Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengakui volatilitas nilai tukar rupiah dan indeks harga saham saat ini memang relatif agak tinggi, namun sifatnya hanya sementara.

"Kami tahu ada volatilitas yang agak tinggi ya, namun demikian ini kami yakini sifatnya hanya sementara dan ini juga sudah terjadi beberapa kali kan," ujar Wimboh saat jumpa pers di Jakarta, Rabu.

Menurut Wimboh, kondisi volatilitas tinggi tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal terutama terkait rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve, dan juga sentimen perang dagang antara AS-China serta negara mitra dagang lainnya.

"Kami perlu tetap jaga bagaimana masyarakat paham bahwa ini tidak ada hubungannya dengan kondisi domestik, lebih banyak dipicu kondisi di luar diantaranya normalisasi kebijakan AS, perang dagang, dan tentunya kondisi beberapa negara yang memang lagi menderita atau mengalami volatilitas pasar dan nilai tukarnya cukup tinggi," kata Wimboh.

Baca juga: Kenaikan suku bunga acuan, picu penguatan rupiah Rp14.593
Baca juga: Respon kebijakan BI, IHSG ditutup menguat 46,71 poin

Nilai tukar rupiah pada awal pekan ini menembus level Rp14.600. Rupiah ditutup melemah sebesar 124 poin menjadi Rp14.610 dibanding sebelumnya Rp14.486 per dolar AS.

Namun, rupiah kembali menguat seiring dengan kebiijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" 0,25 persen menjadi 5,5 persen pada Rabu ini. Rupiahd ditutup di level Rp14.577 per dolar AS.

Sama dengan rupiah, pada awal pekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah hingga 3,55 persen atau 215,92 poin menjadi 5.861,24 seiring dengan banyaknya sentimen negatif di pasar. Hari berikutnya pun IHSG kembali melemah 1,55 persen menjadi 5.769,87. Pada Rabu ini, IHSG kembali menguat 46,72 poin atau 0,81 persen menjadi 5.816,59.

Wimboh menilai kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih baik dan berbeda dengan Turki yang mata uangnya Lira jatuh lebih dari 40 persen tahun ini, menyusul kekhawatiran peningkatan kontrol ekonomi oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan memburuknya hubungan dengan AS.

"Di tengah dinamika perekonomian global, indikator perekonomian kita masih positif. Stabilitas sektor jasa keuangan dan likuiditas pasar keuangan Indonesia juga masih terjaga," ujar Wimboh.

Baca juga: OJK keluarkan paket kebijakan pendorong ekspor