Jakarta (ANTARA News) - PT Jasa Marga Tbk menegaskan, tidak ada toleransi terkait penegakan hukum dan perberlakuan aturan untuk angkutan berat berkelebihan muatan dan dimensi (overdimension overload/Odol) di jalan tol milik BUMN itu.

"Tak ada toleransi, kami tetap tegas sesuai aturan MST (muatan sumbu terberat) 10 ton. Jika berlebih, harus tambah sumbunya," kata Dirut PT Jasa Marga Tbk Desi Arryani saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan angkutan barang sembako, air, dan semen di jalan nasional mendapatkan toleransi, yaitu masih diperbolehkan kelebihan muatan 50 persen dan tidak ditilang.

Sementara itu, angkutan lain apabila kelebihan muatan lebih dari 100 persen akan ditilang dan diturunkan barangnya.

Menurut Desi, angkutan berat yang berlebih di jalan tol saat ini sekitar 70 persen dan hal itu berdampak pada tiga hal yakni, pertama, merusak lebih cepat infrastruktur jalan tol, kedua, lajunya yang lambat membuat kemacetan di jalan tol dan ketiga, sekitar 60-70 persen merupakan penyebab kecelakaan angkutan berat.

Oleh karena itu, kini, katanya, pihaknya akan meningkatkan frekuensi penegakan hukum di jalan tol terkait ODOL itu dari tiga bulan sekali menjadi sebulan dengan berkoordinasi dengan pihak terkait.

Selain itu, tegasnya, perseroan juga akan melakukan uji coba untuk melakukan pencegahan dengan dibantu teknologi "Weigh in Motion" (WIM) di dua tempat pada tahap awal yakni di lokasi Tol Jabodetabek, di sekitar tol Jakarta-Tangerang dan tol Semarang.

"Metodenya, truk yang kedapatan kelebihan muatan akan ditindak dengan tiga opsi, selain tilang juga akan diturunkan barangnya dan atau diminta keluar dari jalan tol ke jalan arteri terdekat," kata Desi.

Hingga Juli 2018, BUMN tol ini telah memiliki 1.527 kilometer konsesi jalan tol dengan 776,7 kilometer tol sudah beroperasi atau pangsa pasar sekitar 65 persen dan 80 persen dari total transaksi jalan tol di Indonesia saat ini.

Waktu pemberlakuan

Senada dengan Desi, sebelumnya, Pengamat Transportasi Universitas Katholik Soegijapranata Djoko Setijowarno menilai angkutan barang harus diberlakukan sama terkait pemberlakuan aturan untuk angkutan kelebihan muatan dan dimensi (overdimension overload/Odol) dan tidak ada toleransi.

"Tetap harus diberlakukan sama dengan komoditas lain. Apalagi semen itu milik BUMN, harusnya memberi contoh," kata Djoko.

Menurut dia, toleransi bisa diberlakukan, tetapi bentuknya bukan pembedaan komoditas barang, tetapi waktu pemberlakuan larangan odol itu.

"Toleransi boleh diberikan, bukan toleransi berat, tapi toleransi waktu, ada waktu penyesuaian, misalkan enam bulan ke depan baru dilakukan tilang," katanya.

Dia menambahkan, para pelaku usaha membutuhkan waktu untuk penyesuaian, terutama armadanya yang selama ini hanya bisa mengangkut sedikit dengan menggantinya dengan angkutan berkapasitas lebih besar.

Karena itu, lanjut Djoko, setelah enam bulan, pemberlakuan larangan odol tidak pandang komoditas lagi, jadi harus keseluruhan.

"Jadi, harus ada batas waktu toleransi, bukan toleransi untuk lebih muat," katanya.

Baca juga: Pemerintah harus konsisten tegakkan aturan muatan berlebih
Baca juga: Kemenhub tingkatkan pemberlakuan ketentuan angkutan barang "odol"