Pemerintah diminta perbaiki data beras
17 Agustus 2018 17:05 WIB
Pekerja menurunkan beras impor asal Vietnam dari kapal di Pelabuhan Indah Kiat, Merak, Cilegon, Banten, Selasa (31/7/2018). (ANTARA /Asep Fathulrahman)
Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI Komisi IV Ono Surono meminta pemerintah memperbaiki data produksi beras yang sering kali menimbulkan sengketa antarinstansi dan mempengaruhi kebijakan komoditas tersebut.
"Sistem pendataan yang benar perlu segera dibuat untuk menjadi acuan bagi Kementan, Kemendag dan Presiden, sebagai dasar bila akan membuat kebijakan beras," katanya dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat.
Ono mengatakan penyediaan data yang benar bisa membuat pemerintah mengambil keputusan yang tepat, terutama apabila ingin mengambil kebijakan impor untuk stabilisasi harga beras.
Menurut dia, kebijakan impor yang dilakukan untuk stok, memang bisa memenuhi kebutuhan konsumen dengan harga wajar. Namun, di sisi lain, bisa berdampak pada kesejahteraan petani.
"Apalagi, ketika pada saat tertentu harga beras naik tidak wajar, terlihat jelas siapa yang diuntungkan, yaitu orang-orang yang selama ini menguasai distribusi," kata politisi PDI-Perjuangan ini.
Ono juga meminta adanya perbaikan tata niaga perberasan dari sisi regulasi maupun praktik di lapangan serta evaluasi atas program cetak sawah maupun benih bagi petani yang bertujuan meningkatkan produksi dalam negeri.
"Kalau produksi beras berdasarkan laporan Kementan selalu meningkat, berarti sudah on the track.. Semua program harus dievaluasi, yang belum wajib diperbaiki, yang baik harus ditingkatkan," ujarnya.
Selama ini, pengadaan data beras selalu menimbulkan sengketa, karena Kementerian Pertanian mengklaim produksi mencukupi bahkan surplus, namun sejak awal 2018, impor beras juga dilakukan.
Sementara itu, pengamat pertanian Khudori mengatakan selama ini tidak ada data pembanding dari instansi terkait mengenai produksi beras, karena yang memproduksi data hanya Kementerian Pertanian.
Padahal, menurut dia, metode perolehan data tersebut diragukan, karena tidak ada penghitungan secara riil untuk jumlah luasan lahan. Sedangkan, luas lahan dapat menentukan seberapa besar produksi beras.
"Pengumpulan datanya memang bukan survei lapangan. Itu tadi perkiraan-perkiraan," kata Khudori.
Meski demikian, persoalan impor tidak hanya mengacu pada produksi beras, karena ada masalah lain yaitu tidak optimalnya penyerapan Bulog karena masih rendahnya harga pokok pembelian yang ditetapkan pemerintah.
"Problem utama terkait impor beras adalah kemampuan Bulog menyerap beras atau gabah hasil produksi dalam negeri," tambahnya.
Selain itu, musim kemarau di 2018 yang lebih panjang bisa menambah persoalan karena dapat menyebabkan terjadinya kegagalan panen dan berkurangnya produksi.
Baca juga: Kemendag: tambahan impor beras 500.000 ton untuk stok dan stabilisasi
Baca juga: Langkah strategis hadapi kemarau
"Sistem pendataan yang benar perlu segera dibuat untuk menjadi acuan bagi Kementan, Kemendag dan Presiden, sebagai dasar bila akan membuat kebijakan beras," katanya dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat.
Ono mengatakan penyediaan data yang benar bisa membuat pemerintah mengambil keputusan yang tepat, terutama apabila ingin mengambil kebijakan impor untuk stabilisasi harga beras.
Menurut dia, kebijakan impor yang dilakukan untuk stok, memang bisa memenuhi kebutuhan konsumen dengan harga wajar. Namun, di sisi lain, bisa berdampak pada kesejahteraan petani.
"Apalagi, ketika pada saat tertentu harga beras naik tidak wajar, terlihat jelas siapa yang diuntungkan, yaitu orang-orang yang selama ini menguasai distribusi," kata politisi PDI-Perjuangan ini.
Ono juga meminta adanya perbaikan tata niaga perberasan dari sisi regulasi maupun praktik di lapangan serta evaluasi atas program cetak sawah maupun benih bagi petani yang bertujuan meningkatkan produksi dalam negeri.
"Kalau produksi beras berdasarkan laporan Kementan selalu meningkat, berarti sudah on the track.. Semua program harus dievaluasi, yang belum wajib diperbaiki, yang baik harus ditingkatkan," ujarnya.
Selama ini, pengadaan data beras selalu menimbulkan sengketa, karena Kementerian Pertanian mengklaim produksi mencukupi bahkan surplus, namun sejak awal 2018, impor beras juga dilakukan.
Sementara itu, pengamat pertanian Khudori mengatakan selama ini tidak ada data pembanding dari instansi terkait mengenai produksi beras, karena yang memproduksi data hanya Kementerian Pertanian.
Padahal, menurut dia, metode perolehan data tersebut diragukan, karena tidak ada penghitungan secara riil untuk jumlah luasan lahan. Sedangkan, luas lahan dapat menentukan seberapa besar produksi beras.
"Pengumpulan datanya memang bukan survei lapangan. Itu tadi perkiraan-perkiraan," kata Khudori.
Meski demikian, persoalan impor tidak hanya mengacu pada produksi beras, karena ada masalah lain yaitu tidak optimalnya penyerapan Bulog karena masih rendahnya harga pokok pembelian yang ditetapkan pemerintah.
"Problem utama terkait impor beras adalah kemampuan Bulog menyerap beras atau gabah hasil produksi dalam negeri," tambahnya.
Selain itu, musim kemarau di 2018 yang lebih panjang bisa menambah persoalan karena dapat menyebabkan terjadinya kegagalan panen dan berkurangnya produksi.
Baca juga: Kemendag: tambahan impor beras 500.000 ton untuk stok dan stabilisasi
Baca juga: Langkah strategis hadapi kemarau
Pewarta: Satyagraha
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: