"E-Learning" dinilai tingkatkan angkatan kerja lulusan PT
3 September 2018 19:49 WIB
Sejumlah mahasiswa menggunakan fasilitas perpustakaan digital saat peresmian perpustakaan digital di Gedung Digital Library Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (13/7/2018). Perpustakaan digital empat lantai yang memiliki berbagai fasilitas diantaranya e-learning, e-journal, e-book dan berbagai dokumen akademik digital itu guna meningkatakan kualitas pembelajaran dan penelitian. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
Karawang (ANTARA News) - Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan pendidikan jarah jauh atau digital (e-learning) akan meningkatkan jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi (PT) agar berdaya saing tinggi dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman. .
"Pendidikan jarak jauh, 'e-learning' harus kita kembangkan supaya bisa menjangkau ke daerah-daerah," kata Menteri Nasir, Karawang, Jawa Barat.
Menteri Nasir menuturkan angkatan kerja Indonesia yang berusia 18-32 tahun yang sudah menjadi mahasiswa masih 32,5 persen dari total populasi. Sementara, Malaysia sudah 38 persen angkatan kerja yang sudah mahasiswa dan Singapura sebesar 82 persen.
Sedangkan sebanyak 92 persen angkatan kerja berusia 18-32 tahun di Korea Selatan sudah menjadi mahasiswa.
Jumlah angkatan kerja juga berpengaruh pada daya saing bangsa. Menurut World Economic Forum 2017, daya saing global Indonesia menempati peringkat 36 dari 137 negara, sementara Singapura menduduki peringkat ke-3, Malaysia menempati peringkat ke-23 dan Thailand menempati peringkat 32.
Baca juga: Kemkes siapkan pendidikan jarak jauh untuk perawat/bidan
Untuk mengejar ketertinggalan itu dan meningkatkan jumlah angkatan kerja yang sudah berkuliah, maka Nasir mendorong pengembangan pendidikan jarak jauh agar bisa menjangkau hingga ke daerah-daerah.
Dia mengatakan pendidikan jarak jauh itu akan membantu bagi mahasiswa yang memiliki keterbatasan biaya ataupun yang tinggal jauh dari perguruan tinggi. Padahal, mereka memiliki kemampuan dan kemauan untuk belajar dan berprestasi.
"Ada orang di situ (di daerah) karena mau kuliah tidak ada biaya untuk datang kos dan biaya hidupnya, akibatnya mereka tidak kuliah atau berhenti kuliah," tuturnya.
Untuk itu, pihaknya mencoba agar kampus mengembangkan pendidikan jarak jauh dan secara digital itu.
"Kalau 'e-learning' berkembang, saya obsesikan di 2022 Indonesia bisa di angka 40-45 persen (angkatan kerja lulusan mahasiswa) kalau ini bisa berjalan baik," tuturnya.
Dia mengatakan pihaknya sedang menyelesaikan regulasi tentang pendidikan jarak jauh itu, sehingga pada 2018 akhir perguruan tinggi mulai mencoba untuk menerapkan pembelajaran secara digital itu.
Dia menuturkan pada 2017, sudah ada beberapa perguruan tinggi yang diberi kewenangan untuk melakukan pendidikan jarak jauh.
"Kalau 'e-learning' bisa berkembang mahasiswa bisa bertambah 2-10 kali nanti," tuturnya.
Nasir mengatakan saat ini rasio dosen dan mahasiswa untuk studi ilmu sosial adalah 1:40 di perguruan tinggi atau satu dosen mengajar 40 mahasiswa, sementara di bidang ilmu eksakta satu dosen mengajar 30 mahasiswa.
Namun, dia mengatakan jika "e-learning" sudah berjalan maka pihaknya berencana membuat aturan satu dosen bisa mengajar 1.000 mahasiswa.
"Kalau perguruan tingginya dosennya 100 kalau mahasiswa yang ada bisa sampai 100.000, ini sangat bisa memungkinkan sehingga biaya kuliah tidak jadi mahal karena tidak butuh ruang kuliah karena dia belajar jarak jauh," tuturnya.
Untuk itu, dia mengatakan saat ini infrastruktur untuk mendukung pendidikan jarak jauh perlu dikembangkan lebih baik dan pihaknya sedang mempersiapkan regulasinya.
Baca juga: Pendidikan jarak jauh dan online pangkas separuh biaya kuliah
"Pendidikan jarak jauh, 'e-learning' harus kita kembangkan supaya bisa menjangkau ke daerah-daerah," kata Menteri Nasir, Karawang, Jawa Barat.
Menteri Nasir menuturkan angkatan kerja Indonesia yang berusia 18-32 tahun yang sudah menjadi mahasiswa masih 32,5 persen dari total populasi. Sementara, Malaysia sudah 38 persen angkatan kerja yang sudah mahasiswa dan Singapura sebesar 82 persen.
Sedangkan sebanyak 92 persen angkatan kerja berusia 18-32 tahun di Korea Selatan sudah menjadi mahasiswa.
Jumlah angkatan kerja juga berpengaruh pada daya saing bangsa. Menurut World Economic Forum 2017, daya saing global Indonesia menempati peringkat 36 dari 137 negara, sementara Singapura menduduki peringkat ke-3, Malaysia menempati peringkat ke-23 dan Thailand menempati peringkat 32.
Baca juga: Kemkes siapkan pendidikan jarak jauh untuk perawat/bidan
Untuk mengejar ketertinggalan itu dan meningkatkan jumlah angkatan kerja yang sudah berkuliah, maka Nasir mendorong pengembangan pendidikan jarak jauh agar bisa menjangkau hingga ke daerah-daerah.
Dia mengatakan pendidikan jarak jauh itu akan membantu bagi mahasiswa yang memiliki keterbatasan biaya ataupun yang tinggal jauh dari perguruan tinggi. Padahal, mereka memiliki kemampuan dan kemauan untuk belajar dan berprestasi.
"Ada orang di situ (di daerah) karena mau kuliah tidak ada biaya untuk datang kos dan biaya hidupnya, akibatnya mereka tidak kuliah atau berhenti kuliah," tuturnya.
Untuk itu, pihaknya mencoba agar kampus mengembangkan pendidikan jarak jauh dan secara digital itu.
"Kalau 'e-learning' berkembang, saya obsesikan di 2022 Indonesia bisa di angka 40-45 persen (angkatan kerja lulusan mahasiswa) kalau ini bisa berjalan baik," tuturnya.
Dia mengatakan pihaknya sedang menyelesaikan regulasi tentang pendidikan jarak jauh itu, sehingga pada 2018 akhir perguruan tinggi mulai mencoba untuk menerapkan pembelajaran secara digital itu.
Dia menuturkan pada 2017, sudah ada beberapa perguruan tinggi yang diberi kewenangan untuk melakukan pendidikan jarak jauh.
"Kalau 'e-learning' bisa berkembang mahasiswa bisa bertambah 2-10 kali nanti," tuturnya.
Nasir mengatakan saat ini rasio dosen dan mahasiswa untuk studi ilmu sosial adalah 1:40 di perguruan tinggi atau satu dosen mengajar 40 mahasiswa, sementara di bidang ilmu eksakta satu dosen mengajar 30 mahasiswa.
Namun, dia mengatakan jika "e-learning" sudah berjalan maka pihaknya berencana membuat aturan satu dosen bisa mengajar 1.000 mahasiswa.
"Kalau perguruan tingginya dosennya 100 kalau mahasiswa yang ada bisa sampai 100.000, ini sangat bisa memungkinkan sehingga biaya kuliah tidak jadi mahal karena tidak butuh ruang kuliah karena dia belajar jarak jauh," tuturnya.
Untuk itu, dia mengatakan saat ini infrastruktur untuk mendukung pendidikan jarak jauh perlu dikembangkan lebih baik dan pihaknya sedang mempersiapkan regulasinya.
Baca juga: Pendidikan jarak jauh dan online pangkas separuh biaya kuliah
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018
Tags: