Palembang (ANTARA News) - Dalam hati kecil Yuneila ada sedikit iri pada saat ini di mana pemerintah memberikan imunisasi campak dan rubella (MR) secara gratis pada anak usia sembilan bulan hingga kurang dari 15 tahun.

Sedikit rasa iri itu ada karena 11 tahun lalu ketika Yuneila mengandung anak keduanya, ia terinfeksi rubella saat hamil dan menyebabkan putranya terlahir dengan cacat bawaan.

"Anak saya lahir dengan mata katarak, jantung bocor dan penyempitan, microchepali (kepala kecil), hingga tuli berat. Yaa, sedih sekali sebenarnya," kata Yuneila.

Virus rubella yang menyerang anak-anak memang hanya menimbulkan gejala penyakit biasa seperti demam, atau bahkan tidak berdampak. Namun apabila virus rubella yang dibawa oleh anak menular dan menginfeksi ibu hamil, bahayanya menyerang janin yang bisa menyebabkan kecacatan sejak lahir.

Orang tua lain, Laely Ekawati, memiliki cerita yang hampir mirip di mana pada saat awal kehamilan ia terinfeksi rubella. Laely ingat betul pada usia kehamilan 12 minggu tiba-tiba saja muncul ruam dan bintik merah di tangan yang kemudian menjalar ke sekujur tubuh.

Kekhawatirannya akan terinfeksi rubella yang diduganya akibat bepergian ke pusat perbelanjaan membuatnya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang bahaya penyakit tersebut.

Hingga akhirnya putri Laely terlahir secara normal apabila dilihat dari kondisi fisiknya. Namun kekhawatiran akan rubella semakin kuat lantaran putrinya hanya bisa menangis dan tertawa di usia yang seharusnya sudah bisa berbicara.

Setelah diperiksakan ke dokter, Laely mendapat informasi bahwa anaknya mengalami tuli berat sejak dilahirkan. "Anak ibu derajat pendengarannya sudah paling bawah," kata Laely menirukan ucapan dokter.

Alhasil Laely memberikan penanganan pada anaknya dengan menanamkan implan koklea di dalam tengkorak kepala di bagian belakang kedua telinga putrinya lewat operasi.

Penanganan yang tentunya membutuhkan biaya tidak sedikit. Operasi implan koklea setidaknya membutuhkan biaya Rp150 juta hingga Rp300 juta untuk penanaman alat pada sepasang telinga.

Setelah dipasang, anak tidak bisa langsung bisa mendengar seperti orang normal melainkan harus belajar mendengar dari nol. Bukan hal mudah bagi anak yang seharusnya sudah mahir berbicara namun baru belajar mendengar dan belajar mengucapkan kata-kata.

Perlu ada terapi lanjutan agar anak bisa mendengar seperti orang normal dan butuh latihan berbicara yang juga harus dilakukan dari nol.

"Karena nggak gampang loh punya anak berkebutuhan khusus. Perlu tenaga, waktu, pikiran, materi, semua kudu sabar banget," kata Laely.

Laely dan putrinya merupakan salah satu contoh dampak rubella yang hanya menyerang pendengaran pada bayi saat dilahirkan. Bagaimana dengan putra Yuneila yang mengalami komplikasi penyakit dan cacat bawaan sejak dilahirkan. Tentu perjuangan yang lebih berat harus dilalui oleh orang tua demi kehidupan buah hatinya.

"Sedih sekali sebenarnya waktu dulu. Ini kan penyakit yang bisa dicegah, kenapa tidak dilakukan pencegahan secara dini," kata Yuneila.

Ia mengisahkan pernah memiliki kesadaran akan penyakit rubella dengan meminta imunisasi MMR (measles-mumps-rubella) untuk pencegahan penyakit campak, gondongan, dan rubella pada dokter kandungannya. Namun sayang dokter Yuneila menganggap itu tidak perlu karena kasus penyakit rubella yang sedikit pada saat itu.

Infeksi rubella selama awal kehamilan dapat menyebabkan keguguran, kematian janin, atau sindrom rubella konegnital (Congenital Rubella Syndroma/CRS) pada bayi yang dilahirkan.

CRS biasanya bermanifestasi sebagai penyakit jantung bawaan, katarak, microcephaly (kepala kecil), dan tuli.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, sejak tahun 2010 sampai 2015 diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella.

Sedangkan jumlah suspek kasus campak dan rubella dalam lima tahun terakhir di Indonesia sebanyak 57.056 kasus, dengan 8.964 kasus positif campak, 5.737 positif rubella, dan menyebabkan 22 kematian.

Yang paling baru ialah terjadinya kasus kejadian luar biasa (KLB) campak yang disertai gizi buruk pada anak-anak masyarakat Kabupaten Asmat Papua sejak September 2017 hingga Januari 2018. KLB tersebut menyebabkan 71 anak meninggal dunia.

Salah satu penyebab terjadinya KLB campak tersebut ialah karena cakupan imunisasi yang rendah untuk wilayah Papua, khususnya di pedalaman.

Oleh karena itu pemerintah menganggap pencegahan penyakit campak dan rubella yang bisa mengurangi risiko terinfeksi hingga 95 persen paling tepat dengan dilakukan imunisasi.

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah mengampanyekan imunisasi MR sejak 2017 di enam provinsi di Pulau Jawa, dan kini berupaya melanjutkannya dengan imunisasi anak usia sembilan bulan hingga di bawah 15 tahun di 28 provinsi luar Pulau Jawa.

Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia DR dr Soedjatmiko Sp.A(K). mengatakan bahwa imunisasi vaksin MR penting sebagai pencegahan penularan campak dan rubella karena kedua penyakit tersebut belum dapat diobati secara menyeluruh melainkan hanya bersifat suportif.

"Vaksin campak itu untuk melindungi anak dari penyakit campak. Campak pada anak berbahaya bisa menyebabkan diare, ensefalitis (radang otak), kebutaan, gizi buruk hingga kematian. Tapi kalau imunisasi rubella pada anak untuk memutus mata rantai virus supaya tidak tertular pada ibu hamil," kata Soedjatmiko.

Baca juga: Pemerintah tetap lanjutkan imunisasi MR
Baca juga: Belum bersertifikat halal, vaksin MR bisa digunakan