Jakarta (ANTARA News) - Anggota Bawaslu RI Rahmad Bagja menilai polemik Peraturan KPU No. 20 tahun 2018 yang isinya melarang mantan terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) dapat diakhiri setelah terbitnya putusan Mahkamah Agung.

"Namun, Mahkamah Agung belum bisa membuat putusan, karena masih menunggu gugatan judicial review terhadap UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi," kata Rahmad Bagja pada diskusi "Polemik PKPU" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa.

Menurut Rahmad Bagja, menunggu proses persidangan hingga putusan gugatan judicial revisi di Mahkamah Konstitusi serta gugatan di Mahkamah Agung waktunya cukup lama, mungkin sampai akhir tahun 2018. Sementara itu, KPU sudah mengumumkan penetapan daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif pada 21-23 September 2018. "Padahal, berdasarkan UU Pemilu dan PKPU, setelah KPU memutuskan dan mengumumkan DCT maka daftar caleg tidak bisa diganti lagi," katanya.

Karena itu, Rahmad Bagja mengusulkan, agar KPU tetap mencantumkan nama caleg mantan terpidana kasus korupsi tapi diberi tanda bintang sambil menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Menurut dia, jika nantinya putusan Mahkamah Agung, sejalan dengan PKPU No. 20 tahun 2018, maka KPU dapat mencoret caleg mantan terpidana kasus korupsi.

Namun, jika Mahkamah Agung menerbitkan putusan yang membatalkan pasal dalam PKPU tersebut atau membolehkan caleg mantan terpidana kasus korupsi, maka nama-nama caleg dalam daftar caleg yang diberi tanda bintang dapat terus melanjutkan sebagai caleg.

"Kalau KPU pada penetapan DCT sudah mencoret semua caleg mantan narapidana korupsi dan kemudian putusan Mahkamah Agung membolehkan caleg mantan narapidana korupsi, itu artinya KPU sudah menghilangkan hak politik warga negara Indonesia," katanya.

Rahmad Bagja menegaskan, posisi Bawaslu yang setuju pada mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg, bukan berarti membela para koruptor, tapi hal itu diatur dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Menurut dia, dalam UU Pemilu mengatur, mantan narapidana kasus korupsi yang telah menjalani masa penahanan dan mengumumkan ke publik dengan mengakui bersalah dan menyesal, dapat menjadi caleg. "Karena Indonesia adalah negara hukum, dan hal itu diatur dalam undang-undang, maka Bawaslu menghargai aturan perundangan," katanya.