Perempuan rawan kekerasan saat terjadi bencana
24 Agustus 2018 16:06 WIB
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nyimas Aliah. (ANTARA/Dewanto Samodro)
Jakarta (ANTARA News) - Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nyimas Aliah mengatakan perempuan rawan mengalami kekerasan berbasis gender pada situasi bencana.
"Pada situasi normal saja kekerasan terjadi cukup tinggi, apalagi pada situasi darurat dan bencana," kata Nyimas dalam bincang-bincang bersama media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Jumat.
Nyimas mengatakan kekerasan berbasis gender yang terjadi saat situasi darurat dan bencana selama ini tidak banyak terungkap karena layanan pengaduan belum tersedia dan penanganannya relatif rendah.
Meskipun tidak terungkap, tetapi bukan berarti tidak ada. Kekerasan berbasis gender terjadi karena perempuan dan anak sebagai kelompok rentan mengalami relasi kuasa dan ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain saat terjadi bencana.
"Karena itu, pada saat terjadi bencana, perempuan harus dibangkitkan dan dibangkitkan semangatnya. Bila perempuan tangguh saat bencana, maka akan menguatkan anak-anak dan perempuan lainnya," tuturnya.
Dalam penanganan gempa Lombok dan sekitarnya, misalnya, Nyimas mengatakan sudah menerima dua laporan percobaan perkosaan yang menimpa seorang perempuan berusia 20 tahun dan anak perempuan berusia 15 tahun.
"Saat ini kasus itu sudah ditangani dan korban didampingi untuk penanganan psikologisnya," ujarnya.
Untuk mencegah kasus serupa, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah meluncurkan pos ramah perempuan dan anak di Lombok yang melayani pengaduan pelanggaran hak-hak anak dan perempuan selama 24 jam.
Baca juga: Relawan PMI meninggal saat tugas di Lombok
Baca juga: Dua emak-emak korban gempa adu mulut perebutkan terpal
"Pada situasi normal saja kekerasan terjadi cukup tinggi, apalagi pada situasi darurat dan bencana," kata Nyimas dalam bincang-bincang bersama media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Jumat.
Nyimas mengatakan kekerasan berbasis gender yang terjadi saat situasi darurat dan bencana selama ini tidak banyak terungkap karena layanan pengaduan belum tersedia dan penanganannya relatif rendah.
Meskipun tidak terungkap, tetapi bukan berarti tidak ada. Kekerasan berbasis gender terjadi karena perempuan dan anak sebagai kelompok rentan mengalami relasi kuasa dan ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain saat terjadi bencana.
"Karena itu, pada saat terjadi bencana, perempuan harus dibangkitkan dan dibangkitkan semangatnya. Bila perempuan tangguh saat bencana, maka akan menguatkan anak-anak dan perempuan lainnya," tuturnya.
Dalam penanganan gempa Lombok dan sekitarnya, misalnya, Nyimas mengatakan sudah menerima dua laporan percobaan perkosaan yang menimpa seorang perempuan berusia 20 tahun dan anak perempuan berusia 15 tahun.
"Saat ini kasus itu sudah ditangani dan korban didampingi untuk penanganan psikologisnya," ujarnya.
Untuk mencegah kasus serupa, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah meluncurkan pos ramah perempuan dan anak di Lombok yang melayani pengaduan pelanggaran hak-hak anak dan perempuan selama 24 jam.
Baca juga: Relawan PMI meninggal saat tugas di Lombok
Baca juga: Dua emak-emak korban gempa adu mulut perebutkan terpal
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: