Jakarta (ANTARA News) - Australia baru saja memiliki perdana menteri baru hasil pertarungan internal Partai Liberal, yang membuat sang mantan marah sambil menunjuk orang-orang, yang ia anggap berkhianat.

Perdana menteri baru Australia itu adalah Scott Morrison, mantan menteri keuangan, yang tenar di Indonesia saat menjabat menteri imigrasi karena kebijakan kerasnya terhadap pengungsi, termasuk dua kali mengembalikan pencari suaka ke Cikepuh, Jawa Barat, pada 2014.

Sementara itu, sang mantan bernama Malcolm Turnbull. Dia sepertinya terkena karma, karena pada tiga tahun lalu, Turnbull mendapatkan jabatan perdana menteri melalui intrik, yang disebut media Australia "kudeta" terhadap Tony Abbott. Sekarang, dia menerima nasib sama.

Pergantian perdana menteri adalah hal lumrah di Australia. Selama satu dasawarsa terakhir, mereka mempunyai enam kepala pemerintahan.

Itu lazim karena Australia menganut sistem parlementer, yang tidak umum. Di sana, yang berhak memilih perdana menteri adalah partai atau koalisi partai dengan kursi mayoritas di dewan perwakilan.

Hanya anggota dewan dari partai itulah yang mempunyai hak memilih perdana menteri. Dengan demikian, perpecahan di kalangan elit partai penguasa akan dengan mudah berdampak pada pergantian pemimpin.

Morrison dan Turnbull sama-sama berasal dari Partai Liberal, yang kini berkoalisi dengan Partai Nasional untuk berkuasa di Australia.

Menurut Reuters, elit Partai Liberal meragukan kemampuan Turnbull menggalang dukungan dari pemilih konservatif pada pemilihan umum pada tahun depan. Dalam sejumlah jajak pendapat, Partai Liberal selalu kalah dari pesaing progresif Partai Buruh.

Perlawanan mulai muncul pada Selasa saat Peter Dutton meminta Partai Liberal melakukan pemilihan ketua sekaligus perdana menteri baru. Pada hari itu, Dutton kalah tipis dari Turnbull, tapi kemudian berhasil menggalang tanda tangan petisi untuk pemilihan ulang.

Pada Jumat, pemilihan ulang itu digelar. Kini, calonnya tiga orang: Dutton, Morrison, dan Julie Bishop --menteri luar negeri yang digadang-gadang menjadi perempuan pertama pemimpin di Australia. Petahana tidak ikut karena sudah jelas kalah oleh tanda tangan petisi.

Cerita selanjutnya adalah sejarah. Morrison, sebagai calon yang dijagokan Turnbull, menang.

"Tidak, saya setia," adalah kalimat pertama Morrison saat ditanya wartawan kenapa dia menggulingkan petahana. Kata "setia" sepertinya sengaja dipilih karena Turnbull sebelumnya mengatakan bahwa beberapa orang dalam partainya telah berkhianat.



Sosok Morrison

Morrison adalah pria berusia 50 tahun, yang berpandangan religius-konservatif. Secara pribadi, dia menentang pernikahan sesama jenis, tetapi abstain saat undang-undang mengenainya akan disahkan parlemen Australia, kata BBC, yang menyebut Morrison tokoh "pragmatis".

"Menangani kekeringan dan meninjau ulang kebijakan terkait itu" adalah jawaban singkat Morrison soal prioritas pertamanya sebagai perdana menteri.

Namun, Morrison mulai dikenal dunia --khususnya Indonesia-- pada 2013 saat menjabat menteri imigrasi dan perlindungan daerah perbatasan. Pada saat itu, Partai Liberal di bawah kepemimpinan Tony Abbot baru saja menang pemilihan umum dengan janji mempersulit kedatangan pengungsi, yang dianggap membebani keuangan negara.

Sebagai menteri, Morrison dianggap terlalu keras terhadap pencari suaka serta tidak terbuka terhadap media dan lembaga pembela hak asasi manusia.

Usulan awal, yang muncul, adalah membangun kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk memasyarakatkan bahwa perdagangan manusia adalah pelanggaran hukum. Pada saat itu, nelayan di pesisir selatan Indonesia dituding melakukan penyelundupan manusia karena "mengantar" pencari suaka ke Australia.

Morrison juga mengusulkan program pembelian perahu rusak, karena khawatir itu digunakan pelaku perdagangan manusia untuk menyelundupkan pengungsi ke Australia.

Program itu tidak bisa berjalan karena tidak mendapat dukungan pemerintah Indonesia. Selain itu, lembaga pemeriksa bukti PolitiFact juga menyebut rencana Morrison tersebut "konyol", demikian "Sydney Morning Herald".

Dalam menghadapi keadaan itu, sikap Morrison mengeras. Dia memulai operasi usir balik, yang bermasalah. "The Telegraph" mengabarkan Morrison membeli 11 perahu dari Singapura untuk mengangkut pengungsi, yang dicegat di tengah laut di dekat perairan Indonesia.

Dua di antara perahu itu sampai ke Indonesia --di Cikepuh dan Pangandaran-- pada 2014 dengan mengangkut 94 pencari suaka. Kejadian itu langsung ditanggapi dengan protes keras dari pemerintah dan sejumlah politikus Indonesia karena sejumlah alasan.

Pertama, pengusiran kembali pengungsi membuat beban pengurusan mereka beralih ke Indonesia, kata politikus Partai Golkar Tantowi Yahya.

Kedua, Australia melanggar kedaulatan wilayah Indonesia dengan melakukan operasi tersebut, sampai-sampai petinggi militer negara benua itu harus meminta maaf kepada pemerintah di Jakarta, demikian catatan BBC. Penyelidikan oleh angkatan bersenjata kedua negara itu menunjukkan bahwa Australia dua kali melanggar kedaulatan wilayah Indonesia.

Di sisi lain, banyak lembaga pembela hak asasi manusia mengecam kebijakan Morrison. Dia dianggap tidak terbuka dalam mengabarkan seberapa banyak kapal pengungsi diusir balik oleh Australia. Jumpa pers mingguan tentang hal tersebut sering kali tidak digelar.

Pada saat ada dugaan tentang perlakuan tidak menyenangkan oleh tentara perbatasan terhadap pengungsi, Morrison menjawab bahwa mereka "punya alasan kuat untuk mengarang cerita", demikian "The Guardian".

Mengingat catatan masa lalu Morrison itu, menarik untuk menunggu apa yang akan dia lakukan terhadap politik luar negeri Australia, terutama soal Indonesia. Meski demikian, sejumlah media Barat menduga bahwa fokus utama Morrison saat ini adalah menang dalam pemilihan umum pada tahun depan.

Editor: Boyke Soekapdjo