Kejagung pelajari putusan pengusaha Tamin Sukardi
29 Agustus 2018 14:28 WIB
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mochammad Rum memberikan keterangan kepada wartawan mengenai kinerja Kejaksaan Agung selama 2016 di Kantor Kejagung, Jakarta, Rabu (4/1/2017). (ANTARA /Reno Esnir)
Jakarta (Antara) - Kejaksaan Agung akan mempelajari secara lengkap vonis enam tahun penjara terhadap pengusaha ternama Kota Medan, Tamin Sukardi karena terbukti bersalah menjual aset negara dengan nilai Rp132 miliar.
"Sikap kami pikir-pikir dan akan mempelajari putusannya secara lengkap," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Rum kepada Antara, di Jakarta, Rabu.
Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan pada Senin (27/8), memvonis Tamin Sukardi dengan enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: DPR Sarankan Kejagung Lakukan Paksa Badan pada Pengusaha Batubara
Kemudian diharuskan membayar uang pengganti Rp132,4 miliar subsider 2 tahun penjara.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum, yakni 10 tahun penjara dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp132.468.197.742 miliar, sedangkan lahan 74 hektare di Pasar IV Desa Helvetia, dituntut untuk dirampas negara.
Ketua majelis hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dan hakim anggota I, Sontan Merauke Sinaga, menyatakan Tamin terbukti melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana sesuai dakwaan primair.
Perkara tersebut bermula pada 2002, ketika terdakwa Tamin Sukardi mengetahui dari koran bahwa 106 hektare lahan yang dipakai PTPN 2 (Persero) di Kebun Helvetia tidak diperpanjang hak guna usaha (HGU)-nya.
Dia pun berniat menguasai lahan yang berada di Pasar IV Desa Helvetia, Labuhan Deli, Deli Serdang itu berbekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL).
Upaya itu dilakukan dengan Tasman Aminoto dan Misran Sasmita, mantan Karyawan PTPN 2, dan Sudarsono. Mereka membayar dan mengoordinasi sejumlah warga agar mengaku sebagai pewaris hak garap di lokasi tanah dengan dikuatkan dengan bukti 65 lembar SKTPPSL yang seolah-olah diterbitkan tahun 1954. Dengan menyerahkan KTP, warga dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektare.
Padahal, nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL bukanlah nama orang tua dari warga-warga itu. Mereka juga sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi itu.
Selanjutnya, warga juga dikoordinasi untuk datang ke notaris. Di sana mereka menandatangani bundel dokumen berkaitan dengan tanah itu.
Pada 2006, warga diakomodasi agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto (Alm) untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) di Deli Serdang.
Setiap selesai persidangan, kata jaksa, warga juga singgah ke rumah Tamin di Jalan Thamrin Medan. Mereka diberi uang Rp100.000-Rp 500.000 melalui Tasman Aminoto ataupun anaknya Endang.
Gugatan warga akhirnya dikabulkan pengadilan dan dikuatkan sampai Peninjauan Kembali (PK). Setelah putusan pengadilan tingkat pertama, pada 2007 Tasman Aminoto melepaskan hak atas tanah itu kepada Tamin Sukardi yang menggunakan PT Erni Putera Terari (Direktur Mustika Akbar) dengan ganti rugi Rp7.000.000.000. Akta di bawah tangan kemudian didaftarkan ke Notaris Ika Asnika (waarmerking).
Kemudian, atas dasar akta di bawah tangan dan putusan tingkat pertama itu, pada 2011, PT Erni Putera Terari tanpa mengurus peralihan hak atas tanah itu dan tanpa melalui ketentuan UU Agraria, menjual 74 hektare dari 106 hektare lahan yang dikuasainya kepada Mujianto selaku Direktur PT Agung Cemara Reality sebesar Rp236.250.000.000. Namun, Mujianto baru membayar sekitar Rp132.468.197.742 kepada Tamin Sukardi. Sisanya akan dibayarkan setelah sertifikat tanah terbit.
PT Erni Putera Terari adalah milik anak-anak Tamin Sukardi. Namun Tamin yang menentukan traksaksi itu dan menerima pembayaran. Dia menjadi kuasa Mustika Akbar, Direktur Utama perusahaan itu.
"Sikap kami pikir-pikir dan akan mempelajari putusannya secara lengkap," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Rum kepada Antara, di Jakarta, Rabu.
Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan pada Senin (27/8), memvonis Tamin Sukardi dengan enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: DPR Sarankan Kejagung Lakukan Paksa Badan pada Pengusaha Batubara
Kemudian diharuskan membayar uang pengganti Rp132,4 miliar subsider 2 tahun penjara.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum, yakni 10 tahun penjara dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp132.468.197.742 miliar, sedangkan lahan 74 hektare di Pasar IV Desa Helvetia, dituntut untuk dirampas negara.
Ketua majelis hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dan hakim anggota I, Sontan Merauke Sinaga, menyatakan Tamin terbukti melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana sesuai dakwaan primair.
Perkara tersebut bermula pada 2002, ketika terdakwa Tamin Sukardi mengetahui dari koran bahwa 106 hektare lahan yang dipakai PTPN 2 (Persero) di Kebun Helvetia tidak diperpanjang hak guna usaha (HGU)-nya.
Dia pun berniat menguasai lahan yang berada di Pasar IV Desa Helvetia, Labuhan Deli, Deli Serdang itu berbekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL).
Upaya itu dilakukan dengan Tasman Aminoto dan Misran Sasmita, mantan Karyawan PTPN 2, dan Sudarsono. Mereka membayar dan mengoordinasi sejumlah warga agar mengaku sebagai pewaris hak garap di lokasi tanah dengan dikuatkan dengan bukti 65 lembar SKTPPSL yang seolah-olah diterbitkan tahun 1954. Dengan menyerahkan KTP, warga dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektare.
Padahal, nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL bukanlah nama orang tua dari warga-warga itu. Mereka juga sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi itu.
Selanjutnya, warga juga dikoordinasi untuk datang ke notaris. Di sana mereka menandatangani bundel dokumen berkaitan dengan tanah itu.
Pada 2006, warga diakomodasi agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto (Alm) untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) di Deli Serdang.
Setiap selesai persidangan, kata jaksa, warga juga singgah ke rumah Tamin di Jalan Thamrin Medan. Mereka diberi uang Rp100.000-Rp 500.000 melalui Tasman Aminoto ataupun anaknya Endang.
Gugatan warga akhirnya dikabulkan pengadilan dan dikuatkan sampai Peninjauan Kembali (PK). Setelah putusan pengadilan tingkat pertama, pada 2007 Tasman Aminoto melepaskan hak atas tanah itu kepada Tamin Sukardi yang menggunakan PT Erni Putera Terari (Direktur Mustika Akbar) dengan ganti rugi Rp7.000.000.000. Akta di bawah tangan kemudian didaftarkan ke Notaris Ika Asnika (waarmerking).
Kemudian, atas dasar akta di bawah tangan dan putusan tingkat pertama itu, pada 2011, PT Erni Putera Terari tanpa mengurus peralihan hak atas tanah itu dan tanpa melalui ketentuan UU Agraria, menjual 74 hektare dari 106 hektare lahan yang dikuasainya kepada Mujianto selaku Direktur PT Agung Cemara Reality sebesar Rp236.250.000.000. Namun, Mujianto baru membayar sekitar Rp132.468.197.742 kepada Tamin Sukardi. Sisanya akan dibayarkan setelah sertifikat tanah terbit.
PT Erni Putera Terari adalah milik anak-anak Tamin Sukardi. Namun Tamin yang menentukan traksaksi itu dan menerima pembayaran. Dia menjadi kuasa Mustika Akbar, Direktur Utama perusahaan itu.
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2018
Tags: