Tingkatkan devisa, Kemenperin pacu hilirisasi industri CPO
22 Agustus 2018 13:14 WIB
Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional I Gusti Putu Suryawirawan memberikan sambutan pada FGD Peluang Bagi IDN Indonesia atas Pelarangan Penggunaan Biofuel Berbasis Minyak Kelapa Sawit di Uni Eropa di Kementerian Perindustrian, Jakarta. (ANTARA News/ Biro Humas Kementerian Perindustrian)
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian terus memacu hilirisasi di sektor industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) agar dapat meningkatkan nilai tambah tinggi, meningkatkan ekspor dan menambah devisa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kami berupaya agar minyak kelapa sawit dan turunannya bisa diolah dan dijual ke luar negeri. Tetapi saat ini tengah dikaji agar produk tersebut bisa dijual dan tidak akan ada permasalahan nantinya,” kata Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan melalui keterangannya di Jakarta, Rabu.
Apalagi, tambahnya, industri pengolahan sawit selama ini mampu memberikan kontribusi signifikan bagi Indonesia karena sebagai produsen dan eksportir terbesar dunia.
Kemenperin mencatat, secara rata-rata tahunan, industri kelapa sawit hulu-hilir menyumbang 20 miliar dolar AS pada devisa negara dari ekspor. Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja sebanyak 21 juta orang baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bahkan, Indonesia berkontribusi sebesar 48 persen dari produksi CPO dunia dan menguasai 52 persen pasar ekspor minyak sawit dunia. Oleh karena itu, Indonesia berpeluang menjadi pusat industri pengolahan sawit global untuk keperluan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan.
Menurut Putu, ada tiga jalur hilirisasi industri CPO di dalam negeri yang masih potensial untuk terus dikembangkan.
Pertama, hilirisasi oleopangan (oleofood complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product).
"Berbagai produk hilir oleopangan yang telah dihasilkan di Indonesia, antara lain minyak goreng sawit, margarin, vitamin A, vitamin E, shortening, ice cream, creamer, cocoa butter atau specialty-fat," sebutnya.
Kemudian, hilirisasi oleokimia (oleochemical complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia, oleokimia dasar sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan (seperti produk detergen, sabun, dan shampoo), biolubrikan (biopelumas) dan biomaterial (contohnya bioplastik).
Selanjutnya, hilirisasi biofuel (biofuel complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur, dan lain-lain.
"Terkait dengan hilirisasi biofuel, saat ini pemerintah tengah serius untuk menerapkan program biodiesel 20 persen (B20) secara penuh di Indonesia, dan memperluas penggunaan B20 di semua kendaraan bermotor," papar Putu.
Putu meyakini, program B20 dapat meningkatkan pemanfaatan bahan baku lokal serta diproyeksi dapat mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 3,5-4,5 juta liter ton per tahun atau kurang lebih setara dengan 5,5 miliar dolar AS per tahun.
"Dalam rangka mendukung hal tersebut, pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden terkait kewajiban pencampuran B20 bagi sektor Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO," imbuhnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran (Unpad) yang juga Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, Ina Primiana, menjelaskan, strategi pemerintah untuk menguatkan hilirisasi di sektor industri pengolahan sawit merupakan salah satu solusi dalam menghadapi pelarangan impor sawit Indonesia ke beberapa negara Uni Eropa.
"Jadi, industri hilir yang bertugas untuk mengolah sawit di dalam negeri harus bisa menghasilkan produk olahan sawit dalam bentuk yang berbeda untuk memperluas pasar ekspor," tuturnya.
Ia menjelaskan, harga CPO yang dijual mentah hanya senilai USD800-1.000 per ton atau setara Rp14,5 juta. Namun, jika minyak sawit itu diolah untuk kebutuhan produksi minyak goreng, harganya akan bertambah menjadi 1.000-1.400 dolar AS per ton atau setara Rp20,3 juta.
Sementara itu, peningkatan nilai tambah lainnya, jika minyak sawit diolah untuk menjadi gliserin, asam lemak, fatty alcohol, methyl ester, itu harganya bisa mencapai 1.400-2.000 dolar AS atau setara Rp29 juta.
Kemudian, jika minyak sawit diolah untuk kebutuhan surfaktan, sabun logam, lubrikan alami, resin azelat, biopoliol dan asam dimer, akan memiliki harga hingga 2.000-3.000 dolar AS atau setara Rp43 juta.
Bahkan, jika minyak sawit diolah untuk kebutuhan kosmetik, sabun, detergen biodisel, obat-obatan, pelumas, biodisel, pelumas sampai cat, harganya mampu menembus 3.000-4.000 dolar AS atau setara Rp58 juta.
Baca juga: PTPN-Pertamina rencanakan bangun pabrik biodiesel
“Kami berupaya agar minyak kelapa sawit dan turunannya bisa diolah dan dijual ke luar negeri. Tetapi saat ini tengah dikaji agar produk tersebut bisa dijual dan tidak akan ada permasalahan nantinya,” kata Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan melalui keterangannya di Jakarta, Rabu.
Apalagi, tambahnya, industri pengolahan sawit selama ini mampu memberikan kontribusi signifikan bagi Indonesia karena sebagai produsen dan eksportir terbesar dunia.
Kemenperin mencatat, secara rata-rata tahunan, industri kelapa sawit hulu-hilir menyumbang 20 miliar dolar AS pada devisa negara dari ekspor. Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja sebanyak 21 juta orang baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bahkan, Indonesia berkontribusi sebesar 48 persen dari produksi CPO dunia dan menguasai 52 persen pasar ekspor minyak sawit dunia. Oleh karena itu, Indonesia berpeluang menjadi pusat industri pengolahan sawit global untuk keperluan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan.
Menurut Putu, ada tiga jalur hilirisasi industri CPO di dalam negeri yang masih potensial untuk terus dikembangkan.
Pertama, hilirisasi oleopangan (oleofood complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product).
"Berbagai produk hilir oleopangan yang telah dihasilkan di Indonesia, antara lain minyak goreng sawit, margarin, vitamin A, vitamin E, shortening, ice cream, creamer, cocoa butter atau specialty-fat," sebutnya.
Kemudian, hilirisasi oleokimia (oleochemical complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia, oleokimia dasar sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan (seperti produk detergen, sabun, dan shampoo), biolubrikan (biopelumas) dan biomaterial (contohnya bioplastik).
Selanjutnya, hilirisasi biofuel (biofuel complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur, dan lain-lain.
"Terkait dengan hilirisasi biofuel, saat ini pemerintah tengah serius untuk menerapkan program biodiesel 20 persen (B20) secara penuh di Indonesia, dan memperluas penggunaan B20 di semua kendaraan bermotor," papar Putu.
Putu meyakini, program B20 dapat meningkatkan pemanfaatan bahan baku lokal serta diproyeksi dapat mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 3,5-4,5 juta liter ton per tahun atau kurang lebih setara dengan 5,5 miliar dolar AS per tahun.
"Dalam rangka mendukung hal tersebut, pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden terkait kewajiban pencampuran B20 bagi sektor Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO," imbuhnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran (Unpad) yang juga Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, Ina Primiana, menjelaskan, strategi pemerintah untuk menguatkan hilirisasi di sektor industri pengolahan sawit merupakan salah satu solusi dalam menghadapi pelarangan impor sawit Indonesia ke beberapa negara Uni Eropa.
"Jadi, industri hilir yang bertugas untuk mengolah sawit di dalam negeri harus bisa menghasilkan produk olahan sawit dalam bentuk yang berbeda untuk memperluas pasar ekspor," tuturnya.
Ia menjelaskan, harga CPO yang dijual mentah hanya senilai USD800-1.000 per ton atau setara Rp14,5 juta. Namun, jika minyak sawit itu diolah untuk kebutuhan produksi minyak goreng, harganya akan bertambah menjadi 1.000-1.400 dolar AS per ton atau setara Rp20,3 juta.
Sementara itu, peningkatan nilai tambah lainnya, jika minyak sawit diolah untuk menjadi gliserin, asam lemak, fatty alcohol, methyl ester, itu harganya bisa mencapai 1.400-2.000 dolar AS atau setara Rp29 juta.
Kemudian, jika minyak sawit diolah untuk kebutuhan surfaktan, sabun logam, lubrikan alami, resin azelat, biopoliol dan asam dimer, akan memiliki harga hingga 2.000-3.000 dolar AS atau setara Rp43 juta.
Bahkan, jika minyak sawit diolah untuk kebutuhan kosmetik, sabun, detergen biodisel, obat-obatan, pelumas, biodisel, pelumas sampai cat, harganya mampu menembus 3.000-4.000 dolar AS atau setara Rp58 juta.
Baca juga: PTPN-Pertamina rencanakan bangun pabrik biodiesel
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018
Tags: