Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami komunikasi yang dilakukan oleh Dirut PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir dengan sejumlah pihak dalam penyidikan terkait kasus suap korupsi suap kesepakatan kerja sama PLTU Riau-1.

"Saat penggeledahan dilakukan sekitar pertengahan Juli di rumah Dirut PLN, salah satu bukti elektronik yang disita saat itu adalah alat komunikasi yang digunakan Dirut PLN," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Untuk diketahui, KPK menyita alat komunikasi yang digunakan Sofyan saat penggeledahan yang dilakukan di rumah Sofyan di Jakarta Pusat pada 15 Juli 2018 lalu.

"Ya pasti untuk kebutuhan penanganan perkara, informasi yang relevan kami dalami," ucap Febri.

Namun, Febri belum bisa menjelaskan lebih lanjut apakah lembaganya mendalami percakapan antara Sofyan dengan dua tersangka dalam kasus tersebut.

"Itu belum bisa kami sampaikan, tetapi yang pasti akan kami dalami ada atau tidak komunikasi antara pihak-pihak tersebut," ungkap Febri.

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka, yaitu Johannes Budisutrisno Kotjo yang merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited dan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih.

Sebelumnya, KPK pada Selasa (7/8) kembali memeriksa Direktur PLN Sofyan Basir sebagai saksi untuk tersangka Johannes.

Febri menyatakan bahwa lembaganya masih membutuhkan keterangan Sofyan terkait mekanisme kerja sama terkait dengan pembangunan PLTU Riau-1 dan juga sejauh mana pengetahuannya tentang pertemuan-pertemuan dengan tersangka ataupun pihak lain.

"Termasuk apakah saksi mengetahui atau tidak tentang aliran dana. Jadi, itu perlu diperinci lebih lanjut dan juga mengkonfirmasi beberapa dokumen-dokumen yang disita sebelumnya tentu yang ada kaitannya," ungkap Febri.

Sebelumnya, KPK telah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang sejumlah Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen "fee" 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari Johannes kepada Eni dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 Rp300 juta.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.

Adapun peran Eni adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.