Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi menegaskan bahwa hukum internasional harus ditaati untuk mewujudkan keamanan dan stabilitas dunia siber.

"Tanpa stabilitas, kemajuan ekonomi dan sosial yang kita nikmati sekarang dapat mengalami kemunduran serius," kata Menlu saat membuka konferensi regional yang diselenggarakan Kemlu RI bekerjasama dengan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) di Jakarta, Rabu.

Dalam konferensi bertema Contemporary Warfare: Global Trends and Humanitarian Challenges itu, Menlu Retno menjelaskan bahwa negara harus mematuhi hukum internasional terutama Piagam PBB dalam menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi (TIK).

Laporan empat Kelompok Ahli Pemerintahan (GGEs) PBB melaporkan adanya tren keterlibatan negara dan non-negara dalam serangan siber, menambah tantangan terhadap perdamaian dan tantangan internasional.

Karena itu, kerja sama untuk memerangi dan memberantas serangan siber oleh aktor non-negara seharusnya menjadi norma, apalagi saat dunia dihadapkan dengan ancaman sistem senjata mematikan otomatis yang menjadi sorotan dalam beberapa forum internasional.

"Penggunaan sistem senjata mematikan otomatis harus sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan warga sipil selama terjadi perang dan konflik," tutur Menlu.

Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN telah mengambil langkah antisipatif untuk menghadapi tantangan baru ini, salah satunya dengan menghasilkan Pernyataan Pemimpin ASEAN tentang Kerja Sama Keamanan Siber sebagai norma perilaku negara-negara ASEAN dalam dunia siber.

Kerja sama antarnegara ASEAN itu diantaranya bertujuan menanggulangi penyalahgunaan kartu kredit dan internet banking yang erat kaitannya dengan pendanaan ekstremisme dan terorisme.

Namun, menciptakan norma dan aturan siber bagi negara-negara bukan perkara mudah.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kemlu Siswo Pramono menjelaskan bahwa saat ini masih ada dua kubu yang berseberangan mengenai aturan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Satu kubu menyatakan bahwa aturan tersebut merupakan bagian dari kebebasan publik sehingga penggunaan teknologi informasi dan komunikasi diatur oleh perusahaan yang menciptakan alat-alat tersebut, sementara kubu yang lain berpendapat bahwa pemerintah lah yang paling berwenang mengatur penggunaan teknologi tersebut.

"Teknologi selalu berkembang lebih cepat daripada normanya, jadi sekarang orang-orang mulai berunding membuat norma ketika kita sadar bahwa teknologi mulai menimbulkan dampak negatif," kata Siswo.

Saat ini, menurut Siswo, kita baru memasuki tahap non-setting dimana mulai terbentuk kesepakatan-kesepakatan umum bagaimana siber diterapkan contohnya yang sudah dilakukan oleh ASEAN.

Meskipun menantang, pemberlakuan aturan yang tegas terkait penggunaan teknologi siber dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengatasi ancaman keamanan siber.

Baca juga: Presiden tekankan pentingnya kewaspadaan terhadap serangan siber

Baca juga: Kerja sama siber akan dikembangkan di ASEAN (video)