Jakarta (ANTARA News) - Kepemilikan pihak asing terhadap obligasi negara mengalami penurunan sebesar sekitar Rp6 triliun selama periode Juni 2007 hingga 10 Agustus 2007 yang diperkirakan sebagai dampak dari gejolak global yang terjadi akhir ini. "Dampak dari adanya gejolak global adalah munculnya resiko di emerging market termasuk Indonesia. Investor asing akan lebih hati-hati dalam melakukan investasi dan biasanya yang dikorbankan adalah yang resikonya tertinggi," kata Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, Rahmat Waluyanto di Jakarta, Selasa. Rahmat menyebutkan, pada akhir Juni 2007 kepemilikan obligasi negara oleh pihak asing mencapai sekitar Rp81,78 triliun sementara pada 10 Agustus 2007 tercatat mencapai sekitar Rp75,16 triliun. Namun hal itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena yang berkembang hanya persepsi saja sementara fundamental ekonomi sebenarnya cukup baik. "Yang penting kita konsisten dengan kebijakan kita, menjaga konfiden market, statement yang hati-hati sehingga pasar tidak gugup," katanya. Menurut dia, berbagai upaya dilakukan untuk mengantisipasi dampak gejolak global itu antara lain menawarkan pembelian kembali obligasi negara dan penerbitan instrumen lain yang mengandalkan sumber dana dari dalam negeri seperti ORI atau obligasi syariah (sukuk). Sementara itu mengenai pembiayaan defisit dari penerbitan obligasi negara pada APBN 2007 yang mengalami peningkatan, Rahmat menjelaskan, dengan kenaikan defisit dari 1,1 persen menjadi 1,5 persen maka pembiayaan dengan obligasi negara meningkat dari sebelumnya Rp40,6 triliun menjadi Rp58,5 triliun, atau naik Rp18 triliun. "Kalau market begitu melemah sehingga daya serap terbatas, atau tetap ada demand tapi harganya tinggi maka kita akan mengevaluasi pembiayaan dari penerbitan obligasi negara ini," katanya. Menurut dia, jika dipaksakan tetap dilakukan sementara pasarnya tidak mendukung maka akan menimbulkan efek berantai di mana harga di pasar sekunder juga akan tinggi, pengelola reksadana juga akan mengalami kesulitan. Ia menyebutkan, dalam dua minggu terakhir, rata-rata yield SUN mengalami kenaikan sekitar 30 basis poin. Yield merupakan keuntungan yang diterima pemilik SUN sementara bagi pemerintah merupakan biaya berutang. "Karena itu pada lelang penerbitan yang akan datang, pemerintah akan mengevaluasi seberapa besar demand terhadap surat utang negara (SUN). Kalau permintaannya terlalu kecil, tentu kita tidak bisa memaksakan. Kita juga harus realistis," katanya.(*)