Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp14.400 di RAPBN 2019 merupakan angka yang konservatif dalam menghadapi tantangan global tahun depan.

"Asumsi Rp14.400 merupakan angka kami yang konservatif," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers Nota Keuangan dan RAPBN 2019 di Jakarta, kemarin.

Sri Mulyani mengatakan proyeksi asumsi ini telah mempertimbangkan dinamika di negara maju seperti normalisasi kebijakan moneter di AS dan Eropa yang terjadi hingga tahun depan.

Berdasarkan kajian, kondisi perekonomian AS diperkirakan makin membaik berkat dukungan tingkat inflasi serta penyesuaian suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed).

Kondisi ini berpotensi menyebabkan terjadinya pembalikan modal dari negara-negara berkembang untuk mencari portfolio dengan imbal hasil yang lebih menguntungkan di negara maju.

Selain itu, tambah Sri Mulyani, faktor eksternal lainnya adalah kenaikan harga minyak dunia serta permasalahan geopolitik di berbagai kawasan yang belum sepenuhnya reda.

"Ini risikonya, tapi karena nilai tukar ini juga merupakan domain dari BI, kami akan koordinasi untuk menjaga stabilitas mata uang dan pertumbuhan," kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Meski demikian, terdapat faktor positif yang bisa menahan perlemahan kurs yaitu kuatnya fundamental ekonomi yang tercermin dari inflasi terkendali, defisit anggaran sehat, serta peningkatan peringkat utang.

Kemudian, adanya kebijakan stabilisasi nilai rupiah yang terukur didukung oleh cadangan devisa yang mencukupi serta koordinasi penyediaan valas diantara perusahaan BUMN.

Selain itu, faktor yang bisa menahan depresiasi rupiah adalah masih berlangsungnya kebijakan quantitative easing dan suku bunga rendah di Eropa maupun Jepang yang dapat mengimbangi potensi modal keluar lanjutan.

"Perlemahan nilai tukar rupiah juga berpotensi mendorong kinerja ekspor," katanya.

Saat ini, tekanan eksternal yang masih melanda negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, telah menyebabkan terjadinya gejolak dari sisi nilai tukar mata uang maupun arus modal.

Pemicu utama dari gejolak tersebut adalah kebijakan fiskal AS yang ekspansif, normalisasi kebijakan moneter dari The Fed serta sentimen proteksionisme.

Kondisi ini menyebabkan depresiasi rupiah (year to date) hingga periode akhir Juli 2018 mencapai kisaran 7-8 persen dengan rata-rata pergerakan tercatat sebesar Rp13.880 per dolar AS.

Baca juga: Ini alasan BI, mengapa asumsi kurs Rp14.400 pada RAPBN 2019
Baca juga: Menkeu: penerimaan pajak 2019 agak ambisius, namun bisa dicapai