Pengusaha keluhkan mahalnya barter valas ke rupiah
8 Agustus 2018 22:41 WIB
Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (ketiga kanan) memimpin rapat terbatas tentang Strategi Kebijakan Memperkuat Cadangan Devisa di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/7/2018). Presiden memerintahkan menteri terkait untuk mengendalikan impor dan meningkatkan ekspor serta mendorong penggunaan biodiesel. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta (Antara News) - Mekanisme dan biaya swap atau sederhananya kegiatan barter valas ke rupiah dikeluhkan kalangan pengusaha karena dianggap mahal dan membebani.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno di Jakarta, Rabu mengatakan biaya untuk swap seharusnya bisa lebih murah dari saat ini, yang sebesar lima persen untuk tenor satu bulan dan enam persen untuk tenor enam bulan.
"Empat persen saja masih kemahalan. Sekarang kita dirayu dong supaya mau menukarkan dolar ke rupiah pada saat kita tidak membutuhkan rupiah," ujar dia.
Dengan premi yang mahal, menurut Benny, tidak banyak pengusaha yang menggunakan fasilitas tersebut.
Di samping itu, dia mengaku beberapa eksportir menyimpan Dana Hasil Ekspor (DHE) dalam bentuk valas karena eksportir membutuhkan valas untuk belanja impor bahan baku. Menurut Benny, secara rata-rata sudah 40 persen DHE dikonversikan ke rupiah.
Benny mengusulkan agar BI dan pemerintah perlu selektif dalam menerapkan kebijakan untuk mendorong DHE kembali ke Indonesia dan dikonversikan ke rupiah.
Misalnya, eksportir yang menggunakan bahan baku sumber daya alam (SDA) perlu diwajibkan mengkonversikan 100 persen devisa hasil ekspornya ke rupiah. Sedangkan eksportir yang melakukan impor untuk memperoleh bahan bakunya perlu diberikan keringanan.
"Yang bahan bakunya SDA, yang dikasih Tuhan ke Republik kita, mereka tinggal cangkul saja, seharusnya diwajibkan. Kalau yang gunakan bahan baku impor karena di sini bahan bakunya tidak ada, harusnya diringankan," ujar dia.
Ekportir, kata Benny, lebih membutuhkan kemudahan dan kerendahan biaya untuk konversi valas ke rupiah. Baru setelah itu, insentif dari pemerintah untuk membawa pulang DHE ke domestik.
Bank Indonesia sebelumnya menyatakan sedang mempersiapkan relaksasi agar biaya transaksi swap valas bisa lebih rendah dari saat ini.
Swap merupakan transaksi pertukaran dua valas melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka, atau penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka.
Sepanjang 2017 nilai ekspor Indonesia mencapai 168,73 miliar dolar AS. Dari angka tersebut, DHE yang dibawa pulang dan disimpan di perbankan domestik sebesar 90 persen. Bahkan dari angka tersebut, jika merujuk data BI, baru 15,1 persen yang dikonversi ke rupiah.
Pemerintah dan BI tengah berupaya menarik DHE dan mengonversinya ke rupiah dari valas untuk memperkuat cadangan devisa serta mempersempit defisit transaksi berjalan. Cadangan devisa terus anjlok sejak Januari 2018, di antaranya, untuk kebutuhan intervensi pasar guna menstabilisasi nilai tukar rupiah.
Baca juga: GPEI klaim 40 persen devisa dikonversi rupiah
Baca juga: Darmin: Konversi devisa tambah tenaga pertumbuhan ekonomi
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno di Jakarta, Rabu mengatakan biaya untuk swap seharusnya bisa lebih murah dari saat ini, yang sebesar lima persen untuk tenor satu bulan dan enam persen untuk tenor enam bulan.
"Empat persen saja masih kemahalan. Sekarang kita dirayu dong supaya mau menukarkan dolar ke rupiah pada saat kita tidak membutuhkan rupiah," ujar dia.
Dengan premi yang mahal, menurut Benny, tidak banyak pengusaha yang menggunakan fasilitas tersebut.
Di samping itu, dia mengaku beberapa eksportir menyimpan Dana Hasil Ekspor (DHE) dalam bentuk valas karena eksportir membutuhkan valas untuk belanja impor bahan baku. Menurut Benny, secara rata-rata sudah 40 persen DHE dikonversikan ke rupiah.
Benny mengusulkan agar BI dan pemerintah perlu selektif dalam menerapkan kebijakan untuk mendorong DHE kembali ke Indonesia dan dikonversikan ke rupiah.
Misalnya, eksportir yang menggunakan bahan baku sumber daya alam (SDA) perlu diwajibkan mengkonversikan 100 persen devisa hasil ekspornya ke rupiah. Sedangkan eksportir yang melakukan impor untuk memperoleh bahan bakunya perlu diberikan keringanan.
"Yang bahan bakunya SDA, yang dikasih Tuhan ke Republik kita, mereka tinggal cangkul saja, seharusnya diwajibkan. Kalau yang gunakan bahan baku impor karena di sini bahan bakunya tidak ada, harusnya diringankan," ujar dia.
Ekportir, kata Benny, lebih membutuhkan kemudahan dan kerendahan biaya untuk konversi valas ke rupiah. Baru setelah itu, insentif dari pemerintah untuk membawa pulang DHE ke domestik.
Bank Indonesia sebelumnya menyatakan sedang mempersiapkan relaksasi agar biaya transaksi swap valas bisa lebih rendah dari saat ini.
Swap merupakan transaksi pertukaran dua valas melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka, atau penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka.
Sepanjang 2017 nilai ekspor Indonesia mencapai 168,73 miliar dolar AS. Dari angka tersebut, DHE yang dibawa pulang dan disimpan di perbankan domestik sebesar 90 persen. Bahkan dari angka tersebut, jika merujuk data BI, baru 15,1 persen yang dikonversi ke rupiah.
Pemerintah dan BI tengah berupaya menarik DHE dan mengonversinya ke rupiah dari valas untuk memperkuat cadangan devisa serta mempersempit defisit transaksi berjalan. Cadangan devisa terus anjlok sejak Januari 2018, di antaranya, untuk kebutuhan intervensi pasar guna menstabilisasi nilai tukar rupiah.
Baca juga: GPEI klaim 40 persen devisa dikonversi rupiah
Baca juga: Darmin: Konversi devisa tambah tenaga pertumbuhan ekonomi
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Apep Suhendar
Copyright © ANTARA 2018
Tags: