Musisi bawakan musik spiritual dalam "sacred rhythm"
13 Agustus 2018 18:55 WIB
Ilustrasi. Seniman Yayasan Bumi Bajra Sandhi memainkan gamelan saat menampilkan kreasi seni wayang Baleganjur kontemporer bertajuk "Witning Sabda" di Taman Budaya Bali, Sabtu (19/11/2016) malam. Pementasan yang menggabungkan seni wayang, pedalangan, gamelan Baleganjur dan video multimedia tersebut mengajak masyarakat untuk menggunakan dan melestarikan bahasa daerah khususnya aksara Bali. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)
Denpasar (ANTARA News) - Sejumlah musisi dan seniman ternama dari Bali dan nasional berkolaborasi membawakan berbagai garapan musik bernuansa spiritual dalam kegiatan bertajuk "Sacred Rhythm: Reborn Unison".
"Ini merupakan pra-event yang sifatnya inisiasi, kami mengawali kegiatan yang direncanakan puncaknya pada 2020. Sebagai suatu awal, kita perlu mulai dari musik spiritual," kata Dr Nyoman Astita, selaku artistic music director Sacred Rhythm: Reborn Unison, di Denpasar, Senin.
Musisi pengisi acara yang dihelat di Griya Santrian, Denpasar pada Senin (13/8) ini adalah Ida Wayan Oka Granoka yang membawakan Chanting, I Gusti Putu Sudartha (dalang) yang menampilkan kidung dengan dipadukan gamelan Bali, Boo-Boo Sianturi dengan membawakan gitar klasik, dan musik Kotekan yang merupakan kolaborasi I Nyoman Astita, Komang Aditya Permana dan Gado-Gado Ensambel.
"Seperti kita ketahui, Pak Oka Granoka ini sangat getol mempertahankan nilai-nilai kehidupan spiritual dan keseharian masyarakat Bali dalam kesenian," ucap Astita.
Sedangkan I Gusti Putu Sudartha, menampilkan kidung Hredaya yakni merupakan nyanyian suci yang biasanya digunakan untuk pengiring kegiatan ritual, namun untuk pementasan ini dipadukan apik dengan gamelan.
Sementara Boo-Boo Sianturi yang memainkan gitar, yang berduet dengan musisi Barat, sekaligus menunjukkan bagaimana musik klasik Barat itu bertemu.
Untuk Kotekan, kata Astita, dalam musik Bali merupakan perpaduan dua bagian musik menjadi satu harmoni. Astita sendiri meniup seruling Bali, sedangkan Komang Aditya memegang selonding.
"Pada prinsipnya, kegiatan kali ini untuk menggalang kebersamaan, tidak ada superior, namun membangun kesetaraan dalam bermusik," ucap Astita.
Serrano Sianturi selaku Chairman Sacred Bridge Foundation menambahkan, dengan kegiatan "Sacred Rhythm: Reborn Unison" itu pihaknya ingin meniadakan sekat-sekat antara bidang seni , ilmu pengetahuan, dan spiritual.
"Sesungguhnya ketiga bidang itu saling terkait, namun justru gejalanya akhir-akhir ini cenderung ingin berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika dilihat fakta-fakta dari ratusan tahun, ketiganya bergerak bersama," ujar pria yang akrab dipanggil Rano itu.
Munculnya persoalan-persoalan abad 21 dikarenakan kian menjauhnya jarak antara manusia dengan kenuranian (spiritualitas) dan ilmu pengetahuan. Kesenian sebagai manifestasi dari keduanya juga ikut menjauh, sedangkan idealnya, ketiga unsur ini seharusnya tidaklah saling menjauh, melainkan bergerak bersama dan dalam satu langkah yang sama.
Menurutnya, kegiatan "Sacred Rhythm" sudah dimulai sejak tahun 1999. Kegiatan musik ini tidak hanya telah digelar di Bali dan berbagai wilayah Nusantara, bahkan hingga di luar negeri.
Bahkan untuk di Kyoto, Jepang, sempat dilaksanakan kegiatan beberapa kali dengan mengambil tema yang berbeda-beda dan telah menjadi salah satu agenda kebudayaan di Kyoto.
Musik "Sacred Rhythm" juga pernah digunakan sebagai terapi pada korban tsunami di Aceh karena musik juga menjadi sarana "healing" atau pengobatan.
Baca juga: Tari dan gamelan Bali SJI dan Puspa Warna tampil di Ferme Du Mousseau, Paris
Baca juga: Ngobrol dangdut dengan David Tarigan
Baca juga: Malas dengarkan lagu baru? Umurmu pasti lebih dari 28 tahun
Baca juga: Musik angklung makin dikenal London
"Ini merupakan pra-event yang sifatnya inisiasi, kami mengawali kegiatan yang direncanakan puncaknya pada 2020. Sebagai suatu awal, kita perlu mulai dari musik spiritual," kata Dr Nyoman Astita, selaku artistic music director Sacred Rhythm: Reborn Unison, di Denpasar, Senin.
Musisi pengisi acara yang dihelat di Griya Santrian, Denpasar pada Senin (13/8) ini adalah Ida Wayan Oka Granoka yang membawakan Chanting, I Gusti Putu Sudartha (dalang) yang menampilkan kidung dengan dipadukan gamelan Bali, Boo-Boo Sianturi dengan membawakan gitar klasik, dan musik Kotekan yang merupakan kolaborasi I Nyoman Astita, Komang Aditya Permana dan Gado-Gado Ensambel.
"Seperti kita ketahui, Pak Oka Granoka ini sangat getol mempertahankan nilai-nilai kehidupan spiritual dan keseharian masyarakat Bali dalam kesenian," ucap Astita.
Sedangkan I Gusti Putu Sudartha, menampilkan kidung Hredaya yakni merupakan nyanyian suci yang biasanya digunakan untuk pengiring kegiatan ritual, namun untuk pementasan ini dipadukan apik dengan gamelan.
Sementara Boo-Boo Sianturi yang memainkan gitar, yang berduet dengan musisi Barat, sekaligus menunjukkan bagaimana musik klasik Barat itu bertemu.
Untuk Kotekan, kata Astita, dalam musik Bali merupakan perpaduan dua bagian musik menjadi satu harmoni. Astita sendiri meniup seruling Bali, sedangkan Komang Aditya memegang selonding.
"Pada prinsipnya, kegiatan kali ini untuk menggalang kebersamaan, tidak ada superior, namun membangun kesetaraan dalam bermusik," ucap Astita.
Serrano Sianturi selaku Chairman Sacred Bridge Foundation menambahkan, dengan kegiatan "Sacred Rhythm: Reborn Unison" itu pihaknya ingin meniadakan sekat-sekat antara bidang seni , ilmu pengetahuan, dan spiritual.
"Sesungguhnya ketiga bidang itu saling terkait, namun justru gejalanya akhir-akhir ini cenderung ingin berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika dilihat fakta-fakta dari ratusan tahun, ketiganya bergerak bersama," ujar pria yang akrab dipanggil Rano itu.
Munculnya persoalan-persoalan abad 21 dikarenakan kian menjauhnya jarak antara manusia dengan kenuranian (spiritualitas) dan ilmu pengetahuan. Kesenian sebagai manifestasi dari keduanya juga ikut menjauh, sedangkan idealnya, ketiga unsur ini seharusnya tidaklah saling menjauh, melainkan bergerak bersama dan dalam satu langkah yang sama.
Menurutnya, kegiatan "Sacred Rhythm" sudah dimulai sejak tahun 1999. Kegiatan musik ini tidak hanya telah digelar di Bali dan berbagai wilayah Nusantara, bahkan hingga di luar negeri.
Bahkan untuk di Kyoto, Jepang, sempat dilaksanakan kegiatan beberapa kali dengan mengambil tema yang berbeda-beda dan telah menjadi salah satu agenda kebudayaan di Kyoto.
Musik "Sacred Rhythm" juga pernah digunakan sebagai terapi pada korban tsunami di Aceh karena musik juga menjadi sarana "healing" atau pengobatan.
Baca juga: Tari dan gamelan Bali SJI dan Puspa Warna tampil di Ferme Du Mousseau, Paris
Baca juga: Ngobrol dangdut dengan David Tarigan
Baca juga: Malas dengarkan lagu baru? Umurmu pasti lebih dari 28 tahun
Baca juga: Musik angklung makin dikenal London
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018
Tags: