Din: radikalisme tidak dituduhkan pada satu agama
15 Agustus 2018 00:33 WIB
Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) didampingi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (kedua kiri), Seskab Pramono Anung (kiri) menghadiri Halaqoh Nasional Hubbul Wathon dan Deklarasi Gerakan Nasional Muballigh Bela Negara (GN-MBN) di Jakarta, Senin (14/5/2018). Presiden meminta mubalig di Indonesia untuk terus menyampaikan kepada umat bahwa paham radikalisme dan terorisme bukanlah ajaran agama apapun. (ANTARA/Puspa Perwitasari) (antara)
Jakarta (ANTARA News) - Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja sama antar Agama Din Syamsuddin mengimbau agar masyarakat tidak menyasarkan radikalisme pada satu kelompok orang atau agama.
"Kalau isu radikalitas itu disasarkan pada kelompok tertentu saja itu justru itu akan mendorong reaksi yang kadang kala bersifat radikal," kata Din, Jakarta, Selasa.
Din menuturkan jika mengalungkan radikalitas pada satu kelompok maka tindakan itu hanya memunculkan sikap radikal.
"Jangan isu radikalitas itu hanya dikenakan pada Islam, umat Islam, ini sikap yg tidak moderat. Jadi kalau sampai ada tuduhan kepada satu kelompok orang sebagai radikal, itu bisa dianggap sebagai bentuk radikalitas itu sendiri. Kita harus melihat persoalan secara umum," tuturnya.
Din yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia mengatakan Islam Indonesia bersifat moderat
"Tidak bisa dibayangkan adanya stabilitas Indonesia seperti sekarang ini kalau muslimnya tidak moderat, kalau umat Islamnya tidak toleran," tuturnya.
Menurut dia, radikalisme dan radikalitas terdapat di semua lingkaran baik agama, suku maupun kebangsaan yaitu satu sikap yang ekstrim yang ingin melakukan perubahan dengan memotong akar dari sistem yang ada.
Din mengatakan radikalisme keagamaan dipicu banyak faktor, salah satunya kesalahan pendekatan dalam memahami kitab suci.
"Jika seorang pemeluk agama memahami teks kitab suci secara sepihak dan terutama mengambil pada ayat-ayat yang terkesan mendorong kepada radikalitas itu. Padahal banyak ayat-ayat lain justru mendorong pada perdamaian, kerukunan dan toleransi," jelasnya.
Tapi radikalitas juga dipicu oleh faktor-faktor non agama terutama ketika tidak ada ketidakadilan atau kesenjangan baik sosial, ekonomi maupun politik.
"Saya ingin katakan kalau umat Islam di Indonesia yang mayoritas itu tidak toleran, sudah hancur Indonesia ini," ujarnya.
Dalam rangka membangun kerukunan, dia mengajak semua komponen bangsa untuk bersama-sama mencari akar tunjang dari radikalitas baik atas nama agama, kepentingan politik, dan atas nama kepentingan ekonomi.
Kekerasan juga tidak hanya bentuk fisik tapi ada juga kekerasan pemodal dan negara. Hal itu yang harus diatasi bersama-sama dengan konsep moderasi atau Jalan Tengah.
"Radikalitas itu, ekstrimisme itu adalah musuh kita bersama, harus kita atasi dengan Jalan Tengah," ujarnya.
Baca juga: NU sebut bertahannya Borobudur bukti Islam di Indonesia hidup dalam keragaman
Baca juga: "Hard Terrorism" dan "Soft Terrorism" di Indonesia
"Kalau isu radikalitas itu disasarkan pada kelompok tertentu saja itu justru itu akan mendorong reaksi yang kadang kala bersifat radikal," kata Din, Jakarta, Selasa.
Din menuturkan jika mengalungkan radikalitas pada satu kelompok maka tindakan itu hanya memunculkan sikap radikal.
"Jangan isu radikalitas itu hanya dikenakan pada Islam, umat Islam, ini sikap yg tidak moderat. Jadi kalau sampai ada tuduhan kepada satu kelompok orang sebagai radikal, itu bisa dianggap sebagai bentuk radikalitas itu sendiri. Kita harus melihat persoalan secara umum," tuturnya.
Din yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia mengatakan Islam Indonesia bersifat moderat
"Tidak bisa dibayangkan adanya stabilitas Indonesia seperti sekarang ini kalau muslimnya tidak moderat, kalau umat Islamnya tidak toleran," tuturnya.
Menurut dia, radikalisme dan radikalitas terdapat di semua lingkaran baik agama, suku maupun kebangsaan yaitu satu sikap yang ekstrim yang ingin melakukan perubahan dengan memotong akar dari sistem yang ada.
Din mengatakan radikalisme keagamaan dipicu banyak faktor, salah satunya kesalahan pendekatan dalam memahami kitab suci.
"Jika seorang pemeluk agama memahami teks kitab suci secara sepihak dan terutama mengambil pada ayat-ayat yang terkesan mendorong kepada radikalitas itu. Padahal banyak ayat-ayat lain justru mendorong pada perdamaian, kerukunan dan toleransi," jelasnya.
Tapi radikalitas juga dipicu oleh faktor-faktor non agama terutama ketika tidak ada ketidakadilan atau kesenjangan baik sosial, ekonomi maupun politik.
"Saya ingin katakan kalau umat Islam di Indonesia yang mayoritas itu tidak toleran, sudah hancur Indonesia ini," ujarnya.
Dalam rangka membangun kerukunan, dia mengajak semua komponen bangsa untuk bersama-sama mencari akar tunjang dari radikalitas baik atas nama agama, kepentingan politik, dan atas nama kepentingan ekonomi.
Kekerasan juga tidak hanya bentuk fisik tapi ada juga kekerasan pemodal dan negara. Hal itu yang harus diatasi bersama-sama dengan konsep moderasi atau Jalan Tengah.
"Radikalitas itu, ekstrimisme itu adalah musuh kita bersama, harus kita atasi dengan Jalan Tengah," ujarnya.
Baca juga: NU sebut bertahannya Borobudur bukti Islam di Indonesia hidup dalam keragaman
Baca juga: "Hard Terrorism" dan "Soft Terrorism" di Indonesia
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Tags: