seolah-olah luck bermain di sini. Bakat istimewa dan kebetulan pelatihnya mendukung, kemudian pengurusnya punya wawasan, itu jadi," kata Fung.


Haruskah membatasi kesabaran

Tentang ketersediaan bakat di Indonesia untuk sektor putri, Liliyana Natsir turut urun pendapat, bahwa secara bakat meski kecil tetap tersedia dan perlu kerja ekstra keras untuk menimbulkan kepercayaan diri.

"Ya kalau saya sih merasa putri itu kita juga punya bakat, cuma bagaimana kita menimbulkan percaya diri karena gap-nya sudah agak jauh," kata atlet yang akrab disapa Butet tersebut.

"Untuk mengatasi gap itu di sektor putri butuh proses, waktu, kerja keras, disiplin, fokus dan kesabaran," ujarnya menambahkan.

Butet bahkan mengaku optimistis sektor bulutangkis putri Indonesia bisa segera berprestasi, namun salah satu yang harus diperhatikan dan diberikan adalah kesabaran.

"Saya sih optimistis ke depannya atlet-atlet putri kita bisa berprestasi, tinggal sabar saja," katanya.

Kendati demikian, Fung sedikit berbeda pendapat dengan Butet, sebab negara-negara lain sudah terlanjur memberikan perhatian lebih mendalam terhadap pembinaan bulutangkis.

"Jepang misalnya pembinaan sejak 20 tahun lalu mereka mengundang pelatih-pelatih China, 10 tahun lalu Tan Joe Hok juga sempat melatih di sana, itu pelatih-pelatih dunia disebar ke sekolah-sekolah," kata Fung.

Fung juga menyebut bahwa Indonesia cukup terlambat 5-6 tahun dalam hal tersebut sehingga perlu kerja ekstra keras untuk bisa menarik prestasi gemilang.

"Sekarang kata kuncinya bukan siapa yang maju, tapi siapa yang lebih cepat maju," kata Fung.

Pernyataan Fung tentu saja akan berujung pada pertanyaan secepat apa Indonesia bisa maju dan mengayunkan kembali pendulum momentum kebangkitan bulu tangkis di tangan sendiri untuk memperbaiki sektor tunggal putra maupun putri agar lekas bertabur prestasi kembali.