Festival Lima Gunung, sebuah ajang seni yang dilaksanakan berturut-turut selama 17 tahun di sekitar lima gunung yang berada di kawasan Magelang, Jawa Tengah, kembali hadir menyapa para penggemarnya.

Panggung di tengah sawah tempat Festival Lima Gunung berhias karya instalasi dengan bahan bambu dan jerami, kali ini ditempatkan pada dua sisi di barat dan timur. Pada bagian barat, karya seni instalasi itu bertuliskan "Desa" sedangkan di bagian timur, di dekat spot kecil untuk swafoto, juga ada instalasi serupa dengan tulisan "Kota".

Makna yang diusung seni instalasi itu adalah menunjukkan bahwa tempat festival berlangsung merupakan kawasan "setengah kota dan setengah desa".

Jauh di sebelah barat panggung di areal persawahan Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kalau cuaca cerah, nampak gagah Gunung Sumbing, sedangkan di bagian timur, setelah pandangan mata melewati areal persawahan, terlihat atap rumah-rumah dan bentuk-bentuk gedung di Kota Magelang dengan di tengah-tengahnya segundukan hijau segar pepohonan rimbun membungkus Gunung Tidar.

Sutanto Mendut, budayawan dan inspirator utama seniman petani Komunitas Lima Gunung lah yang meminta Iroel dan pemuda setempat lainnya menambatkan instalasi seni bertulis "Desa" dan "Kota" di dekat panggung menghadap selatan itu.

Ketika itu, Sutanto sedang menengok warga setempat menyiapkan berbagai keperluan sebagai tuan rumah festival dan menyampaikan gagasannya.

Satu panggung luas lainnya dalam festival yang diselenggarakan oleh para seniman petani Komunitas Lima Gunung secara swadaya, selama 10-12 Agustus 2018, di dusun sekitar tujuh kilometer barat Kota Magelang itu, dibangun panggung di tengah perkampungan warga yang diberi nama Panggung Kampung.

Tentu saja, pemasangan instalasi "Desa-Kota" itu tidak lepas dari kesadaran komunitas bahwa posisi desa Wonolelo dengan kehidupan warganya, yang oleh dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sekartaji Suminto disebut sebagai semi-urban, yaitu desa tetapi juga seperti kota.

Kepala Dusun Wonolelo yang juga pimpinan Sanggar Wonoseni Bandongan Pangadi (Ki Ipang) membenarkan bahwa kehidupan sosial kemasyarakatan warganya yang berjumlah sekitar 250 kepala keluarga atau 650-an jiwa tersebar di empat rukun tetangga itu, sebagai semi-urban.

Seniman kelompok sanggar itu, bagian dari berbagai grup kesenian rakyat Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang dengan sejumlah ragam kesenian, antara lain musik tradisional religius "madyopitutur", tarian "seto kencono", dan tarian "topeng ireng".

"Kami memang setengah desa, setengah kota," kata Pangadi.

Warga setempat pada umumnya bekerja sebagai buruh bangunan, pekerja pabrik, pegawai toko dan warung makan, petani padi, pengawai negeri, serta karyawan kantor. Areal persawahan di sekitar dusun itu pada umumnya dikerjakan warga setempat yang sudah berumur.

Selama 16 tahun berturut-turut, setiap tahun, Komunitas Lima Gunung memancang festival tahunan mereka dengan lokasi di dusun-dusun kawasan gunung-gunung yang mengitari Kabupaten Magelang dengan kehidupan sosial kemasyarakatan yang kental suasana desa dan alam masing-masing.

Namun, festival ke-17 tahun ini, terkesan berbeda karena diputuskan lokasinya di dusun relatif dekat kota terramai daerah itu. Tahun ini, sebagai catatan pertama atas perjalanan komunitas menetapkan lokasi festival di dusun dengan masyarakat "setengah desa-kota".

Kiranya, hal tersebut menjadi bacaan utama inspirasi Sutanto Mendut yang kemudian menaruhkan instalasi "Desa-Kota" di dekat Panggung Sawah, untuk disampaikan kepada siapa saja yang hadir dalam festival yang tahun bertema "Masih Goblok Bareng" itu.

"Desa itu kalau jadi kota `mertanggung` (tanggung, red.), desa itu kalau tetap desa yang sungguh desa, dan yang lihat kota yang tidak `mertanggung`. Hebatlah itu! Sayang desa dan kota serba `mertanggung`," ucap Sutanto dalam perbincangan dengan sejumlah petinggi komunitas yang dirintisnya jauh sebelum 17 tahun lalu.

Penyelenggaraan Festival Lima Gunung disebut Sutanto sebagai telah melampaui waktu dan ruang, melampaui tafsir kelaziman, bahkan pengetahuan pribadi-pribadi pegiat komunitasnya, karena percaya bahwa Sang Agung sebagai Mahasutradara dan sponsor sejati.

Tak putus-putus, ia mengingatkan setiap pribadi komunitas dan warga Wonolelo untuk bertekun menempatkan anugerah sikap rendah hati dalam menerima siapa saja tamu festival.

Sedikitnya 80 agenda padat festival berupa pementasan kesenian, performa seni budaya, dan acara lainnya telah disiapkan dengan penata jadwal, salah satu tokoh utama Komunitas Lima Gunung, Arie Kusuma.

Mereka yang berpentas dalam festival tersebut selain berbagai grup kesenian dari komunitas itu, juga sejumlah lainnya dari berbagai desa dan kelompok kesenian di Magelang dan sekitarnya, serta para seniman dari luar kota di Indonesia dan luar negeri yang berjejaring dengan Komunitas Lima Gunung.

"Segala kelemahan kepada tamu, semua rajin mengucap `Maaf keterbatasan kami, kami semua kurang pinter, maaf kami masih belajar`. Isilah hari-hari yang sangat berharga ini dengan hal-hal yang kelak akan kita kenang bersama," ucapnya.

Dusun semi-urban Wonolelo diputuskan menjadi tuan rumah festival tahun ini. Warga setempat didukung para anggota komunitas pun bekerja menyiapkan segala sesuatunya, seperti pembuatan seni instalasi di jalan-jalan dan perkampungan, pembangunan Panggung Sawah dan Panggung Kampung.

Mereka juga menyiapkan sejumlah tempat untuk parkir kendaraan para penonton dan tamu luar kota, puluhan spot untuk tempat para pedagang kaki lima menggelar dagangan, dan sekitar 40 rumah warga untuk transit dan menginap para tamu serta pengisi pementasan. Sejak sekitar tiga-empat bulan terakhir, mereka bekerja bersama menyiapkan segala sesuatu untuk Festival Lima Gunung XVII/2018.

Kadus Pangadi juga menjalin koordinasi dengan aparat desa dan kecamatan, serta sejumlah organisasi sosial kemasyarakat setempat untuk dukungan bagi kelangsungan festival di dusunnya.

"Kami menginginkan festival tahun ini memang di dusun kami. (Komunitas, red.) Lima Gunung menyetujui, maka kami siapkan segalanya. Kami ingin menunjukkan wajah dusun kami apa adanya," ujarnya.

Oleh karena realitas masyarakat dusun setempat itu pulalah, para petinggi Komunitas Lima Gunung memancangkan jurus-jurus kearifan dan kebijaksanaan lokal. Apabila festival-festival sebelumnya segala keperluan penyiapan tempat mengandalkan warga dan pemuda dusun masing-masing, dalam festival tahun ini mereka mengirim para pemuda ke Wonolelo untuk membantu pembuatan panggung dan penyiapan tempat-tempat lainnya.

"Kalau siang memang orang-orang Wonolelo harus bekerja, makanya kerja bakti seperti membikin panggung ini baru bisa dikerjakan sore dan malam," kata Sekretaris Panitia Festival Lima Gunung XVII/2018 Bambang Ardiansah.

Dalam suasana penuh kesadaran separuh desa-kota itu, Ardiansah yang juga Kepala Madrasah Ibtidaiah Terpadu tiga Dusun Wonolelo bersama warga setempat menghibahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menghadirkan festival tahun ini di dusunnya.

Masyarakat Wonolelo dengan segala hal yang apa adanya, ingin festival tahun ini bukan sekadar meriah dan sukses, akan tetapi menjadi catatan penting bagi perjalanan seniman petani Komunitas Lima Gunung.

Artis Annisa Hertami pun menghibahkan konsentrasi dan geregetnya untuk hadir berturut-turut kedua kalinya tahun ini, menjadi pembawa acara pada puncak Festival Lima Gunung.

"Rahayu semesta `sareng sami` (selalu bersama, red.)," katanya beruluk salam.

Baca juga: Warga siapkan arena Festival Lima Gunung 2018