Dua emak-emak korban gempa adu mulut perebutkan terpal
23 Agustus 2018 07:42 WIB
Sejumlah warga beristirahat dekat rumahnya yang roboh pascagempa di Dusun Labuan Pandan, Desa Padak Guar, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, NTB, Senin (20/8/2018). Pascagempa bumi yang berkekuatan 7 Skala Richter mengguncang Lombok pada Minggu malam pukul 22.56 Wita mengakibatkan sejumlah rumah di daerah tersebut roboh dan puluhan warga mengungsi. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaid)
Mataram (ANTARA News) - Dua emak-emak korban gempa 6,9 Skala Richter (SR) di Dusun Senaru, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, sempat adu mulut gara-gara memperebutkan satu terpal sumbangan untuk tenda darurat di depan rumahnya.
Dua ibu-ibu itu adu mulut ketika menemukan satu terpal di sela-sela sumbangan pakaian bekas dan sembako, kata Nur Saat, warga Desa Senaru kepada Antara, Kamis.
Mereka beradu mulut cukup lama pasca gempa 6,4 SR tiga pekan lalu. "Ini milik saya buat tenda, ibu yang satu lagi keras juga. Lama mereka adu mulutnya, katanya.
Dirinya sempat malu juga, kedua ibu-ibu itu adu mulut di depan penyumbang hingga akhirnya berdamai. "Ibu yang tidak menerima tetap tidak terima gagal dapat terpal," katanya.
Warga yang terdampak gempa di Pulau Lombok kesulitan mendapatkan terpal untuk membuat tenda darurat dan harganya melambung sampai Rp1 juta dari biasanya Rp450 ribu per lembar.
"Kita sudah cari-cari dimana, sampai ke Pasar Cakranegara Mataram sejak gempa besar pada 5 Agustus 2018, sampai sekarang tidak dapat juga," kata Nur Saad yang namanya terkenal di kalangan pendaki Gunung Rinjani.
Warga membutuhkan terpal berukuran 6 x 7 meter untuk membangun tenda yang mampu menampung sampai delapan orang, sementara bantuan tenda dari pemerintah masih terbatas.
"Bantuan dari pemerintah untuk terpal belum ada juga, jadi kita harus mencari. Tapi sulit sekali dan harganya melambung," katanya.
Sebagian warga memanfaatkan sisa terpal dari kegiatan pertanian atau kandang hewan ternak yang sudah rusak untuk membuat tenda yang diharapkan bisa melindungi mereka dari dingin kabut malam.
Bukan terpal saja, harga jerigen untuk air juga melonjak tinggi dari semula Rp35 ribu menjadi Rp55 ribu per unit. "Itu pun jadi barang langka juga," kata Nur Saad.
Aminah, warga Dusun Koko Putek yang belum juga mendapatkan bantuan terpal dari pemerintah, sementara memanfaatkan dari terpal bekas untuk tenda.
"Sudah bolong, tetap saya gunakan dibandingkan kedinginan malam hari. Rumah sudah ambruk," katanya.
Baca juga: Ketika terpal menjadi barang langka di Lombok
Baca juga: Tenda pengungsian di Lombok Timur bertambah
Dua ibu-ibu itu adu mulut ketika menemukan satu terpal di sela-sela sumbangan pakaian bekas dan sembako, kata Nur Saat, warga Desa Senaru kepada Antara, Kamis.
Mereka beradu mulut cukup lama pasca gempa 6,4 SR tiga pekan lalu. "Ini milik saya buat tenda, ibu yang satu lagi keras juga. Lama mereka adu mulutnya, katanya.
Dirinya sempat malu juga, kedua ibu-ibu itu adu mulut di depan penyumbang hingga akhirnya berdamai. "Ibu yang tidak menerima tetap tidak terima gagal dapat terpal," katanya.
Warga yang terdampak gempa di Pulau Lombok kesulitan mendapatkan terpal untuk membuat tenda darurat dan harganya melambung sampai Rp1 juta dari biasanya Rp450 ribu per lembar.
"Kita sudah cari-cari dimana, sampai ke Pasar Cakranegara Mataram sejak gempa besar pada 5 Agustus 2018, sampai sekarang tidak dapat juga," kata Nur Saad yang namanya terkenal di kalangan pendaki Gunung Rinjani.
Warga membutuhkan terpal berukuran 6 x 7 meter untuk membangun tenda yang mampu menampung sampai delapan orang, sementara bantuan tenda dari pemerintah masih terbatas.
"Bantuan dari pemerintah untuk terpal belum ada juga, jadi kita harus mencari. Tapi sulit sekali dan harganya melambung," katanya.
Sebagian warga memanfaatkan sisa terpal dari kegiatan pertanian atau kandang hewan ternak yang sudah rusak untuk membuat tenda yang diharapkan bisa melindungi mereka dari dingin kabut malam.
Bukan terpal saja, harga jerigen untuk air juga melonjak tinggi dari semula Rp35 ribu menjadi Rp55 ribu per unit. "Itu pun jadi barang langka juga," kata Nur Saad.
Aminah, warga Dusun Koko Putek yang belum juga mendapatkan bantuan terpal dari pemerintah, sementara memanfaatkan dari terpal bekas untuk tenda.
"Sudah bolong, tetap saya gunakan dibandingkan kedinginan malam hari. Rumah sudah ambruk," katanya.
Baca juga: Ketika terpal menjadi barang langka di Lombok
Baca juga: Tenda pengungsian di Lombok Timur bertambah
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: