Ini alasan Freeport setujui negosiasi, kata IAGI
6 Agustus 2018 23:02 WIB
Menteri ESDM Ignasius Jonan (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kanan) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kanan) menyaksikan penandatanganan nota pendahuluan perjanjian oleh Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium Budi Gunadi (ketiga kanan) dan Presiden Direktur Freeport McMoran, Richard Adkerson (kedua kiri) terkait pokok-pokok kesepakatan divestasi saham PT Freeport Indonesia di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (12/7/2018). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta (ANTARA News) - Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menyebutkan ada beberapa alasan yang menyebabkan PT Freeport Indonesia menyetujui negosiasi dengan pemerintah Indonesia.
Menurut Pengurus IAGI Iwan Munajat dalam diskusi bertajuk "Lika Liku Akuisisi Saham Freeport" di Jakarta, Senin, Freeport dinilainya terpenjara dengan Kontrak Karya yang mengharuskan mereka mendapat persetujuan dari pemerintah Indonesia untuk melanjutkan perpanjangan izin operasi 2x10 tahun.
"Kalau dia tidak mendapatkan izin perpanjangan, sangat sulit bagi dia bilang kepada dunia kalau dia punya tambang hingga 2041 dan mengembangkan bisnisnya," katanya.
Padahal, untuk bisa mengembangkan bisnis tambangnya, PTFI membutuhkan belanja modal yang tidak sedikit. Freeport membutuhkan pinjaman perbankan sebagai modal tambahan tetapi untuk mendapatkannya harus ada kepastian izin perpanjangan di lahan yang digarapnya.
"Biaya bikin terowongan saja mencapai 10-15 ribu dolar AS per meter. Grasberg sendiri membutuhkan terowongan 1.200 km. Jadi dia perlu uang banyak untuk mengembangkan Grasberg," katanya.
Karena alasan lemahnya kondisi perusahaan di tengah utang sebesar 14 miliar dolar AS dan harus mengembangkan Grasberg, tidak ada pilihan lain bagi Freeport untuk menyetujui negosiasi dengan pemerintah Indonesia.
Alasan lainnya, menurut Iwan, adalah pilihan bermitra dengan Inalum yang dinilai jauh lebih baik. Iwan menyebut selama Freeport berkongsi dengan Rio Tinto, perusahaan tambang itu dinilai banyak mangkir.
"Harusnya capex (belanja modal) dibagi dua, tapi bertahun-tahun Rio Tinto mangkir bayar dan membuat kesal Freeport. Makanya Inalum diharapkan jadi mitra yang lebih baik," tuturnya.
Selanjutnya, alasan lain adalah saham Freeport yang tidak berubah besarannya karena pemerintah Indonesia membeli hak partisipasi (Participation Interest/PI) Rio Tinto.
"Terakhir, karena ada kompensasi penjualan saham Rio Tinto, makanya Freeport menganggap itu sebagai business to business yang bagus," katanya.
Menurut Pengurus IAGI Iwan Munajat dalam diskusi bertajuk "Lika Liku Akuisisi Saham Freeport" di Jakarta, Senin, Freeport dinilainya terpenjara dengan Kontrak Karya yang mengharuskan mereka mendapat persetujuan dari pemerintah Indonesia untuk melanjutkan perpanjangan izin operasi 2x10 tahun.
"Kalau dia tidak mendapatkan izin perpanjangan, sangat sulit bagi dia bilang kepada dunia kalau dia punya tambang hingga 2041 dan mengembangkan bisnisnya," katanya.
Padahal, untuk bisa mengembangkan bisnis tambangnya, PTFI membutuhkan belanja modal yang tidak sedikit. Freeport membutuhkan pinjaman perbankan sebagai modal tambahan tetapi untuk mendapatkannya harus ada kepastian izin perpanjangan di lahan yang digarapnya.
"Biaya bikin terowongan saja mencapai 10-15 ribu dolar AS per meter. Grasberg sendiri membutuhkan terowongan 1.200 km. Jadi dia perlu uang banyak untuk mengembangkan Grasberg," katanya.
Karena alasan lemahnya kondisi perusahaan di tengah utang sebesar 14 miliar dolar AS dan harus mengembangkan Grasberg, tidak ada pilihan lain bagi Freeport untuk menyetujui negosiasi dengan pemerintah Indonesia.
Alasan lainnya, menurut Iwan, adalah pilihan bermitra dengan Inalum yang dinilai jauh lebih baik. Iwan menyebut selama Freeport berkongsi dengan Rio Tinto, perusahaan tambang itu dinilai banyak mangkir.
"Harusnya capex (belanja modal) dibagi dua, tapi bertahun-tahun Rio Tinto mangkir bayar dan membuat kesal Freeport. Makanya Inalum diharapkan jadi mitra yang lebih baik," tuturnya.
Selanjutnya, alasan lain adalah saham Freeport yang tidak berubah besarannya karena pemerintah Indonesia membeli hak partisipasi (Participation Interest/PI) Rio Tinto.
"Terakhir, karena ada kompensasi penjualan saham Rio Tinto, makanya Freeport menganggap itu sebagai business to business yang bagus," katanya.
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2018
Tags: